Di tengah arus deras transformasi teknologi dan disrupsi digital, bangsa ini membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Dalam konteks itulah, santri kembali menjadi harapan. Mereka bukan sekadar pewaris pesantren, melainkan juga penjaga nilai dan etika bangsa yang kian rapuh di tengah gemerlap modernitas.
Santri adalah simbol keseimbangan antara ilmu dan iman, antara logika dan nurani. Mereka tidak menolak kemajuan, tapi juga tidak kehilangan arah di dalamnya. Di saat dunia sibuk mengejar algoritma dan kecerdasan buatan, santri justru hadir mengingatkan bahwa di atas semua kemajuan, masih ada nilai kemanusiaan dan keadilan yang tak boleh hilang.
Namun, tantangan santri di era digital tidaklah ringan. Dulu, peran mereka terbatas di pesantren, mengaji kitab dan menjaga tradisi keilmuan. Kini, mereka harus melek teknologi, mampu berdakwah di dunia maya, bahkan berani tampil dalam ruang publik politik dan kebangsaan. Politik bukan lagi ruang yang kotor jika diisi oleh orang-orang yang bersih hati dan jernih niat. Di sinilah pentingnya santri mengambil peran: bukan untuk berebut kekuasaan, tapi untuk memperbaiki arah bangsa.
Santri sejatinya sudah terbukti dalam sejarah. Dari perjuangan kemerdekaan hingga perumusan dasar negara, mereka turut berdiri di garda depan. Spirit jihad santri melahirkan resolusi bersejarah pada 22 Oktober 1945 yang menjadi penanda bahwa santri tidak hanya pandai berdoa, tetapi juga berani bertindak demi kemerdekaan dan keutuhan negeri. Kini, semangat itu perlu dihidupkan kembali — bukan dengan bambu runcing, melainkan dengan pena, ide, dan inovasi di dunia digital.
Di era media sosial, santri perlu menjadi duta etika dan kebenaran. Mereka harus hadir di ruang digital untuk menebar kedamaian, bukan kebencian; menyebar ilmu, bukan hoaks; membangun dialog, bukan perpecahan. Pesantren yang selama ini dikenal sebagai benteng moral bangsa, kini harus bertransformasi menjadi benteng digital yang menjaga nilai kebangsaan dari pengaruh destruktif informasi yang tak terkendali.
Santri yang melek politik digital adalah kunci masa depan Indonesia yang bermartabat. Mereka bisa menjadi penghubung antara tradisi dan inovasi, antara nilai-nilai lokal dan semangat global. Politik yang mereka perjuangkan bukan politik transaksional, melainkan politik nilai — yang berpihak pada keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan akhlak dalam kekuasaan.
Bangsa ini tidak akan maju hanya dengan pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga dengan pembangunan moral dan karakter. Dan itulah peran utama santri. Mereka adalah pembangun peradaban dari sisi dalam: menata hati, menguatkan pikiran, dan memimpin dengan kesederhanaan.
Santri di era digital harus berani keluar dari tembok pesantren, menebar pengaruh kebaikan di media, pemerintahan, hingga parlemen. Dunia politik tidak boleh hanya diisi oleh mereka yang pandai berbicara, tapi miskin akhlak. Ia harus diisi oleh mereka yang jujur, ikhlas, dan berani menegakkan kebenaran — nilai-nilai yang telah lama menjadi napas para santri.
Maka, bila kita ingin bangsa ini tetap berdiri tegak di tengah gempuran zaman, sudah saatnya santri mengambil peran strategis dalam politik dan ruang digital. Karena santri bukan hanya penjaga masa lalu, tetapi pembawa harapan masa depan.
Penulis: Azhari
(Refleksi politik dan kebangsaan: saat santri mengambil peran dalam membangun Indonesia di era digital)