Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Negarawan Aceh dan Politikus Kursi: Siapa yang Masih Pikirkan Rakyat

Minggu, 26 Oktober 2025 | 22:52 WIB Last Updated 2025-10-26T15:52:00Z




Dalam perjalanan panjang sejarah Aceh, kita pernah melahirkan banyak negarawan sejati — mereka yang berpikir jauh ke depan, berjuang bukan demi jabatan, tetapi demi marwah rakyat dan martabat bangsa. Namun kini, seiring waktu berjalan dan politik menjadi panggung popularitas, perbedaan antara negarawan dan politikus makin kabur.

Kita hidup di masa ketika negarawan semakin langka, dan politikus kursi semakin berlipat.
Negarawan berpikir tentang generasi berikutnya, sedangkan politikus hanya memikirkan pemilu berikutnya.

Itulah sebabnya, banyak kebijakan di Aceh yang tampak sibuk di permukaan, namun kosong di isi. Program dibuat tanpa arah keberlanjutan, bantuan disalurkan hanya menjelang pesta politik, dan pembangunan sering berhenti setelah foto bersama selesai. Di tengah semua itu, rakyat menjadi penonton dari drama kekuasaan yang tak pernah selesai.

Aceh yang dulu dikenal tangguh dan bijak dalam diplomasi, kini justru sering terjebak dalam politik pragmatis. Jabatan menjadi rebutan, bukan pengabdian. Kekuasaan menjadi hadiah, bukan amanah. Padahal, sejarah telah mengajarkan:
bangsa yang kehilangan negarawan, akan kehilangan masa depannya.

Seorang negarawan Aceh akan berpikir bagaimana membangkitkan ekonomi rakyat, memberdayakan dayah dan pendidikan, menata kembali moral sosial, dan memperjuangkan keadilan yang hakiki. Ia sadar, bahwa kejayaan Aceh tidak akan datang dari janji politik, tapi dari ketulusan bekerja untuk umat.

Sementara seorang politikus kursi, hanya berpikir bagaimana mempertahankan pengaruhnya, menambah jaringan kekuasaan, dan memastikan dirinya tetap di atas panggung. Ia mungkin lihai berbicara tentang rakyat, tapi langkahnya tak pernah menyentuh penderitaan rakyat.
Ia bisa berdiri di mimbar dengan retorika perjuangan, tapi diam di saat rakyat menjerit karena kemiskinan dan korupsi.

Kita, rakyat Aceh, harus berani membedakan siapa yang bekerja dan siapa yang bersandiwara. Sebab, masa depan Aceh tidak boleh ditentukan oleh mereka yang hanya mengejar suara, melainkan oleh mereka yang menanam nilai.

Negarawan Aceh adalah sosok yang tak gentar menghadapi badai, karena ia tahu bahwa setiap kebijakan yang benar akan menumbuhkan kepercayaan. Ia tidak menipu rakyat dengan slogan, tapi menenangkan rakyat dengan tindakan. Ia tidak mencari jabatan, tapi jabatan yang mencari dirinya karena ketulusan dan kemampuan.

Kini, pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama:
Apakah Aceh hari ini sedang dipimpin oleh negarawan, atau hanya sekadar politikus kursi?
Apakah arah kebijakan kita ditujukan untuk generasi yang akan datang, atau hanya untuk kepentingan mereka yang sedang berkuasa?

Negarawan sejati tidak butuh baliho untuk dikenal, tidak butuh pencitraan untuk dihormati. Ia bekerja dalam senyap, tapi hasilnya nyata. Sementara politikus kursi berisik di media, tapi kosong di lapangan.

Aceh membutuhkan negarawan — bukan sekadar pemimpin.
Karena negarawan akan menanam nilai untuk 50 tahun ke depan, sementara politikus hanya menanam janji untuk lima tahun ke depan.
Dan di situlah perbedaan antara sejarah dan sekadar cerita dimulai.