Opini Politik oleh Azhari
Aceh adalah tanah dengan sejarah besar, darah pejuang, dan warisan peradaban yang mendunia. Dari masa Kesultanan Aceh Darussalam hingga era modern hari ini, Aceh telah menjadi simpul penting dalam percaturan politik, ekonomi, dan kebudayaan global. Namun pertanyaannya kini: apakah Aceh masih mampu mempertahankan kebesarannya di jalur dunia, atau hanya tinggal cerita di buku sejarah dan lisan orang tua?
Politik dan sejarah Aceh sejatinya telah lama berkelindan dengan dunia internasional. Sejak abad ke-16, Kesultanan Aceh dikenal sebagai salah satu kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara, memiliki hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani, Arab, India, dan Eropa. Hubungan perdagangan, pendidikan, dan diplomasi menjadikan Aceh sebagai “pintu emas” Nusantara. Dunia mengenal Aceh bukan hanya karena keberaniannya melawan kolonialisme, tetapi juga karena kecerdasannya dalam memainkan diplomasi lintas samudera.
Kini, setelah lebih dari satu dekade damai pasca MoU Helsinki, Aceh seharusnya tidak lagi berkutat pada konflik internal, tetapi melangkah pada panggung global. Dunia sedang berubah cepat: ekonomi digital, energi hijau, dan transformasi teknologi membuka peluang bagi daerah yang mampu berpikir jauh ke depan. Di titik inilah politik Aceh seharusnya tidak lagi terjebak pada perebutan kursi lokal, tetapi memikirkan bagaimana Aceh bisa kembali menjadi “aktor dunia”.
Aceh hebat di jalur dunia bukan slogan kosong. Itu adalah cita-cita yang harus dijalankan dengan strategi politik yang cerdas, ekonomi yang produktif, dan diplomasi budaya yang elegan. Ada tiga gagasan utama untuk menapaki jalan itu.
Pertama, politik luar daerah Aceh harus berorientasi pada kerja sama global. Pemerintah Aceh harus aktif menjalin koneksi dengan dunia internasional — tidak hanya lewat proyek investasi, tetapi juga lewat diplomasi pendidikan, kebudayaan, dan teknologi. Universitas Aceh bisa menjadi jembatan pertukaran pelajar Asia, sementara kota-kota seperti Banda Aceh dan Langsa dapat dikembangkan menjadi pusat konferensi Islam Asia Tenggara.
Kedua, ekonomi Aceh perlu diarahkan pada keunggulan ekspor dan digitalisasi. Potensi hasil laut, kopi Gayo, dan sumber energi harus dikembangkan bukan hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga untuk menembus pasar dunia. Dengan strategi branding global “Aceh Heritage”, produk-produk lokal bisa menjadi ikon dunia, sebagaimana Korea sukses dengan K-Pop dan Jepang dengan teknologi budayanya.
Ketiga, Aceh perlu membangun diplomasi budaya. Dunia haus akan nilai dan spiritualitas di tengah krisis moral global. Aceh, dengan warisan syariat Islam yang berakar kuat dan budaya Melayu-Islam yang luhur, bisa menjadi model “peradaban damai” yang menginspirasi dunia. Melalui film, literasi, dan pertukaran budaya, Aceh bisa kembali memperkenalkan dirinya sebagai tanah ilmu, damai, dan kebijaksanaan.
Namun semua itu tidak akan berarti jika politik Aceh terus tersandera oleh kepentingan sempit. Elite politik harus sadar bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan alat untuk mengangkat martabat rakyat. Pemimpin yang visioner akan menatap jauh ke depan — melihat Aceh bukan hanya sebagai provinsi dalam NKRI, tetapi sebagai bagian dari jaringan peradaban dunia.
Dunia kini menatap Asia, dan Indonesia menjadi salah satu pusat kekuatan baru. Maka, saatnya Aceh tidak hanya menjadi penonton. Dengan sejarah yang kaya, sumber daya yang melimpah, dan posisi strategis di jalur pelayaran dunia, Aceh memiliki semua modal untuk menjadi wilayah berpengaruh secara global.
Kita hanya butuh satu hal: kepemimpinan yang berpikir global, bertindak lokal, dan berjiwa moral. Politik Aceh harus bangkit dari retorika lama dan mengarah pada kolaborasi, bukan konflik. Saat Aceh membuka diri dengan tetap menjaga jati dirinya, maka dunia akan kembali menghormati negeri Serambi Mekkah ini sebagaimana dahulu kala.
Aceh tidak boleh hanya hebat dalam kenangan, tetapi harus hebat dalam kenyataan.
Karena Aceh bukan sekadar bagian dari Indonesia — Aceh adalah bagian dari dunia.