Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Seratus Ribu yang Menghancurkan Lima Tahun

Jumat, 17 Oktober 2025 | 01:15 WIB Last Updated 2025-10-17T05:23:18Z



Seratus Ribu yang Menghancurkan Lima Tahun

Oleh Azhari

Setiap musim pemilu, Indonesia kembali ramai oleh wajah-wajah yang tersenyum di baliho, tangan-tangan yang melambai, dan janji-janji yang menetes manis seperti madu. Tapi di balik senyum itu, ada amplop lusuh yang beredar di tengah malam. Isinya seratus ribu, dua lembar lima puluh ribuan, cukup untuk beli beras dua hari, tapi bisa menghancurkan masa depan lima tahun. Ji

Itulah ironi demokrasi kita — ketika rakyat menjual kedaulatan dengan harga makan sehari.


Demokrasi yang Dijual Murah

Demokrasi adalah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Suara rakyat, idealnya, adalah amanah suci yang menentukan arah bangsa. Namun di banyak tempat, suara rakyat justru menjadi komoditas paling murah di pasar politik. Seratus ribu, kadang bahkan hanya lima puluh ribu, sudah cukup untuk membeli hak suara seseorang.

Inilah bentuk perbudakan modern yang paling halus: rakyat merasa diuntungkan, padahal sedang dijebak.

Setelah amplop diterima, pemilu selesai, janji manis menguap. Lima tahun ke depan, rakyat kembali menjadi penonton dari kursi belakang. Ketika jalan rusak tak diperbaiki, ketika bantuan sosial tak kunjung tiba, ketika korupsi menggerogoti uang negara, rakyat hanya bisa marah di warung kopi — tanpa sadar, mereka sendirilah yang mengundang malapetaka itu masuk.


Seratus Ribu, Harga Murah Sebuah Amanah

Bayangkan, seratus ribu. Nilai itu tak sebanding dengan harga satu pasang sepatu pejabat. Tapi di banyak desa dan kota, seratus ribu bisa membuat seseorang berpaling dari kebenaran.

Yang memberi uang bukan orang bodoh. Mereka tahu cara kerja “investasi politik”. Amplop hanyalah modal awal, dan begitu menang, mereka akan berusaha “balik modal”. Maka proyek dijual, jabatan diperdagangkan, kebijakan dikomersialisasikan. Mereka tak lagi melihat rakyat sebagai amanah, melainkan pasar.

Itu sebabnya banyak pemimpin yang lebih sibuk mencari keuntungan daripada membangun. Mereka tidak bekerja untuk rakyat, tapi untuk mengembalikan biaya politik yang mereka keluarkan. Mereka lupa, kekuasaan seharusnya jalan pengabdian, bukan ladang bisnis.

Dan semua itu bermula dari satu hal kecil — amplop seratus ribu.


Politik Uang: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Money politics bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi penghianatan moral terhadap bangsa. Ia menggerogoti akar demokrasi seperti rayap yang memakan kayu dari dalam. Luarannya tampak kokoh, tapi dalamnya lapuk.

Politik uang membuat orang baik enggan maju. Mereka yang jujur, tak punya modal besar, akan kalah sebelum bertanding. Sementara yang punya uang — entah dari mana sumbernya — mudah membeli suara dan dukungan. Maka pemilu tak lagi soal gagasan, melainkan soal isi tas.

Dampaknya bukan hanya pada kualitas pemimpin, tapi juga pada moral publik. Generasi muda tumbuh dengan pemahaman keliru: bahwa untuk menang harus membeli. Bahwa suara bisa dinegosiasikan. Bahwa nilai kejujuran tak sebanding dengan nilai uang.

Inilah awal dari dekadensi sosial. Negara kehilangan idealisme, masyarakat kehilangan kepercayaan.


Ketika Rakyat Menjadi Penjual Masa Depan

Ada pepatah Aceh yang berkata: “Lam beuna beusalah, tajak na boeh.” Artinya, sekali salah menanam, lama akan menuai akibatnya. Begitulah politik uang. Sekali rakyat menjual suara, mereka sedang menanam bibit kehancuran yang akan dipetik selama lima tahun ke depan.

Ketika suara dijual, maka hak untuk menuntut pun lenyap. Bagaimana mungkin rakyat bisa menegur pemimpin yang salah, jika mereka sendiri sudah menerima uang darinya?
Bagaimana mungkin menuntut keadilan, jika keadilan itu sudah digadaikan?

Yang terjadi kemudian, adalah siklus penderitaan: rakyat miskin dijadikan target, dibeli dengan uang, dilupakan setelah menang. Lima tahun kemudian, siklus itu berulang lagi.

Seratus ribu yang diterima hari ini, adalah sebab dari mahalnya biaya hidup esok hari. Karena pemimpin yang terpilih dari uang, pasti akan mencari uang dari jabatannya.


