Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Diam Adalah Emas, Tetapi Bersuara Adalah Kehormatan

Rabu, 05 November 2025 | 01:41 WIB Last Updated 2025-11-04T18:42:05Z



 

Kalimat singkat itu menampar akal sehat kita: diam bukan selalu tanda kelemahan, dan bicara bukan selalu tanda agresi. Ada saat di mana keheningan adalah kebijaksanaan; ada pula ketika keheningan berubah menjadi pembiaran yang menistakan kebenaran — saat itulah suara harus bangkit.

Di waktu sekarang, kita hidup dalam dua kutub yang saling tarik-menarik. Di satu sisi, budaya menenangkan diri lewat diam sering dipuji: sabar, tawakal, tidak mencari gaduh. Di sisi lain, ada kultur kebisuan yang membiarkan ketidakadilan berlanjut — dari praktik korupsi, pelanggaran HAM, pelecehan, hingga kesewenang-wenangan terhadap rakyat kecil. Di titik inilah pepatah di atas relevan: memilih kapan diam dan kapan bicara adalah seni moral yang mesti dimiliki setiap insan beradab.

Diam: Kekuatan yang Sering Disalahpahami

Diam yang dipilih secara sadar adalah bentuk pengendalian diri. Diam memberi ruang untuk menimbang, meredam emosi, dan menjaga hubungan — terutama ketika lisan bisa melukai atau memperkeruh suasana. Diam sering menjadi strategi diplomasi: menunggu waktu yang tepat, mengumpulkan bukti, atau membiarkan pelajaran hidup bekerja. Dalam keluarga, komunitas, dan politik lokal, diam bisa mencegah konflik yang tak perlu, memelihara keharmonisan, dan menuntun pada penyelesaian yang dewasa.

Namun diam harus bersandar pada niat dan tujuan. Diam karena takut, karena malas, atau karena acuh bukan kebijaksanaan — itu pembiaran. Ketika diam menumbuhkan ketidakadilan, menutup mulut untuk kenyamanan sendiri, atau membiarkan yang kuat menindas yang lemah, diam tepatnya bukan emas, melainkan kolusi pasif.

Bicara: Tanggung Jawab, Bukan Sekadar Protes

Bersuara sering dipandang sebagai tindakan revolusioner, atau paling tidak, tindakan pemberontakan. Tapi berbicara demi membela kebenaran, memperjuangkan hak, atau menghentikan kezaliman adalah kewajiban moral. Dalam sejarah, perubahan besar lahir dari mulut-mulut berani yang menolak ketidakadilan: dari seruan para reformator, tokoh hak sipil, hingga suara petani yang menuntut haknya.

Bicara yang beretika memiliki karakter: berbasis fakta, terukur, beradab, dan berorientasi solusi. Kritik tanpa dasar, ujaran kebencian, atau retorika destruktif bukan bagian dari seni berbicara yang bertanggung jawab. Bicara yang efektif adalah bicara yang membuat institusi mendengar, publik sadar, dan pelaku bertanggung jawab.

Kapan Diam Adalah Jalan Bijak?

  • Saat emosi memuncak dan kata-kata bisa menjadi senjata yang menuai penyesalan.
  • Saat perlu ruang untuk menelaah fakta, mengumpulkan bukti, dan menyusun strategi.
  • Saat bicara tidak akan mengubah apa-apa tetapi akan memperbesar luka.
  • Saat langkah diam adalah bentuk perlawanan halus: boikot moral, kerja keras tanpa retorika, atau pembuktian lewat karya.

Kapan Berbicara Adalah Kewajiban?

  • Saat nilai kemanusiaan diinjak: ada ketidakadilan nyata, penyiksaan, atau pelanggaran HAM.
  • Saat kelompok rentan — perempuan, anak, petani, buruh — menjadi korban dan tak punya suara.
  • Saat diam sama dengan membiarkan kebohongan menjadi kebenaran.
  • Saat ada kesempatan untuk mencegah bahaya yang lebih besar bila terus dibiarkan.

Menjadi Bijak: Cara Memilih Antara Diam dan Bicara

  1. Periksa Niat. Mengapa Anda ingin diam atau bicara? Demi ketenangan diri, keselamatan orang lain, atau demi menutupi kesalahan? Niat yang jujur membantu menentukan sikap yang benar.
  2. Cek Fakta. Bicara tanpa bukti adalah rumor; diam tanpa tindakan saat bukti ada adalah pengkhianatan. Keduanya berbahaya.
  3. Pilih Media yang Tepat. Kadang bicara di ruang privat lebih efektif daripada demonstarasi publik; kadang pula, publikasi dan demonstrasi diperlukan untuk menekan institusi yang tak mau berubah.
  4. Utamakan Keberimbangan Emosi dan Rasio. Suara lantang tanpa logika mudah dilupakan; diam yang terlalu lama pun menimbulkan kebencian. Kombinasikan keduanya.
  5. Pertimbangkan Konsekuensi. Siapkah Anda menerima risiko bicara? Jika jawaban tak mudah, siapkan mitigasi: bukti, dukungan institusi, atau advokat hukum.

Suara Kolektif: Bicara Bersama Agar Mereka Diam

Kalimat penutup dari kutipan itu: “BICARALAH agar mereka DIAM” mengusik. Maksudnya bukan untuk memaksakan keheningan orang lain, melainkan membuat suara kebenaran begitu kuat sehingga kegaduhan kebohongan otomatis terlindas. Ada kekuatan tersendiri ketika masyarakat, media, lembaga adat, ulama, dan institusi sipil berbicara serentak: penyalahgunaan kekuasaan akan tersorot, dan pelaku akan mundur atau dituntut pertanggungjawaban.

Contoh real: ketika masyarakat adat, akademisi, dan aktivis lingkungan berbicara bersama tentang konflik lahan, tekanan publik sering memaksa perusahaan dan otoritas untuk menghentikan tindakan represif. Ketika korban kekerasan bersatu, tekanan moral memaksa aparat untuk bertindak. Suara kolektif bukan untuk menindas; ia alat bagi yang tak punya panggung untuk diperhatikan.

Penutup: Jangan Jadikan Diam sebagai Alasan untuk Tunduk

Diam dan bicara bukan kata sandang yang absolut; keduanya alat. Seni hidup adalah memanfaatkannya secara arif. Jika diam adalah jalan terbaik — ambillah. Jika bicara adalah kewajiban — jangan ragu membuka mulut. Namun selalu ingat: bicara bukan sekadar bagaimana kerasnya suara, melainkan bagaimana adabnya, bagaimana fakta mendukungnya, dan bagaimana tujuan akhirnya: keadilan, kebenaran, dan perdamaian.

Jadi — bila diam memang bijak, lakukanlah. Tetapi bila kebijakan diinjak-injak, bersuaralah dengan akal, etika, dan keberanian; biarkan suara kebenaran membuat kebohongan terdiam.