Opini Hukum dan Moral di Balik Fenomena Poligami Modern
Dalam kehidupan sosial kita hari ini, ada fenomena yang semakin sering muncul di ruang publik dan media sosial: perempuan yang dengan sadar dan terbuka menyatakan kesiapannya untuk dipoligami. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk pengorbanan, sebagian lagi menyebutnya pilihan realistis di tengah krisis moral laki-laki dan rusaknya tatanan rumah tangga modern. Namun di sisi lain, ada yang menilai bahwa sikap semacam ini adalah bentuk manipulasi hukum dan agama untuk kepentingan pribadi. Maka, pertanyaannya bukan sekadar boleh atau tidak, melainkan apa motif dan bagaimana hukum memandangnya.
1. Poligami dalam Bingkai Hukum Islam dan Negara
Poligami dalam Islam memang memiliki dasar hukum yang sah. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 3:
“Maka nikahilah wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”
Ayat ini menjadi fondasi teologis yang sering dijadikan pembenaran bagi mereka yang ingin berpoligami. Namun, konteks ayat ini bukan untuk menormalisasi keinginan hawa nafsu, melainkan untuk mengatur keadilan sosial dan moral pasca peperangan, ketika jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Dalam hukum positif Indonesia, poligami juga diatur secara ketat melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Suami hanya dapat beristri lebih dari satu dengan syarat:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu, suami wajib mendapat izin dari Pengadilan Agama dan persetujuan istri pertama. Maka, secara hukum, poligami bukanlah urusan suka sama suka, tetapi urusan keadilan, tanggung jawab, dan legalitas formal.
2. Tatapan Perempuan: Antara Keikhlasan atau Kepentingan?
Ketika seorang perempuan menatap seorang pria yang telah beristri dengan tatapan siap “dipoligami”, maka sesungguhnya sedang berlangsung pergeseran nilai moral yang cukup tajam. Tatapan itu bisa bermakna banyak hal:
- Ada yang benar-benar tulus karena cinta dan rela berbagi.
- Ada yang melihat peluang ekonomi dan status sosial.
- Ada pula yang berlindung di balik tameng “izin agama” untuk menjustifikasi keinginan duniawi.
Dalam praktik sosial, banyak “oknum perempuan” yang menggunakan narasi agama untuk menarik simpati lelaki yang sudah berumah tangga. Dengan dalih “ingin menolong” suami orang, mereka menutupi hasrat pribadi di balik simbol kesalehan. Fenomena ini tak jarang berujung pada pernikahan siri, yang justru merugikan pihak perempuan itu sendiri karena tidak memiliki kekuatan hukum.
3. Poligami Siri: Antara Dosa Moral dan Pelanggaran Hukum
Banyak kasus poligami di Aceh dan wilayah lain dilakukan secara siri tanpa izin istri pertama dan tanpa penetapan pengadilan. Secara agama, sebagian ulama membolehkan dengan syarat rukun nikah terpenuhi. Namun dalam sistem hukum nasional, praktik seperti ini dapat dikategorikan melanggar hukum administrasi perkawinan.
Dampaknya besar:
- Istri kedua tidak mendapat perlindungan hukum.
- Anak hasil pernikahan siri sulit memperoleh akta kelahiran yang sah.
- Potensi sengketa waris dan status perdata sangat tinggi.
Artinya, “kesediaan” seorang perempuan untuk dipoligami tanpa mengikuti aturan hukum bukan hanya bentuk ketaatan yang keliru, tapi juga tindakan yang melemahkan martabat dirinya sendiri di mata hukum.
4. Antara Cinta dan Keadilan
Banyak perempuan beralasan bahwa poligami adalah ujian cinta dan kesabaran. Namun hukum tidak bisa berdiri di atas perasaan. Hukum berdiri di atas prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak manusia. Maka dalam konteks poligami, yang diukur bukanlah cinta yang mendalam, tetapi kemampuan berbuat adil — adil dalam nafkah, waktu, perhatian, dan status hukum.
Sementara itu, bagi perempuan yang “siap dipoligami”, seharusnya memahami bahwa cinta yang sah dan terhormat adalah cinta yang berlandaskan kejelasan hukum dan tanggung jawab sosial, bukan cinta yang lahir dari ruang rahasia dan bisikan hasrat tersembunyi.
5. Pandangan Moral dan Sosial
Fenomena perempuan yang dengan bangga mengatakan “saya siap jadi istri kedua” mencerminkan kegamangan moral masyarakat kita. Ketika kesalehan dijadikan alat pencitraan, dan agama dijadikan pembungkus nafsu, maka nilai-nilai suci pernikahan menjadi kabur.
Perempuan seperti itu sesungguhnya tidak sedang memperjuangkan haknya, tapi justru mendukung ketidakadilan terhadap sesama perempuan lain. Ia menjadi bagian dari sistem yang menormalisasi poligami tanpa kontrol hukum dan moral, serta memperlemah posisi perempuan dalam lembaga keluarga.
6. Solusi: Kesadaran, Regulasi, dan Edukasi
Poligami tidak bisa dihapus dari sistem hukum Islam, tetapi bisa diatur agar tidak menjadi alat eksploitasi. Negara perlu:
- Menegakkan hukum izin poligami secara tegas.
- Mendorong edukasi keluarga tentang keadilan dan tanggung jawab.
- Memberi perlindungan bagi istri dan anak dari praktik nikah siri terselubung.
Sementara masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa pernikahan bukan hanya perkara sahnya akad, tapi juga moral, hukum, dan keadilan antar-manusia.
Tatapan yang Perlu Diperiksa
Tatapan oknum perempuan yang siap ingin dipoligami bukan sekadar tatapan cinta, tapi bisa jadi tatapan kepentingan. Hukum tidak melarang poligami, namun hukum mengatur agar cinta tidak menjelma menjadi kezaliman.
Sebab dalam hukum Islam, yang dicintai bukanlah banyaknya istri, melainkan kebenaran dan keadilan yang dijaga di antara mereka. Dan dalam hukum negara, cinta yang tidak berpijak pada legalitas hanyalah romantisme yang berujung pada penderitaan hukum dan sosial.