Jabatan adalah impian banyak orang, tapi pada saat yang sama, ia adalah ujian yang tak semua mampu melewatinya dengan selamat. Di mata manusia, jabatan tampak seperti kehormatan, kemewahan, dan tanda kesuksesan. Namun di mata Tuhan, jabatan adalah amanah — sesuatu yang akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Banyak orang berjuang keras untuk mendapatkan jabatan, tetapi lupa mempersiapkan diri untuk mengemban tanggung jawabnya. Mereka mengejar kursi, tapi lupa bahwa di atas kursi itu ada beban yang berat — beban keadilan, kejujuran, dan keberpihakan kepada rakyat. Dalam keluarga, jabatan sering kali menjadi sumber kebanggaan, tetapi juga bisa menjadi sumber kehancuran bila disalahgunakan.
Nasehat hidup dalam jabatan bermula dari kesadaran bahwa segala sesuatu bersifat sementara. Hari ini kita dipuji, besok kita bisa dicaci. Hari ini kita berkuasa, besok kita bisa dilupakan. Maka, janganlah jabatan membuat kita buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang dalam keluarga. Sebab banyak orang yang ketika menjabat tinggi, lupa bahwa anaknya butuh perhatian, istrinya butuh kasih sayang, dan orang tuanya masih menanti bakti.
Dalam sejarah dan realitas kehidupan, kita melihat betapa banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi, terperangkap oleh janji manis politik, dan terjatuh karena ambisi pribadi. Semua itu terjadi bukan karena mereka tak pandai, tapi karena mereka gagal menundukkan hawa nafsu. Jabatan bukanlah jalan menuju kemuliaan, tapi medan ujian yang menyingkap siapa sebenarnya diri kita.
Nasehat paling utama bagi siapa pun yang sedang memegang jabatan adalah: ingatlah bahwa kekuasaan adalah titipan, bukan milik abadi. Sebagaimana rezeki, jabatan datang dan pergi sesuai kehendak Allah. Maka gunakan jabatan sebagai sarana berbuat baik, membantu sesama, dan menegakkan keadilan. Sebab jabatan yang diisi dengan keikhlasan akan menjadi amal jariyah, sementara jabatan yang diisi dengan keserakahan hanya akan membawa penyesalan.
Dalam lingkungan keluarga, peran jabatan juga harus seimbang. Jangan sampai karena jabatan, seseorang menjadi tinggi hati di rumah, merasa paling benar, dan lupa mendengarkan nasihat pasangan atau anak. Jabatan boleh memberi wibawa, tapi jangan sampai menghapus kelembutan. Seorang ayah yang bijak akan tetap menjadi tempat pulang yang penuh kasih, bukan penguasa di meja makan.
Hidup dalam jabatan membutuhkan ketenangan hati, kebijaksanaan berpikir, dan kepekaan sosial. Jabatan tanpa nurani hanya melahirkan kekerasan kebijakan, sementara jabatan yang dibarengi keimanan akan melahirkan kesejahteraan bagi banyak orang. Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa atas mereka. Maka, semakin tinggi jabatan seseorang, seharusnya semakin rendah hatinya di hadapan rakyat dan Tuhan.
Jabatan yang baik adalah yang memberi manfaat, bukan yang menebar ketakutan. Ia menjadi ladang amal, bukan ladang dosa. Karena sejatinya, hidup bukan diukur dari seberapa tinggi posisi yang dicapai, melainkan dari seberapa banyak kebaikan yang ditinggalkan.
Maka wahai pemegang jabatan — baik di kantor, pemerintahan, lembaga, maupun organisasi — jangan biarkan jabatan membuatmu kehilangan jati diri. Jadikanlah jabatan sebagai alat untuk berbuat adil, bukan alat untuk memperkaya diri. Sebab ketika jabatan telah usai, yang tersisa hanyalah nama baik dan amal perbuatan.
Dan bagi keluarga, tetaplah menjadi pengingat dan penyeimbang. Jangan silau dengan jabatan anggota keluarga, tapi teruslah mengingatkan dengan kasih sayang: bahwa jabatan hanyalah titipan, sedangkan tanggung jawabnya akan kekal di hadapan Allah.
Penulis: Azhari
(Refleksi keluarga dan kepemimpinan moral dalam kehidupan modern)