Pesta demokrasi lokal yang seharusnya menjadi ajang memilih pemimpin terbaik, kini kian tercoreng oleh praktik money politik. Fenomena ini bukan hal baru dalam setiap perhelatan Pilkada, baik di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi. Uang seolah menjadi tiket menuju kekuasaan, sementara nurani pemilih dan integritas calon pemimpin menjadi barang langka yang tersisih di sudut arena politik.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana dampak praktik money politik terhadap kinerja pejabat yang terpilih dan pelayanan publik yang seharusnya mereka jalankan?
1. Politik Uang: Awal dari Kepemimpinan yang Rapuh
Money politik pada dasarnya adalah bentuk manipulasi demokrasi. Ia membunuh prinsip keadilan, menciptakan kompetisi tidak sehat, dan mengubah orientasi kepemimpinan dari melayani menjadi mengembalikan modal.
Calon yang terpilih bukan karena kemampuan dan gagasan, melainkan karena kekuatan finansial yang mampu “membeli” simpati sesaat.
Ketika kekuasaan diperoleh dengan uang, maka uang pula yang menjadi ukuran dalam menjalankannya. Dalam banyak kasus, pejabat hasil money politik lebih fokus menghitung biaya yang telah keluar daripada menghitung tanggung jawab yang harus dipenuhi. Maka tidak heran bila jabatan publik sering dijadikan sarana balas budi politik, proyek-proyek diatur demi kepentingan tim pemenangan, dan kebijakan tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada kelompok tertentu.
Pemimpin yang naik dengan cara kotor, cenderung melahirkan sistem pemerintahan yang korup dan tidak efisien. Karena bagi mereka, kekuasaan bukanlah amanah, melainkan investasi yang harus memberi keuntungan.
2. Dampak Langsung terhadap Pelayanan Publik
Money politik memiliki efek domino terhadap menurunnya kualitas pelayanan masyarakat.
Ketika pejabat merasa harus “mengembalikan” biaya kebijakan yang lahir bukan lagi berdasarkan kebutuhan publik, tetapi berorientasi pada keuntungan pribadi atau kelompok.
Contohnya:
- Jabatan birokrasi diberikan kepada mereka yang berjasa secara finansial saat kampanye, bukan karena kompetensi.
- Pengadaan barang dan jasa diatur untuk mengembalikan dana politik, bukan berdasarkan kebutuhan pembangunan.
- Proyek-proyek strategis lebih sering diarahkan kepada kroni, bukan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Akibatnya, masyarakat menjadi korban dari kepemimpinan yang transaksional. Layanan publik menjadi lambat, kualitas pendidikan dan kesehatan menurun, infrastruktur tidak merata, dan anggaran daerah bocor di berbagai lini.
Lebih parah lagi, budaya politik uang menciptakan lingkaran setan demokrasi: rakyat menerima uang saat pemilu, pemimpin korup untuk mengganti kerugian, lalu rakyat kembali sengsara. Dan siklus ini terus berulang setiap lima tahun sekali.
3. Ketika Masyarakat Ikut “Menjual” Suaranya
Tidak adil memang menyalahkan hanya para calon kepala daerah. Sebab praktik money politik juga tumbuh subur karena masih banyak masyarakat yang rela menjual suaranya.
Sebagian menganggap uang yang diterima adalah “rezeki menjelang pemilu”, sebagian lagi merasa tidak masalah karena sudah muak dengan janji politik.
Padahal, setiap rupiah yang diterima dari praktik tersebut adalah harga yang dibayar untuk lima tahun penderitaan. Uang Rp100 ribu atau Rp200 ribu yang diberikan saat kampanye, sama dengan menyerahkan masa depan pelayanan publik kepada orang yang tidak layak memimpin.
Ibarat menjual hak memilih dengan harga murah, masyarakat sebenarnya sedang “menulis kontrak” penderitaan mereka sendiri. Karena setelah duduk di kursi kekuasaan, kecil kemungkinan pemimpin hasil transaksi akan benar-benar memperhatikan nasib rakyat kecil.
