Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pemimpin Terpilih dari Bagi Uang, Bekerja untuk Uang

Jumat, 17 Oktober 2025 | 01:06 WIB Last Updated 2025-10-16T18:06:30Z



 Demokrasi yang Terluka

Demokrasi sejatinya adalah panggung bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaik—mereka yang mampu membawa keadilan, kemakmuran, dan arah pembangunan yang bermartabat. Namun dalam kenyataan di berbagai daerah, termasuk Aceh dan banyak wilayah lain di Indonesia, demokrasi sering kali kehilangan makna. Pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi pesta gagasan dan visi, berubah menjadi arena transaksi uang. Politik uang, atau money politics, telah menjadi penyakit kronis yang mencederai kejujuran dan keadaban publik.

Fenomena ini tidak hanya merusak proses pemilihan, tetapi juga menciptakan rantai keburukan dalam pemerintahan. Sebab, ketika seseorang menang karena uang, maka ia akan memimpin dengan logika uang pula. Ia tidak lagi bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang membantunya berkuasa. Maka lahirlah pemerintahan yang rapuh secara moral dan kering secara spiritual.


Politik Uang: Wajah Buruk Demokrasi Lokal

Dalam banyak kasus pilkada, politik uang seolah menjadi hal lumrah. Ada yang membagi uang secara langsung, ada yang menyamarkannya dalam bentuk sembako, ada pula yang memanfaatkan program sosial atau proyek pemerintah untuk mendulang simpati. Semua dilakukan untuk membeli loyalitas sesaat, bukan kepercayaan jangka panjang.

Ironisnya, sebagian masyarakat sudah mulai menganggap hal itu biasa. Mereka berkata, “Semua calon sama saja, jadi siapa yang kasih uang, itu yang kita pilih.” Pernyataan seperti ini menunjukkan rusaknya nilai dasar dalam partisipasi politik. Uang telah menggantikan nurani, dan suap dianggap wajar dalam pesta demokrasi.

Padahal, setiap rupiah yang diterima dari calon pemimpin untuk membeli suara adalah racun bagi masa depan. Ia mungkin memberi kenyamanan sesaat, tetapi menciptakan penderitaan panjang. Karena pemimpin yang membeli suara tak akan punya rasa tanggung jawab moral kepada rakyat, hanya kepada mereka yang membiayainya. Ia akan bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk mengembalikan modal politik.


Dari Bagi Uang ke Bagi Proyek

Seorang pemimpin yang lahir dari politik uang ibarat pedagang yang ingin untung dari investasinya. Setelah menang, langkah pertama yang dilakukan bukan memperbaiki pelayanan publik, tapi menghitung berapa yang sudah dikeluarkan. Maka proyek pembangunan pun dibagi bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi berdasarkan kepentingan tim sukses.

Fenomena “bagi proyek” ini sudah menjadi rahasia umum. Para donatur kampanye menuntut balas jasa. Mereka diberi posisi strategis, jatah proyek, atau wewenang ekonomi di balik layar. Akibatnya, birokrasi menjadi rusak, pegawai profesional terpinggirkan, dan rakyat hanya mendapat sisa dari permainan politik yang kotor.

Lebih parah lagi, muncul budaya balas budi politik yang membuat pemerintahan berjalan tanpa arah. Anggaran publik digunakan untuk membayar loyalitas, bukan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, atau kesejahteraan rakyat. Maka tak heran, banyak daerah kaya sumber daya tapi miskin hasil pembangunan. Yang kaya hanyalah segelintir elit yang bermain di lingkar kekuasaan.


Rakyat yang Menjual Suara, Menjual Masa Depan

Dalam setiap sistem politik yang rusak, selalu ada dua pihak: pelaku dan penerima. Tidak hanya calon pemimpin yang bersalah karena membagi uang, tetapi rakyat juga ikut bersalah karena menerimanya. Demokrasi yang sejati hanya bisa hidup jika rakyat berani menolak suap dan memilih dengan hati yang bersih.

Namun kenyataannya, banyak masyarakat terjebak dalam kemiskinan yang membuat mereka pragmatis. Ketika diberi uang Rp100 ribu, mereka merasa itu bantuan, bukan suap. Padahal, dengan menerima uang itu, mereka kehilangan hak moral untuk menuntut. Sebab, mereka telah menukar suaranya dengan harga yang murah.

Satu suara seharga uang rokok bisa mengantarkan seorang koruptor ke kursi kekuasaan selama lima tahun. Bayangkan kerugian yang ditanggung rakyat karena satu keputusan yang keliru. Jalan rusak, pendidikan tertinggal, harga kebutuhan melonjak—semua itu bukan semata kesalahan pemerintah, tetapi juga akibat dari rakyat yang tidak bijak menggunakan hak pilihnya.


Pemimpin yang Dibeli, Tak Akan Melayani

Pemimpin sejati lahir dari proses yang jujur dan penuh perjuangan. Ia maju bukan karena uang, tapi karena cita-cita untuk memperbaiki keadaan. Sebaliknya, pemimpin yang lahir dari pembelian suara adalah pemimpin tanpa jiwa pengabdian. Ia tidak akan punya empati kepada penderitaan rakyat, karena hatinya sudah dikuasai oleh logika bisnis politik.

