Tidak ada badai yang lebih menghancurkan dalam rumah tangga selain pengkhianatan cinta. Ia datang perlahan, lembut, namun meninggalkan luka yang dalam. Perselingkuhan tanpa pernikahan — atau hubungan gelap di luar ikatan sah — bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi juga petaka yang mengguncang sendi kepercayaan dan kehormatan keluarga.
Rumah tangga dibangun atas tiga pilar utama: kepercayaan, tanggung jawab, dan kesetiaan. Ketika salah satu pilar itu runtuh, bangunan rumah tangga menjadi rapuh. Perselingkuhan adalah tanda bahwa cinta telah kehilangan arah dan hati telah berpaling dari komitmen yang dulu diikrarkan di hadapan Allah dan saksi-saksi.
Cinta yang Berkhianat, Luka yang Tak Terlihat
Banyak yang menganggap perselingkuhan hanyalah “kesalahan kecil” yang bisa dimaafkan. Padahal, dampaknya seperti racun yang merembes perlahan ke dalam jiwa pasangan.
Cinta yang tulus berubah menjadi curiga. Senyum berubah menjadi sindiran. Kasih sayang berubah menjadi dingin.
Perasaan dikhianati bukan hanya soal kehilangan pasangan, tetapi kehilangan diri sendiri.
Bagi istri atau suami yang setia, mengetahui bahwa pasangannya memiliki hubungan lain di luar pernikahan adalah penghinaan terhadap pengorbanan dan cinta yang selama ini dijaga.
Aspek Hukum dan Moral di Aceh
Dalam perspektif Hukum Syariah di Aceh, perselingkuhan termasuk dalam kategori zina jika dilakukan dengan hubungan badan di luar nikah, dan itu merupakan pelanggaran serius terhadap Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014.
Pasal 33 dan 34 Qanun tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan zina dapat dikenakan hukuman uqubat cambuk, denda, atau penjara.
Namun lebih dari sekadar hukum, perselingkuhan adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah.
Pernikahan bukan hanya kontrak sosial, tetapi juga akad suci yang melibatkan nama-Nya. Maka, mengkhianati pasangan berarti mengkhianati amanah yang dititipkan Allah kepada manusia.
Dalam pandangan moral masyarakat Aceh, perselingkuhan bukan hanya aib pribadi, melainkan juga malu keluarga besar. Nama baik orang tua, anak, dan keturunan ikut tercoreng.
Masyarakat Aceh memegang kuat nilai kehormatan (izzah), dan ketika kehormatan itu tercabik karena perbuatan maksiat, maka dampaknya meluas hingga ke ranah sosial.
Faktor Penyebab Perselingkuhan
Tidak ada rumah tangga yang tiba-tiba retak. Retakan itu sering dimulai dari hal kecil — komunikasi yang renggang, perhatian yang berkurang, atau godaan dari luar yang tidak dijaga.
Beberapa faktor yang sering menjadi pemicu antara lain:
- Kehilangan komunikasi emosional antara suami dan istri.
- Kurangnya rasa syukur terhadap pasangan yang dimiliki.
- Lingkungan kerja atau media sosial yang membuka peluang hubungan terlarang.
- Faktor ekonomi dan tekanan hidup yang membuat seseorang mencari pelarian.
- Iman yang lemah, hingga mudah tergoda oleh bisikan syahwat dan janji palsu cinta.
Namun, apa pun alasannya, perselingkuhan tetap tidak bisa dibenarkan.
Ia bukan solusi dari masalah rumah tangga, tetapi penyebab utama kehancuran yang lebih besar.
Dampak Psikologis dan Sosial
Dampak dari hubungan gelap ini tidak hanya dirasakan oleh pasangan, tetapi juga oleh anak-anak. Anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang penuh konflik sering membawa luka batin hingga dewasa. Mereka kehilangan figur panutan, kehilangan rasa aman, bahkan kehilangan arah moral.
Secara sosial, pelaku perselingkuhan akan kehilangan kepercayaan dari lingkungan. Reputasi yang dibangun bertahun-tahun bisa hilang seketika.
Dan yang paling menyakitkan, dosa moral itu tetap tertulis di hadapan Allah meski manusia berusaha menutupinya.
“Ketika nafsu menjadi raja, maka logika dan iman menjadi budak.”
Itulah sebabnya, menjaga diri dari godaan bukan hanya tugas moral, tetapi juga bentuk jihad pribadi dalam mempertahankan kesucian rumah tangga.
Jalan Kembali: Taubat dan Perbaikan
Masih ada jalan kembali bagi mereka yang tersesat. Islam tidak menutup pintu taubat. Namun, taubat bukan sekadar menangis dan memohon ampun, melainkan berhenti total dari perbuatan itu dan memperbaiki hubungan dengan pasangan.
Bagi pasangan yang disakiti, memaafkan bukan berarti melupakan, tapi membebaskan diri dari beban dendam. Namun, maaf tanpa perubahan hanyalah kesia-siaan.
Perbaikan harus dimulai dari kesadaran bersama, komitmen memperkuat iman, dan kembali menata komunikasi dalam keluarga.
Rumah tangga yang dibangun atas cinta sejati tidak akan mudah goyah oleh godaan sesaat.
Karena cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang menjaga dan bertanggung jawab.
Penutup: Setia Adalah Ibadah
Perselingkuhan tanpa pernikahan adalah petaka dalam rumah tangga, bukan hanya karena melanggar hukum, tetapi karena mengkhianati nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Kesetiaan adalah bentuk ibadah, sedangkan pengkhianatan adalah bentuk kufur terhadap nikmat yang Allah berikan.
Jagalah pasanganmu sebagaimana kamu ingin dijaga.
Hargai cinta dengan kejujuran, bukan dengan tipu daya.
Karena sekali kepercayaan hilang, tidak ada doa yang mampu mengembalikannya tanpa kesungguhan untuk berubah.
“Rumah tangga tidak runtuh karena badai, tetapi karena salah satu memilih membuka pintu bagi angin yang menggoda.”
Penulis Azhari