Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Politik Uang: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Jumat, 17 Oktober 2025 | 01:18 WIB Last Updated 2025-10-17T05:01:41Z



Di setiap pesta demokrasi, wajah-wajah tersenyum menghiasi jalanan, baliho terpasang megah, janji-janji manis dilontarkan, dan rakyat disapa dengan ramah. Namun di balik keramaian itu, ada transaksi senyap yang terus berulang: amplop lusuh berisi uang tunai berpindah tangan, dibungkus dengan alasan “tanda terima kasih.”

Seratus ribu, dua ratus ribu, atau mungkin hanya sekantong beras. Nilainya kecil, tapi dampaknya besar: merusak moral, menodai demokrasi, dan menghancurkan masa depan bangsa selama lima tahun ke depan.

Politik uang bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan penyakit sosial yang menular dari pemimpin ke rakyat, dari desa ke kota, dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden. Luka ini sudah lama terbuka, dan yang paling tragis — bangsa ini tampak mulai terbiasa hidup dengan luka itu.


Demokrasi yang Tergadai

Demokrasi sejatinya adalah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Suara rakyat adalah amanah suci, bukan komoditas pasar. Namun kini, suara bisa dibeli semurah isi amplop.

Ketika suara rakyat diperdagangkan, maka makna demokrasi pun hilang. Pemilu bukan lagi pesta gagasan, melainkan arena transaksi. Yang memiliki uang lebih banyak, dialah yang menang. Sementara mereka yang jujur, berintegritas, dan tulus ingin mengabdi, tersingkir oleh logika uang.

Demokrasi akhirnya menjadi tirani modal. Hasilnya bukan pemimpin rakyat, melainkan pedagang kekuasaan. Setelah terpilih, mereka merasa berhak untuk “balik modal.” Maka proyek dijadikan sumber keuntungan, jabatan diperdagangkan, dan pelayanan publik berubah menjadi lahan bisnis.


Pemimpin dari Uang, Bekerja untuk Uang

Seseorang yang naik ke tampuk kekuasaan dengan membeli suara tidak akan memiliki komitmen moral terhadap rakyat.
Ia akan memandang jabatan sebagai investasi, bukan pengabdian. Dalam pikirannya, kemenangan adalah hasil transaksi, bukan amanah. Maka segala kebijakan diukur dengan nilai rupiah, bukan dengan rasa keadilan.

Inilah akar dari berbagai krisis yang melanda negeri: korupsi yang tak pernah usai, pembangunan yang tidak tepat sasaran, dan pelayanan publik yang hanya berpihak pada yang mampu membayar. Semua bermula dari uang — dari politik uang yang kita biarkan hidup subur.


Rakyat yang Terluka tapi Tak Sadar

Luka politik uang bukan hanya di pihak elit, tapi juga di hati rakyat. Setiap kali pemilu tiba, sebagian masyarakat seolah menanti “musim panen.” Amplop datang, janji bertebaran, dan senyum dibagikan. Mereka tahu uang itu bukan rezeki yang halal, tapi tetap menerimanya — dengan alasan “daripada tidak dapat apa-apa.”

Padahal harga yang mereka bayar jauh lebih besar: lima tahun penderitaan, lima tahun ketidakadilan, dan lima tahun kehilangan hak untuk menuntut perubahan.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian rakyat mulai menormalkan keburukan ini. Mereka berkata, “Semua calon juga begitu.” Kalimat sederhana itu adalah tanda bahwa luka moral sudah semakin dalam. Ketika kejahatan dianggap biasa, maka keadilan akan mati perlahan.


Politik Uang dan Pembusukan Moral Bangsa

Politik uang bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi tanda nyata hilangnya moralitas publik.
Rakyat yang menerima uang kehilangan harga diri. Calon yang memberi uang kehilangan kehormatan. Dan bangsa yang membiarkan keduanya akan kehilangan masa depan.