Mereka yang terpilih karena uang seringkali menjadikan jabatan sebagai ladang investasi. Mereka sibuk mencari keuntungan pribadi, memperkaya keluarga, dan memperkuat dinasti politik. Rakyat hanya menjadi alat legitimasi. Padahal, pemimpin yang baik seharusnya menjadi pelayan rakyat—melayani dengan keikhlasan, bukan menjual janji palsu.


Kehancuran Etika dan Moral Politik

Politik uang bukan hanya melahirkan pemimpin korup, tapi juga membunuh etika publik. Anak muda tumbuh dengan pandangan bahwa untuk jadi pemimpin, yang dibutuhkan bukan prestasi atau integritas, tetapi uang dan koneksi. Nilai perjuangan dan kejujuran terkikis, digantikan oleh mentalitas instan.

Ketika nilai moral hancur, maka semua sistem ikut runtuh. Pemerintah tidak lagi menjadi tempat rakyat berharap, melainkan sumber kekecewaan. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap politik, dan akhirnya apatis terhadap masa depan. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi hanya tinggal nama—tanpa ruh, tanpa nilai.


Membangun Kesadaran Baru

Perubahan tidak akan datang dari atas jika rakyat di bawah masih diam. Masyarakat harus berani menolak politik uang. Menolak bukan berarti menolak bantuan, tetapi menolak suap yang mengikat pilihan. Bantuan sejati tidak datang menjelang pemilu, melainkan dalam kebijakan nyata setelah pemimpin terpilih.

Lembaga pendidikan, dayah, kampus, dan ormas Islam harus mengambil peran dalam membangun kesadaran politik yang bermoral. Dakwah tentang kejujuran dan tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari pendidikan politik masyarakat. Ulama dan tokoh agama perlu bersuara lantang: “Membeli suara adalah dosa, menjual suara adalah pengkhianatan.”

Demokrasi yang sehat hanya bisa hidup di tengah rakyat yang cerdas. Karena itu, literasi politik menjadi kunci. Rakyat harus diajarkan untuk menilai calon pemimpin dari rekam jejak, visi, dan tanggung jawabnya, bukan dari seberapa banyak uang yang ia berikan.


Reformasi Biaya Politik

Selain kesadaran rakyat, negara juga harus berani melakukan reformasi dalam sistem pembiayaan politik. Biaya kampanye yang tinggi mendorong calon untuk mencari sponsor dari pengusaha dan elit, yang kemudian menuntut balas jasa. Ini akar dari praktik balas budi politik.

Pemerintah bersama KPU dan Bawaslu harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku politik uang. Tak cukup dengan sosialisasi, tapi perlu tindakan tegas, termasuk diskualifikasi calon yang terbukti membeli suara. Undang-undang Pemilu harus diperkuat agar ada efek jera yang nyata.

Selain itu, partai politik juga harus membangun sistem kaderisasi yang sehat. Calon pemimpin harus disiapkan sejak dini dengan pendidikan ideologis dan integritas moral. Jika partai hanya mencari kandidat yang punya uang, maka sistem demokrasi akan terus dikuasai oleh para pemodal, bukan oleh orang-orang berkompeten.


Menolak Uang, Menegakkan Harga Diri

Rakyat sering kali tidak sadar bahwa suara mereka adalah kekuatan besar. Satu suara bisa menentukan arah pembangunan, masa depan daerah, bahkan kehidupan anak cucu. Maka, menjual suara sama dengan menjual masa depan sendiri.

Menolak uang politik bukan hal mudah di tengah kemiskinan, tapi itulah langkah pertama menuju martabat. Ketika rakyat berani berkata “tidak” terhadap suap politik, maka lahirlah demokrasi yang bersih. Pemimpin akan sadar bahwa kekuasaan tidak bisa dibeli, hanya bisa diperjuangkan dengan kepercayaan.

Bangsa ini butuh rakyat yang berani miskin sementara demi kaya di masa depan, bukan yang kaya sesaat tapi miskin selamanya.


Penutup: Dari Uang ke Amanah

Kita harus menyadari bahwa akar persoalan bangsa ini bukan hanya korupsi di atas, tapi juga korupsi di bawah — korupsi nilai, korupsi nurani. Setiap kali rakyat menerima uang untuk memilih, setiap kali calon membeli suara, setiap kali partai menutup mata terhadap praktik curang, maka di saat itu pula demokrasi kehilangan ruhnya.

Pemimpin yang terpilih karena uang pasti bekerja untuk uang. Tapi pemimpin yang terpilih karena kepercayaan, akan bekerja untuk kebenaran. Pilihan ada di tangan rakyat: ingin lima tahun diatur oleh mereka yang membeli, atau dilayani oleh mereka yang berjuang.

Menolak uang politik adalah bentuk ibadah sosial. Ia bukan hanya tindakan moral, tapi juga jihad melawan kebusukan sistem. Karena pada akhirnya, bangsa ini hanya akan maju jika rakyatnya memilih dengan akal sehat dan hati nurani, bukan dengan amplop dan janji palsu.


“Rakyat yang bersih akan melahirkan pemimpin yang bersih. Dan pemimpin yang bersih akan melahirkan pemerintahan yang bermartabat.”


Penulis Azhari