Refleksi atas Sejarah, Tantangan, dan Harapan Masa Depan
Aceh, tanah yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, tidak hanya menyimpan sejarah panjang tentang perjuangan melawan penjajahan, tetapi juga memiliki warisan pendidikan yang luar biasa. Di bumi ini, ilmu pernah tumbuh menjadi cahaya yang menuntun peradaban; dari zaman kesultanan, masa penjajahan, hingga era kemerdekaan dan reformasi, pendidikan selalu menjadi tiang utama yang membentuk martabat rakyat Aceh.
Namun perjalanan pendidikan di Aceh bukanlah jalan yang lurus dan mudah. Ia diwarnai oleh pergulatan antara tradisi dan modernitas, agama dan sains, konflik dan perdamaian, serta keterbatasan dan cita-cita besar untuk bangkit kembali.
1. Jejak Pendidikan pada Masa Kesultanan Aceh
Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16 hingga 17), pendidikan tumbuh pesat sebagai bagian dari kehidupan sosial dan politik kerajaan. Dayah, rangkang, dan meunasah bukan hanya tempat belajar agama, melainkan juga pusat diplomasi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Ulama besar seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala), dan Hamzah Fansuri menulis karya-karya monumental yang menjadi literatur Islam di Nusantara. Dayah bukan hanya mengajarkan ilmu syariah, tetapi juga logika, astronomi, filsafat, hingga bahasa asing seperti Arab dan Parsi.
Bisa dikatakan, pendidikan di Aceh adalah bagian dari identitas peradaban Islam Asia Tenggara. Sistem pendidikannya berbasis komunitas dan spiritualitas, dengan prinsip talabul ‘ilm (menuntut ilmu) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Masa Penjajahan dan Upaya Peminggiran Pendidikan Islam
Ketika kolonial Belanda memasuki Aceh, sistem pendidikan tradisional ini menjadi sasaran utama. Pemerintah kolonial berusaha menggantikan sistem dayah dengan sekolah-sekolah gaya Barat yang berorientasi pada kepentingan politik kolonial.
Namun, rakyat Aceh tidak mudah tunduk. Mereka tetap mempertahankan pendidikan berbasis agama dan adat, meski di bawah tekanan. Ulama menjadi benteng pertahanan, bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam melestarikan ilmu dan moral bangsa.
Sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif menimbulkan kesenjangan besar. Hanya segelintir masyarakat Aceh yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal ala Belanda. Di sinilah muncul kesadaran baru bahwa pendidikan adalah senjata perlawanan.
3. Pendidikan Aceh di Masa Revolusi dan Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Aceh memainkan peran penting dalam menopang negara baru. Dari tanah Aceh lah mengalir dana, emas, dan semangat untuk mempertahankan kedaulatan.
Dalam bidang pendidikan, dayah dan madrasah mulai mendapat pengakuan. Pemerintah daerah dan tokoh-tokoh agama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam formal, seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang mendirikan madrasah modern.
Pendidikan di Aceh berkembang dengan semangat keikhlasan dan perjuangan. Guru mengajar tanpa pamrih, masyarakat membangun sekolah dengan gotong royong, dan anak-anak belajar di bawah cahaya lampu minyak demi masa depan yang lebih baik.
4. Masa Konflik: Pendidikan di Tengah Deru Peluru
Memasuki era 1970-an hingga 2000-an, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia menghantam sendi-sendi kehidupan rakyat. Pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak.
Banyak sekolah hancur, guru dan siswa trauma, dan akses pendidikan terganggu. Ribuan anak Aceh kehilangan kesempatan belajar karena perang, pengungsian, dan ketakutan.
Namun di tengah gelap itu, muncul cahaya dari mereka yang tetap berjuang — guru-guru yang mengajar di bawah bayang-bayang konflik, santri yang bertahan di dayah, dan mahasiswa yang menjadi agen perdamaian.
Mereka menyadari bahwa pendidikan adalah jembatan menuju perdamaian. Dari ruang kelas yang sederhana, lahir tekad baru untuk membangun Aceh dengan ilmu, bukan dengan senjata.
5. Pascatsunami dan Era Otonomi Khusus: Rehabilitasi dan Reformasi
Tragedi tsunami 2004 menjadi babak baru dalam sejarah pendidikan Aceh. Bencana itu menghancurkan ribuan sekolah dan menewaskan banyak tenaga pendidik. Namun dari kehancuran itu pula lahir semangat besar untuk membangun kembali.
Melalui berbagai program nasional dan internasional, Aceh bangkit dengan infrastruktur pendidikan yang lebih baik. Pembangunan sekolah, beasiswa, dan pelatihan guru digalakkan.
Selain itu, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Pendidikan Aceh memberi dasar hukum bagi lahirnya sistem pendidikan berciri khas Islam. Dayah kini tidak lagi dipinggirkan, tetapi diakui secara resmi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Aceh memiliki peluang besar untuk menggabungkan nilai keislaman, kearifan lokal, dan kemajuan modern. Namun, peluang itu juga disertai tantangan baru: bagaimana menjaga ruh pendidikan agar tidak terjebak dalam birokrasi dan komersialisasi.
6. Tantangan Pendidikan Aceh di Era Digital
Kini, ketika dunia bergerak cepat ke arah digitalisasi dan kecerdasan buatan, pendidikan di Aceh menghadapi tantangan baru.
Beberapa di antaranya adalah:
- Kesenjangan kualitas antara sekolah di kota dan pedalaman;
- Minimnya literasi digital di kalangan siswa dan guru;
- Ketimpangan fasilitas, terutama di daerah terpencil;
- Menurunnya minat baca dan nilai moral akibat budaya instan media sosial.
Dayah dan sekolah kini harus mampu menyesuaikan diri dengan dunia baru tanpa kehilangan jati dirinya. Teknologi perlu dijadikan alat dakwah dan pembelajaran, bukan ancaman bagi akhlak dan karakter generasi muda.
Pendidikan Aceh mesti memadukan ilmu dunia dan ilmu akhirat, teknologi dan spiritualitas, nalar dan nurani — sebagaimana cita-cita para ulama terdahulu.
7. Harapan dan Jalan ke Depan
Pendidikan Aceh tidak boleh hanya menjadi rutinitas administratif atau proyek pembangunan. Ia harus kembali menjadi gerakan moral dan kebudayaan.
Pemerintah perlu memperkuat peran guru dan dayah sebagai pilar utama. Sementara generasi muda harus menumbuhkan kembali semangat talabul ‘ilm — mencari ilmu bukan semata demi pekerjaan, tetapi demi peradaban.
Seperti kata bijak lama,
“Dayah adalah akar, sekolah adalah batang, dan universitas adalah buah dari pohon ilmu Aceh. Jika akar terputus, maka batang dan buahnya akan layu.”
Maka, perjuangan pendidikan Aceh adalah perjuangan untuk menjaga akar itu tetap hidup — agar generasi mendatang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam iman, akhlak, dan cinta kepada tanah kelahiran.
Penutup
Perjalanan panjang pendidikan di Aceh adalah kisah tentang keteguhan hati, pengorbanan, dan cita-cita besar. Dari surau hingga universitas, dari ulama hingga aktivis muda, dari masa perang hingga perdamaian — semua berjuang di jalan yang sama: menegakkan ilmu sebagai cahaya kehidupan.
Kini, tanggung jawab ada di pundak generasi kita. Apakah kita akan meneruskan semangat itu, atau membiarkannya padam di tengah arus zaman?
Jawabannya bergantung pada seberapa besar kita mencintai Aceh dan menghargai makna pendidikan sebagai warisan yang harus dijaga.