Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Untuk Apa Benci Kalau Memang Itu Istri

Kamis, 16 Oktober 2025 | 15:49 WIB Last Updated 2025-10-16T08:54:43Z



 Refleksi Hukum-Islam & Adat Aceh

Oleh: AZHARI 

Pendahuluan: Cinta yang Berubah Wajah

Untuk apa benci, kalau memang itu istri?
Pertanyaan sederhana ini sesungguhnya adalah panggilan nurani bagi banyak laki-laki yang lupa pada asal-muasal pernikahan. Dahulu, sebelum akad terucap, cinta begitu murni. Doa tak henti dipanjatkan, nama istri disebut di setiap sujud malam. Namun, seiring waktu, cinta itu berubah bentuk — dari lembut menjadi keras, dari peluk menjadi bentakan, dari doa menjadi amarah.

Padahal, perempuan yang kini disebut “istri” bukanlah orang asing. Ia adalah bagian dari diri kita, bagian dari doa dan perjuangan yang dulu kita yakini sebagai takdir Allah. Maka jika hari ini ada kebencian, sesungguhnya yang hilang bukan cinta, tapi kesadaran: bahwa pernikahan adalah amanah, bukan kepemilikan.

Bab I: Istri Sebagai Amanah, Bukan Milik

Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah perjanjian yang agung (mitsaqan ghalizha). Dalam Surah An-Nisa ayat 21, Allah menyebut hubungan suami-istri sebagai ikatan yang kuat, bukan hubungan transaksional. Artinya, suami tidak memiliki hak absolut atas istri, karena keduanya sama-sama hamba Allah yang sedang menjalani peran dan tanggung jawab masing-masing.

Istri adalah amanah, bukan milik pribadi yang boleh disakiti sesuka hati. Nabi Muhammad ﷺ dengan tegas mengingatkan dalam sabdanya:

> “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap istriku.”
(HR. Tirmidzi)


Hadis ini bukan sekadar ajaran moral, tetapi fondasi hukum sosial Islam. Dalam pandangan syariat, hak-hak istri dijamin secara tegas — mulai dari hak nafkah, perlakuan baik, hingga hak untuk dihormati sebagai pendamping, bukan bawahan.

Namun di lapangan, banyak suami justru menjadikan kekuasaan sebagai alasan untuk membenci, memarahi, bahkan merendahkan istri. Padahal, kekuasaan tanpa kasih adalah bentuk pengkhianatan terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Bab II: Pandangan Hukum Islam tentang Suami yang Menyakiti Istri

Dalam hukum Islam, setiap perbuatan suami yang menyebabkan penderitaan fisik atau batin bagi istri termasuk dalam kategori nusyuz (kedurhakaan suami). Para ulama fikih sepakat bahwa menyakiti istri secara fisik atau emosional adalah dosa besar dan dapat menjadi alasan sah bagi istri untuk menuntut fasakh (pembatalan nikah).

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan:

> “Tidak halal bagi seorang suami menyakiti istrinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan, karena itu termasuk bentuk kezaliman yang diharamkan oleh Allah.”


Dalam konteks hukum positif di Indonesia, hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran rumah tangga.

Artinya, kebencian terhadap istri bukan hanya melanggar etika agama, tapi juga dapat berimplikasi hukum. Jika suami bertindak di luar batas, ia bukan hanya menyalahi perintah Allah, tetapi juga berpotensi berhadapan dengan undang-undang negara.


Bab III: Adat Aceh dan Kemuliaan Perempuan

Aceh — negeri yang dikenal dengan gelar Serambi Mekkah — memiliki pandangan luhur terhadap perempuan dan peran istri. Dalam adat Aceh, perempuan disebut puet darah — darah pusat keluarga. Ia adalah penjaga kehormatan dan keseimbangan rumah tangga.

Pepatah Aceh mengatakan:

> “Nyang jaga rumah, nyang  jaga nanggroe.”
(Yang menjaga rumah, itulah yang menjaga negeri.)