4. Politik Transaksional dan Krisis Etika Kepemimpinan
Money politik bukan hanya soal korupsi uang, tapi juga korupsi moral. Ia menandakan krisis etika dalam berpolitik dan bernegara.
Ketika politik kehilangan nilai moral, maka kekuasaan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri.
Kepemimpinan yang seharusnya mengandung nilai pelayanan dan pengabdian, berubah menjadi arena bisnis kekuasaan.
Dalam konteks lokal seperti di Aceh dan daerah-daerah lain di Indonesia, politik uang sering dibungkus dengan berbagai bentuk: “biaya transport”, “uang lelah”, “sumbangan sosial”, atau “bantuan pembangunan meunasah”. Semua itu hanyalah nama lain dari suap politik yang dilegalkan oleh budaya permisif.
Padahal, dalam Islam dan dalam hukum positif negara, praktik semacam ini jelas haram dan melanggar hukum.
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan tegas menyebutkan, calon kepala daerah yang terbukti melakukan politik uang dapat didiskualifikasi, bahkan dikenai sanksi pidana. Namun sayangnya, penegakan hukum sering lemah, dan masyarakat pun masih menganggapnya sebagai hal biasa.
5. Dari Demokrasi Transaksional ke Demokrasi Rasional
Menghapus money politik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia sudah mengakar kuat dalam budaya politik dan ekonomi masyarakat.
Namun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pendidikan politik masyarakat.
Masyarakat harus disadarkan bahwa suara bukan untuk dijual, tapi untuk dipertanggungjawabkan.
Kampanye tidak seharusnya diukur dari seberapa besar uang yang dibagikan, tetapi seberapa nyata gagasan dan komitmen yang ditawarkan calon pemimpin.
Rakyat harus diajak berpikir rasional — menilai program, integritas, dan rekam jejak, bukan isi amplop.
Selain itu, lembaga pengawas pemilu juga harus diperkuat dan diberi kewenangan tegas untuk menindak pelaku politik uang. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi komoditas lima tahunan, bukan alat untuk memperbaiki nasib rakyat.
6. Pemimpin dari Uang, Bekerja untuk Uang
Pemimpin yang lahir dari politik uang hampir mustahil bisa bekerja untuk rakyat.
Karena orientasi utamanya bukan pelayanan, tapi pengembalian modal dan perluasan jaringan kepentingan.
Ia akan sibuk menjaga dukungan politik, bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Inilah sebabnya banyak daerah yang stagnan, pembangunan tidak berkelanjutan, dan kebijakan publik tidak berdampak nyata. Pejabat sibuk membuat proyek yang menguntungkan kroni, sementara rakyat tetap berjuang dengan jalan rusak, harga tinggi, dan lapangan kerja yang sempit.
Money politik telah menjauhkan pemimpin dari makna sejati kepemimpinan — yaitu melayani dan menyejahterakan rakyat. Ketika jabatan menjadi hasil transaksi, maka nilai pengabdian pun lenyap.
7. Penutup: Demokrasi yang Sehat Dimulai dari Hati yang Bersih
Money politik bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan moral dan kesadaran kolektif bangsa.
Pemimpin yang jujur tidak akan menyuap, dan rakyat yang cerdas tidak akan menerima suap.
Namun semua itu butuh keberanian — keberanian untuk menolak amplop, menolak bujuk rayu, dan menolak dijadikan alat politik.
Jika kita ingin pelayanan publik yang bersih dan berkualitas, maka kita harus mulai dari proses politik yang bersih.
Karena dari cara pemimpin naik ke kursi kekuasaan, kita bisa menebak seperti apa cara ia akan memerintah.
Maka pesan sederhana untuk setiap pemilih:
“Jangan jual suaramu. Karena harga yang kamu terima hari ini, akan kamu bayar mahal dengan penderitaan lima tahun ke depan.”
Demokrasi sejati lahir bukan dari uang, tapi dari kesadaran. Dan pemimpin sejati bukan mereka yang membeli suara rakyat, tetapi mereka yang mendengarkan jeritan rakyat dan berjuang untuknya.
Penulis Azhari