Dalam masyarakat yang sudah terbiasa dengan politik uang, kejujuran menjadi barang langka. Semua hal bisa dinegosiasikan — mulai dari jabatan, proyek, hingga kebijakan. Politik berubah menjadi industri besar, di mana kekuasaan adalah produk, rakyat adalah pasar, dan uang adalah alat tukar utama.

Apabila sistem ini dibiarkan, maka demokrasi hanya tinggal nama. Negara menjadi panggung sandiwara, dan rakyat hanya penonton yang membeli tiket dengan masa depan mereka sendiri.


Hukum yang Lemah, Nurani yang Mati

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebenarnya telah mengatur larangan keras terhadap praktik politik uang. Pemberi dan penerima sama-sama bisa dijerat pidana.

Namun dalam praktiknya, penegakan hukum sering tumpul. Banyak laporan berhenti di tingkat pengawasan, tanpa tindak lanjut. Pelaku leluasa, saksi bungkam, dan rakyat menganggapnya “rezeki musiman.”

Hukum memang penting, tapi lebih penting dari itu adalah kesadaran moral. Karena hukum tanpa nurani hanya menjadi tulisan di kertas. Selama rakyat masih menikmati uang haram dari politik, selama itu pula luka ini takkan sembuh.


Jalan Menuju Kesadaran

Tidak ada obat mujarab untuk politik uang selain kesadaran rakyat sendiri. Rakyat harus paham bahwa menerima uang berarti menyerahkan haknya untuk menuntut keadilan.

Pendidikan politik menjadi kunci. Para ulama, guru, akademisi, tokoh adat, dan aktivis masyarakat harus bersatu menanamkan kesadaran bahwa suara bukan barang dagangan. Di Aceh, ulama dan tokoh dayah punya peran besar untuk menegaskan bahwa menjual suara sama halnya dengan menjual amanah Allah.

Selain itu, media juga punya tanggung jawab moral. Bukan hanya melaporkan praktik politik uang, tapi juga mendidik publik agar berani menolak. Jika rakyat diam, maka penguasa akan terus bermain dengan uang.


Dari Seratus Ribu ke Lima Tahun Penyesalan

Mari kita hitung sederhana: seratus ribu dibagi lima tahun masa jabatan berarti hanya dua puluh ribu per tahun, atau sekitar lima puluh lima rupiah per hari. Apakah itu sebanding dengan kehilangan lima tahun pelayanan publik? Apakah cukup untuk membayar mahalnya harga pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan hidup?

Jawabannya tentu tidak.
Seratus ribu hanyalah racun yang dibungkus gula. Manis di awal, tapi mematikan di kemudian hari.


Menyembuhkan Luka: Mulai dari Diri Sendiri

Luka politik uang hanya bisa sembuh jika kita berhenti menggaruknya sendiri.
Rakyat harus berani menolak, meskipun hanya amplop kecil. Para calon harus berani bertarung dengan gagasan, bukan dengan uang. Dan lembaga pengawas pemilu harus berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Perubahan tidak akan datang dari mereka yang di atas, tetapi dari kesadaran mereka yang di bawah.
Satu suara yang jujur bisa melawan seribu amplop.
Satu penolakan dari hati bisa menggoyang sistem yang busuk.


 Luka yang Tak Boleh Dibiarkan

Politik uang adalah luka yang terus bernanah di tubuh demokrasi kita. Ia membuat rakyat miskin semakin miskin, dan pemimpin korup semakin berkuasa. Luka ini tidak akan sembuh jika rakyat terus menikmati garam di atasnya.

Bangsa ini tidak akan hancur karena kekurangan uang, tetapi karena kehilangan nurani.
Dan kehilangan itu dimulai ketika suara dijual murah oleh tangan yang tergoda.

Sudah saatnya rakyat bangkit.
Sudah saatnya pemilu menjadi panggung kehormatan, bukan pasar transaksi.
Karena demokrasi sejati tidak lahir dari amplop, melainkan dari kesadaran rakyat yang berani berkata:

“Suara saya bukan untuk dijual.”


.