Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Rakyat yang Menjual Suara di Pesta Demokrasi, Itu Menjual Masa Depan

Jumat, 17 Oktober 2025 | 01:12 WIB Last Updated 2025-10-17T05:05:34Z

.


Rakyat yang Menjual Suara di Pesta Demokrasi, Itu Menjual Masa Depan

Oleh: Azhari


Demokrasi yang Dirusak oleh Amplop

Demokrasi sejatinya adalah jalan mulia bagi rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Melalui pemilihan umum, rakyat diberi kekuasaan memilih siapa yang akan memimpin dan membawa perubahan. Namun kini, di banyak tempat, demokrasi seakan kehilangan ruh. Pesta demokrasi berubah menjadi pesta uang.

Suara rakyat yang seharusnya menjadi simbol kehormatan dan amanah moral, kini mudah ditukar dengan amplop, sembako, atau janji sesaat. Fenomena politik uang bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga luka moral yang menggerogoti bangsa. Sebab, ketika suara bisa dibeli, maka masa depan ikut dijual bersama amplop yang diterima malam sebelum pemilu.


Dari Pilihan Hati ke Pilihan Amplop

Pemilu seharusnya menjadi arena adu gagasan, bukan adu isi dompet. Tapi kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Banyak calon pemimpin memilih cara mudah: membeli suara rakyat. Sementara sebagian masyarakat, karena tekanan ekonomi, mulai menganggap itu hal biasa.

“Mereka semua sama saja, jadi ambil saja uangnya,” begitu alasan yang sering terdengar. Padahal, pandangan pragmatis seperti ini menjadi awal dari kehancuran politik bangsa.

Saat rakyat memilih bukan karena hati dan nurani, tapi karena amplop, maka suara yang diberikan bukan lagi suara keadilan, melainkan suara yang diperjualbelikan. Dan ketika suara telah menjadi komoditas, maka pemimpin yang lahir darinya pun akan memperlakukan rakyat sebagai barang dagangan.


Seratus Ribu yang Menghancurkan Lima Tahun

Uang seratus ribu terasa besar bagi sebagian masyarakat, tapi nilainya kecil dibandingkan harga lima tahun kepemimpinan yang buruk. Uang itu mungkin cukup untuk belanja harian, tapi akibatnya bisa bertahun-tahun: jalan rusak, sekolah terbengkalai, pelayanan publik kacau, dan pejabat sibuk memperkaya diri.

Menerima uang politik berarti menukar hak untuk menuntut. Sebab, pemimpin yang membeli suara merasa tidak lagi berutang kepada rakyat, melainkan kepada para donatur dan tim suksesnya. Maka, begitu berkuasa, ia akan bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk mengembalikan “modal” yang sudah dikeluarkan.

Inilah sebab utama mengapa korupsi selalu berulang: karena sistem politik kita dibangun di atas transaksi, bukan kepercayaan.


Rakyat yang Menjual Suara, Menjual Amanah

Menjual suara bukan hanya kesalahan hukum, tapi juga pengkhianatan moral. Dalam Islam, memilih pemimpin adalah amanah (amanah al-imarah). Suara yang kita berikan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Ketika suara dijual karena uang, maka itu sama saja dengan menjual keadilan, kebenaran, dan masa depan anak cucu. Demokrasi menjadi kotor karena rakyat ikut mengotorinya.

Rakyat sering menyalahkan pejabat korup, tapi lupa bahwa korupsi juga lahir dari pilihan rakyat yang salah. Rakyat yang menjual suara telah membuka pintu bagi korupsi masuk ke dalam sistem pemerintahan.


Kemiskinan Bukan Alasan untuk Kehilangan Prinsip

Banyak masyarakat yang membenarkan penerimaan uang politik karena alasan ekonomi. Namun kemiskinan bukan alasan untuk kehilangan prinsip. Justru karena miskin, rakyat harus lebih berhati-hati agar tidak memilih pemimpin yang salah.

Uang politik tidak pernah menghapus kemiskinan, malah memperpanjangnya. Karena pemimpin yang membeli suara tidak punya kepedulian terhadap rakyat kecil. Ia hanya peduli pada cara mengembalikan modal dan memperkuat kekuasaan.

Yang dibutuhkan rakyat bukan amplop menjelang pemilu, tapi kebijakan yang membuka lapangan kerja, pendidikan yang layak, dan pelayanan publik yang adil. Itu hanya mungkin jika pemimpin terpilih dengan cara yang bersih.


Bangsa Ini Butuh Rakyat yang Berani Menolak

Rakyat adalah penentu arah bangsa. Jika rakyat berani menolak politik uang, maka sistem yang kotor akan tumbang. Tapi jika rakyat diam, maka kecurangan akan terus hidup.

Menolak uang politik bukan sekadar tindakan moral, tapi bentuk jihad sosial. Sebab, menjaga kejujuran dalam pemilu berarti menjaga masa depan bangsa.

Rakyat harus sadar bahwa kekuatan terbesar bukan pada uang calon, tapi pada suara mereka sendiri. Satu suara bersih bisa menjadi dasar bagi lima tahun perubahan.


Reformasi Politik Dimulai dari Nurani

Kita tidak bisa menunggu pemimpin jujur lahir dari sistem yang kotor. Reformasi politik harus dimulai dari rakyat. Dari kesadaran untuk tidak menjual suara, dari pendidikan politik di rumah, di dayah, di kampus, dan di masjid.

Para ulama dan tokoh masyarakat harus berani bersuara bahwa membeli atau menjual suara adalah perbuatan dosa. Bawaslu dan aparat penegak hukum harus tegas menindak pelaku politik uang tanpa pandang bulu.

Sementara partai politik harus memperbaiki diri dengan menominasikan calon-calon yang bersih, bukan yang paling kaya. Karena demokrasi tanpa moral akan berubah menjadi bursa kekuasaan.


Refleksi: Harga Diri Tidak Bisa Dibeli

Bangsa yang besar dibangun oleh rakyat yang punya harga diri. Rakyat yang menjual suara telah kehilangan kehormatannya. Karena itu, setiap kali menerima amplop dari calon pemimpin, ingatlah: uang itu mungkin bisa membeli beras, tapi juga bisa menghancurkan masa depan anak cucu.

Harga diri bangsa ini tidak bisa ditawar dengan seratus ribu. Ia hanya bisa dijaga dengan kejujuran dan keberanian moral.


Menjaga Suara, Menjaga Masa Depan

Suara rakyat adalah amanah, bukan barang dagangan. Jangan tukar suara dengan uang, karena uang habis dalam sehari, tapi akibatnya bisa dirasakan seumur hidup.

Pemimpin yang lahir dari uang akan bekerja untuk uang. Tapi pemimpin yang lahir dari kepercayaan akan bekerja untuk rakyat.

Menolak politik uang bukan tindakan kecil — itu adalah langkah besar untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran moral dan ekonomi. Karena masa depan bangsa ini hanya akan cerah jika rakyatnya memilih dengan hati yang bersih dan pikiran yang waras.


“Rakyat yang menjual suara di pesta demokrasi, sesungguhnya sedang menjual masa depan anak cucunya sendiri.”


✍️ Azhari .