Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Realitas Pembangunan Pemerintah dan Menata Keadilan yang Adil untuk Rakyat, Bukan untuk Oknum Timses

Minggu, 19 Oktober 2025 | 20:00 WIB Last Updated 2025-10-19T13:01:00Z



Pembangunan adalah janji yang paling sering diucapkan dalam setiap masa kampanye. Ia menjadi mantra politik yang mampu menggugah emosi rakyat. Namun setelah pesta demokrasi usai, sering kali rakyat hanya menjadi penonton dari drama panjang kekuasaan. Pembangunan yang seharusnya menyentuh kepentingan umum, justru berubah menjadi alat kepentingan kelompok tertentu — bahkan tak jarang hanya menguntungkan oknum tim sukses (timses) dan kroni politik di sekitar kekuasaan.

Di sinilah realitas pahit demokrasi kita. Pemerintah yang terpilih atas suara rakyat, kadang lupa bahwa kekuasaan itu bukan hadiah pribadi, tetapi amanah publik. Jalan, jembatan, kantor pemerintahan, dan program bantuan sosial sejatinya adalah milik rakyat, bukan hasil jasa tim sukses yang kemudian merasa berhak atas “balas budi politik”. Ketika pembangunan diarahkan untuk membayar utang politik, maka keadilan pun kehilangan maknanya.

Rakyat di akar rumput masih banyak yang menanti perhatian — petani yang menjerit karena harga pupuk tinggi, nelayan yang kehilangan arah karena bahan bakar sulit, serta anak muda desa yang menganggur karena tak tersentuh program peningkatan keterampilan. Di tengah kondisi ini, muncul ironi: mereka yang dulu berjuang bersama rakyat justru sibuk membangun jaringan kepentingan pribadi setelah berkuasa.

Keadilan yang sejati tidak lahir dari bagi-bagi proyek, tapi dari keberpihakan terhadap kepentingan rakyat kecil. Pemerintah yang adil bukan yang menumpuk pencitraan, tapi yang hadir menyentuh kebutuhan masyarakat tanpa diskriminasi. Pembangunan bukanlah panggung bagi tim sukses untuk menikmati hasil kerja politik, melainkan tanggung jawab moral bagi pemimpin untuk menunaikan janji pada rakyat yang memilihnya.

Bila pembangunan hanya dijalankan untuk menjaga loyalitas politik, maka yang lahir bukanlah kemajuan, tetapi ketimpangan. Rakyat akan merasa ditinggalkan, dan demokrasi kehilangan makna. Sebab, demokrasi sejatinya adalah ruang bagi rakyat untuk menikmati hasil kekuasaan, bukan hanya hak untuk memilih.

Keadilan sosial — sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila — tidak akan hidup bila kebijakan publik masih diatur berdasarkan kedekatan, bukan kelayakan. Pemerintah seharusnya menjadi penengah antara rakyat dan kepentingan ekonomi, bukan bagian dari kelompok yang memperjualbelikan proyek dengan dalih kontribusi politik.

Menata keadilan berarti menata sistem agar tidak lagi berpihak pada mereka yang berkuasa. Transparansi, integritas, dan kejujuran harus menjadi roh dalam setiap keputusan pembangunan. Jangan lagi rakyat menjadi korban janji yang hanya indah di baliho. Jangan pula birokrasi menjadi tempat berkumpulnya “balas jasa politik” yang merusak profesionalitas pemerintahan.

Sudah saatnya kita mengembalikan makna pembangunan ke tempat semestinya — untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk memperkuat lingkaran kekuasaan. Karena ketika rakyat merasakan manfaat nyata dari kehadiran negara, maka legitimasi politik akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi jika yang tumbuh hanya rasa kecewa dan ketidakadilan, maka runtuhlah kepercayaan publik yang menjadi fondasi utama demokrasi.

Pemerintah yang besar adalah pemerintah yang berani berkata tidak kepada kepentingan sempit. Pemimpin sejati bukan yang sibuk membalas jasa timses, tapi yang berani membalas kepercayaan rakyat dengan kerja nyata. Karena kekuasaan yang dibangun atas dasar kepentingan pribadi pasti akan runtuh, tapi kekuasaan yang dijalankan dengan keadilan akan dikenang selamanya.


Penulis: Azhari
(Refleksi politik: tentang pembangunan yang adil dan keberanian menolak politik balas budi)