Dosa Kolektif yang Tak Disadari

Sering kita menyalahkan pejabat korup, tapi jarang kita menyalahkan diri sendiri. Padahal korupsi di puncak kekuasaan dimulai dari korupsi di akar nurani rakyat.
Korupsi bukan hanya soal mencuri uang negara, tapi juga mencuri masa depan dengan menjual suara.

Jika pemimpin bekerja untuk uang, itu karena rakyat memilihnya dengan uang.
Jika kebijakan berpihak pada elit, itu karena rakyat menyerahkan haknya kepada mereka dengan harga murah.

Maka bangsa ini sebenarnya tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur — baik di pemerintahan maupun di kalangan rakyat.


Pendidikan Politik: Jalan Menuju Kesadaran

Perubahan tidak akan datang hanya dari pejabat. Ia harus lahir dari kesadaran rakyat.
Masyarakat perlu dididik untuk memahami makna suara. Bahwa satu suara bukan sekadar angka, tapi arah. Bahwa satu amplop bukan rezeki, tapi racun.

Partai politik, lembaga pendidikan, ormas keagamaan, hingga tokoh masyarakat harus mengambil peran dalam pendidikan politik rakyat. Kiai, ustaz, dan guru harus berani menyampaikan bahwa menerima uang untuk memilih calon tertentu adalah bentuk dosa sosial dan moral.

Pemilu seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan ajang bagi-bagi amplop.
Karena bangsa besar tidak lahir dari uang, tetapi dari kesadaran rakyatnya yang menolak dibeli.


Ketika Nurani Bangkit

Tidak semua rakyat bisa dibeli. Di berbagai pelosok, masih ada masyarakat yang memilih berdasarkan hati nurani. Mereka tidak menukar suara dengan uang, tapi dengan harapan. Mereka tahu, pemimpin jujur mungkin tak bisa memberi uang hari ini, tapi bisa memberi kehidupan yang lebih baik esok.

Bangkitnya kesadaran rakyat adalah titik balik bangsa. Satu orang yang menolak uang, mungkin tampak kecil, tapi jika ribuan orang melakukannya, sistem yang rusak itu akan runtuh dengan sendirinya.

Demokrasi sejati hanya bisa hidup jika rakyat berani berkata: “Suara saya tidak dijual.”


Harga Lima Tahun Tidak Sama dengan Seratus Ribu

Mari berhitung sederhana. Seratus ribu dibagi 5 tahun berarti hanya 20 ribu per tahun, atau sekitar 55 rupiah per hari.
Apakah itu sebanding dengan harga pendidikan anak yang mahal? Apakah sebanding dengan biaya berobat karena fasilitas kesehatan buruk? Apakah cukup untuk menutup kerugian ketika proyek gagal karena korupsi?

Tidak ada angka yang bisa menebus kehilangan lima tahun kehidupan rakyat.
Seratus ribu hanyalah debu dari kebodohan kolektif yang membuat bangsa ini terus berputar di lingkaran yang sama.


Rakyat Adalah Penentu, Bukan Penonton

Rakyat harus sadar: mereka bukan penonton politik, tetapi penentu arah bangsa.
Suara rakyat bukan barang dagangan, tetapi alat perubahan. Bila suara dijual, maka harga diri bangsa juga ikut dijual.

Kita harus menolak segala bentuk politik uang, sekecil apa pun nilainya. Karena dari seratus ribu yang diterima hari ini, akan lahir lima tahun penderitaan, lima tahun kebohongan, dan lima tahun kehilangan keadilan.

Lebih baik lapar sehari daripada miskin hati lima tahun. Lebih baik menolak amplop daripada menyesal di kemudian hari.


Penutup: Jangan Jadikan Diri Sendiri Pengkhianat Bangsa

Kita sering menyebut pemimpin korup sebagai pengkhianat bangsa. Tapi mari jujur: bukankah rakyat yang menjual suara juga bagian dari pengkhianatan itu?
Pengkhianatan yang kecil, tapi berdampak besar.

Seratus ribu rupiah tidak pernah bisa membeli harga diri.
Seratus ribu tidak bisa menukar masa depan anak-anak yang butuh pendidikan.
Seratus ribu tidak bisa menggantikan kejujuran yang hilang dari sistem politik kita.

Maka ketika pesta demokrasi datang lagi, ingatlah: amplop itu bukan rezeki, tapi racun.
Racun yang membius rakyat agar lupa pada tanggung jawabnya.
Racun yang membuat lima tahun berikutnya menjadi penderitaan.

Bangsa ini tidak akan hancur karena kekurangan uang, tapi karena kehilangan nurani.
Dan kehilangan itu dimulai dari seratus ribu di genggaman tangan yang tergoda.


🕊️ Karena suara bukan untuk dijual — tetapi untuk diperjuangkan.