Ungkapan ini menunjukkan betapa besar posisi perempuan dalam sistem sosial Aceh. Bahkan dalam sejarah, Aceh memiliki empat sultanah (ratu) yang memerintah dengan bijak — mulai dari Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah hingga Sultanah Kamalat Syah. Ini membuktikan bahwa Aceh menghormati perempuan bukan karena belas kasih, tapi karena pengakuan akan perannya yang strategis.

Dalam adat, menyakiti istri adalah perbuatan meusilek adat (melanggar kehormatan adat). Seorang laki-laki yang mempermalukan istrinya dianggap mempermalukan dirinya sendiri. Sebab dalam falsafah masyarakat Aceh, “Binè nyan cermin lam watee.” — Istri adalah cermin di waktu terang. Jika istri tampak terhina, maka suamilah yang kehilangan martabat.

Sayangnya, nilai luhur ini mulai pudar. Modernisasi yang tak diimbangi dengan pemahaman agama membuat sebagian laki-laki Aceh kehilangan kelembutan yang dulu menjadi ciri khas. Padahal, Aceh dulu dikenal dengan pepatah:

> “Laki-laki tangguh bukan yang keras, tapi yang mampu menahan marah di depan istri.”


Bab IV: Antara Ego, Nafkah, dan Kehormatan

Banyak kebencian dalam rumah tangga Aceh berawal dari masalah ekonomi. Saat nafkah sulit, ego mulai meninggi. Suami merasa malu, istri merasa kecewa, lalu komunikasi berhenti. Di sinilah setan bekerja, menanamkan benci di hati suami terhadap perempuan yang sejatinya ikut menanggung beban yang sama.

Namun sejatinya, nafkah bukan sekadar uang. Nafkah juga berarti waktu, perhatian, kasih sayang, dan penghormatan. Tidak sedikit perempuan yang hidup sederhana namun bahagia, karena mereka merasa dihargai. Sebaliknya, banyak yang hidup berkecukupan namun hancur batinnya, karena diperlakukan tanpa cinta.

Islam mengajarkan keseimbangan ini. Dalam Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014, ada aturan yang mengatur tentang perlakuan dalam keluarga, termasuk penghormatan terhadap hak istri. Walaupun qanun ini lebih fokus pada aspek pidana Islam, semangat moralnya jelas: rumah tangga harus menjadi ruang sakinah, bukan medan pertikaian.

Dalam adat Aceh, laki-laki yang tega memaki atau memukul istri di depan umum akan dianggap ka jimat — kehilangan harga diri. Karena bagi masyarakat Aceh sejati, memuliakan istri adalah ukuran kejantanan, bukan kelemahan.


Bab V: Refleksi Hati Seorang Suami

Mari kita renungi kembali:
Mengapa kita bisa membenci seseorang yang kita pilih sendiri dengan doa dan keyakinan?
Apakah karena istri tidak sempurna, atau karena kita yang tak lagi sabar memahami ketidaksempurnaannya?

Cinta sejati tidak lahir dari kesempurnaan, tetapi dari kemampuan untuk menerima kekurangan. Bila seorang suami membenci istrinya hanya karena kekurangan kecil, maka sesungguhnya yang ia benci adalah dirinya sendiri — karena ia tidak lagi mampu mencintai sebagaimana ia pernah berjanji di hadapan Allah.

Setiap suami harus menyadari bahwa dalam pernikahan, tidak ada yang menang dan kalah. Yang ada hanyalah dua orang yang sama-sama belajar menjadi lebih baik. Saat kita menahan benci dan memilih untuk memahami, di situlah cinta sejati tumbuh kembali.

Bab VI: Jalan Kembali ke Cinta

Setiap hati yang pernah mencinta, pasti bisa kembali hangat — asal ada niat untuk memperbaiki. Jalan kembali ke cinta bukan jalan pintas, tapi jalan kesabaran.

Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan:

1. Perbanyak doa bersama.
Mintalah petunjuk kepada Allah agar hati kembali lembut. Doa adalah jembatan spiritual antara dua hati yang renggang.


