Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Menjaga Suara, Menjaga Masa Depan

Jumat, 17 Oktober 2025 | 01:25 WIB Last Updated 2025-10-17T05:01:54Z



Oleh Azhari

“Satu suara yang dijual hari ini, bisa menghancurkan lima tahun masa depan bangsa.”




Demokrasi yang Tergadaikan

Setiap lima tahun sekali rakyat berdaulat, namun sering kali kedaulatan itu dibarter dengan selembar uang. Fenomena politik uang sudah menjelma menjadi budaya: bukan rahasia, tapi kebiasaan. Di banyak daerah, pemilihan tidak lagi soal visi, tetapi soal amplop.

“Daripada tidak dapat apa-apa,” begitu alasan sebagian orang. Padahal yang mereka tidak sadari, uang yang diterima hari ini akan berubah menjadi penderitaan di tahun-tahun berikutnya. Pemimpin yang membeli suara tidak akan pernah bekerja untuk rakyat, karena ia naik bukan dengan amanah, tapi dengan transaksi.


Kedaulatan yang Diperjualbelikan

Makna kedaulatan rakyat hilang ketika suara rakyat bisa dibeli. Demokrasi pun berubah menjadi pasar politik. Siapa yang punya modal besar, dialah yang berkuasa. Akibatnya, calon pemimpin jujur, cerdas, dan berintegritas kalah oleh mereka yang berani membeli suara rakyat dengan iming-iming uang tunai atau sembako.

Ironisnya, banyak masyarakat yang tahu itu salah, tapi tetap menerima. “Semua calon juga kasih uang,” kata mereka. Padahal, logika ini justru melahirkan lingkaran setan: rakyat menjual suara, calon merasa harus balik modal, dan akhirnya uang rakyat dikuras lagi lewat proyek dan korupsi. Demokrasi pun berjalan tanpa moral.


Seratus Ribu yang Menghancurkan Lima Tahun

Kita sering menganggap enteng nilai uang dalam politik. Padahal, seratus ribu yang diterima di masa kampanye sama artinya dengan menjual hak untuk mendapatkan kehidupan layak selama lima tahun. Lima tahun jalan rusak tidak diperbaiki, pelayanan publik diabaikan, dan kemiskinan tak tersentuh — semua itu adalah harga dari uang haram yang diterima rakyat.

Seratus ribu itu tidak akan bisa membeli keadilan, tidak bisa membeli pendidikan, dan tidak bisa membeli masa depan anak-anak kita. Ia hanya meninggalkan penyesalan, ketika pemimpin yang dipilih ternyata lupa siapa yang memilihnya.


Pemimpin Terbeli, Rakyat Terlepas

Ketika rakyat menjual suara, maka ikatan moral antara pemilih dan pemimpin pun hilang. Rakyat tak lagi berhak menuntut, dan pemimpin merasa tak wajib melayani. Ia merasa sudah membeli suara, bukan menerima amanah. Inilah akar dari rusaknya pelayanan publik dan matinya nurani pejabat setelah mereka berkuasa.

Maka jangan heran bila banyak pejabat lebih sibuk menghitung laba dari jabatan, bukan manfaat dari pelayanan. Karena kekuasaan mereka lahir dari transaksi, bukan dari kepercayaan.


Harga Diri dan Tanggung Jawab Moral

Menolak uang politik bukan sekadar tindakan idealis, melainkan bentuk pertahanan harga diri. Saat kita menolak amplop, kita sedang menegaskan: suara ini tidak murah. Bahwa kedaulatan rakyat bukan lelang yang bisa dibeli oleh siapapun.

Menjaga suara adalah menjaga kehormatan bangsa. Satu suara yang jujur lebih bermakna daripada sejuta suara hasil suap. Karena suara yang bersih melahirkan pemimpin yang benar, dan pemimpin yang benar melahirkan kebijakan yang adil.


Pendidikan Politik dan Peran Tokoh

Melawan politik uang membutuhkan kerja bersama. Pemerintah, lembaga pengawas pemilu, tokoh agama, dan media massa harus bersinergi menanamkan kesadaran. Dakwah di masjid, khutbah Jumat, dan pendidikan kewarganegaraan di sekolah harus menjadi media penyadaran bahwa menjual suara adalah bentuk pengkhianatan terhadap bangsa.

Lembaga penegak hukum juga tidak boleh lembek. Pelaku politik uang harus diproses tanpa pandang bulu. Karena bila hukum diam, maka rakyat akan menganggap praktik ini halal. Padahal, dalam moral agama manapun, menjual suara adalah perbuatan yang mencederai keadilan.


Pemilu sebagai Ibadah Demokrasi

Pemilu bukan hanya urusan politik, tetapi juga ibadah sosial. Sebab dari pilihan kita akan lahir pemimpin yang menentukan arah bangsa. Bila kita memilih karena uang, kita sedang mengkhianati amanah Tuhan untuk menegakkan keadilan. Tapi bila kita memilih dengan niat tulus, kita sedang beribadah melalui demokrasi.

Maka, mari jadikan setiap coblosan bukan sekadar rutinitas lima tahunan, tapi momentum suci untuk menentukan masa depan bangsa dengan hati nurani, bukan dengan amplop.


Harapan untuk Demokrasi Bersih

Masih ada harapan. Di banyak daerah, mulai tumbuh kesadaran baru. Masyarakat berani menolak uang politik. Gerakan moral muncul dari tokoh muda, komunitas, dayah, pesantren, hingga kampus-kampus. Ini pertanda bahwa nurani bangsa belum mati.

Harapan ini harus dijaga. Sebab bila rakyat sudah cerdas dan berani, maka kekuasaan akan kembali pada pemilik sejatinya — rakyat. Dan ketika rakyat sadar, tak ada satu pun uang yang cukup untuk membeli masa depan bangsa.


Menjaga Suara, Menjaga Masa Depan

Satu suara bisa mengubah arah bangsa. Tapi satu suara juga bisa menghancurkan masa depan, bila dipilih karena uang. Maka jagalah suara, sebagaimana kita menjaga martabat diri. Tolak amplop, tolak sogokan, dan tolak godaan uang haram.

Kita tidak hanya memilih pemimpin untuk lima tahun, tetapi menentukan nasib anak cucu kita. Karena masa depan mereka lahir dari pilihan kita hari ini.


Pesan Akhir

“Jangan tunggu orang lain berubah, mulailah dari diri sendiri. Ketika amplop datang, tolak dengan senyum, lalu katakan:
‘Maaf, suara saya tidak untuk dijual. Saya sedang menjaga masa depan anak-anak saya.’


Tentang Penulis

Azhari adalah pemerhati sosial-politik dan penulis opini publik asal Aceh. Aktif menulis gagasan reflektif tentang kepemimpinan, moral politik, dan kesadaran rakyat di berbagai media lokal. Ia percaya, bangsa akan kuat bila rakyatnya sadar dan pemimpinnya jujur.