2. Berbicara tanpa menyalahkan.
Katakan dengan lembut apa yang dirasakan, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu. Terkadang satu kalimat jujur lebih bermakna dari seribu alasan.


3. Hargai pengorbanan kecil.
Ucapan terima kasih sederhana bisa menjadi obat bagi luka yang lama tersembunyi.


4. Kembali menghidupkan kasih.
Sentuhan, senyum, dan perhatian adalah bentuk cinta yang paling mudah namun paling sering dilupakan.


5. Libatkan orang tua atau tokoh agama bila perlu.
Dalam budaya Aceh, peuturiëng (nasihat) dari tokoh adat dan agama sering menjadi jalan damai yang menyejukkan, bukan mempermalukan.




---

Bab VII: Dimensi Hukum dan Sosial di Aceh

Dalam konteks hukum adat dan keislaman di Aceh, lembaga seperti Mahkamah Syar’iyah memegang peran penting dalam menyelesaikan perselisihan rumah tangga. Mahkamah tidak hanya mengadili, tetapi juga berupaya mendamaikan. Prinsipnya adalah islah — perdamaian lebih utama daripada perceraian.

Namun, ketika kebencian telah berubah menjadi kekerasan, maka hukum harus ditegakkan. Qanun Aceh memberi ruang bagi perempuan untuk menuntut hak-haknya secara adil, baik dalam hal nafkah, perlakuan, maupun perlindungan fisik. Ini membuktikan bahwa syariat Islam di Aceh tidak hanya menegakkan ibadah, tetapi juga menjaga martabat manusia — terutama perempuan.

Sebab dalam Islam, menghormati istri adalah bagian dari menghormati agama itu sendiri. Maka, seorang suami yang membenci dan menyakiti istrinya bukan hanya melanggar hukum dunia, tapi juga mengabaikan amanah ilahi.

Bab VIII: Adat, Syariat, dan Nurani

Aceh dikenal dengan falsafah “Hukôm ngon adat lagee zat ngon sifeut.”
(Hukum dan adat bagaikan zat dan sifat — tidak bisa dipisahkan.)

Dalam konteks ini, kebencian terhadap istri bukan hanya pelanggaran syariat, tetapi juga pelanggaran adat dan nurani. Adat Aceh menempatkan perempuan di posisi terhormat. Bahkan dalam tradisi peusijuek (tepung tawar) saat pernikahan, istri disambut dengan doa dan simbol kesejukan. Maka bagaimana mungkin setelah semua penghormatan itu, seorang suami tega membenci perempuan yang telah menjadi bagian dari dirinya?

Kebencian hanyalah awan gelap yang menutupi cahaya cinta. Ia akan hilang bila hati kembali kepada nilai asal — cinta yang berlandaskan iman, bukan emosi.

Penutup: Untuk Apa Benci, Kalau Memang Itu Istri

Akhirnya, setiap suami harus kembali bertanya kepada dirinya sendiri:
Untuk apa benci, kalau memang itu istri?

Istri adalah bagian dari kehidupan, bukan beban kehidupan. Ia adalah amanah Allah, penjaga rumah, ibu bagi anak-anak, dan penenang di kala susah. Jika cinta pernah membuat kita berjuang untuk mendapatkannya, maka cinta pula yang seharusnya membuat kita berjuang untuk mempertahankannya.

Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebencian. Karena pada akhirnya, ketika rambut memutih dan langkah mulai pelan, yang akan kita rindukan bukan siapa yang pernah kita menangkan dalam pertengkaran — melainkan dia yang pernah kita peluk dalam kesabaran.

Maka, berhentilah membenci. Belajarlah kembali mencintai, bukan karena istri itu sempurna, tetapi karena ia adalah bagian dari doa yang pernah dikabulkan oleh Allah.

Untuk apa benci, kalau memang itu istri?
Cinta yang sejati tidak meminta kesempurnaan — ia hanya butuh kesetiaan, kesabaran, dan keikhlasan untuk terus berjuang bersama.