Di zaman sekarang, sering kali ukuran keberhasilan seseorang ditentukan oleh di mana ia kuliah. Banyak orang tua yang bangga ketika anaknya diterima di universitas ternama. Nama besar kampus seolah menjadi simbol masa depan cerah, bahkan dianggap sebagai jaminan kesuksesan. Namun, benarkah semegah itu makna sebuah kampus?
Kita sering lupa bahwa gedung tinggi, laboratorium lengkap, dan fasilitas modern hanyalah alat bantu. Yang paling menentukan bukanlah di mana kita kuliah, tetapi seberapa besar kemauan kita untuk belajar. Karena ilmu tidak tumbuh dari kemewahan, tetapi dari keikhlasan hati dan ketekunan dalam menuntut pengetahuan.
Ilmu Tidak Butuh Gedung Mewah
Sejarah pendidikan Islam dan dunia membuktikan bahwa banyak ilmuwan besar lahir bukan dari kampus yang megah, tetapi dari ruang belajar yang sederhana. Imam Syafi’i misalnya, menuntut ilmu dalam kondisi miskin. Ia menulis pelajaran di atas tulang karena tidak mampu membeli kertas. Namun ketekunannya melahirkan pemikiran besar yang menjadi dasar hukum Islam hingga kini.
Begitu pula Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia. Ia tidak mendirikan sekolah dengan dinding marmer atau pendingin ruangan. Taman Siswa yang ia rintis sederhana, tetapi dari sanalah tumbuh semangat kebangsaan dan kemerdekaan berpikir. Ki Hadjar berkata, “Tujuan pendidikan itu bukan semata-mata membuat manusia pandai, tetapi membentuk manusia yang merdeka.”
Kemerdekaan berpikir inilah yang seharusnya menjadi roh kuliah. Kampus boleh biasa, fasilitas bisa terbatas, tetapi semangat belajar harus luar biasa. Karena ilmu sejati tumbuh dari kemauan, bukan kenyamanan.
Kampus Hebat Tidak Menjamin Mahasiswa Hebat
Fenomena yang terjadi kini sungguh ironis. Banyak mahasiswa kuliah di kampus bergengsi, tetapi kehilangan makna belajar. Mereka hanya mengejar gelar, bukan pengetahuan. Buku tebal hanya menjadi pajangan, diskusi digantikan oleh unggahan media sosial, dan tugas dikerjakan tanpa rasa ingin tahu.
Padahal, gelar akademik hanyalah simbol, sedangkan ilmu adalah substansi. Seorang mahasiswa yang benar-benar belajar di kampus sederhana sering kali lebih matang secara karakter dibanding mereka yang terbiasa dimanja fasilitas. Ia terbentuk oleh kesulitan, belajar beradaptasi, dan tumbuh dengan kerja keras.
Kita hidup di era digital, di mana ilmu terbuka luas. Mahasiswa di kampus kecil pun bisa belajar dari sumber yang sama dengan mahasiswa di kampus besar. Internet telah meruntuhkan sekat antara “kampus unggulan” dan “kampus pinggiran”. Yang membedakan hanyalah semangat dan disiplin belajar.
Nilai Kemauan Mengalahkan Nilai Kampus
Banyak tokoh besar dunia yang berasal dari lingkungan pendidikan biasa. Mereka tidak menunggu fasilitas untuk berprestasi. Salah satu contoh yang sering dikutip adalah Thomas Alva Edison — penemu bola lampu. Ia bahkan tidak tamat sekolah formal, namun semangat belajarnya tak pernah padam. Ia belajar dari kegagalan lebih dari seribu kali sebelum akhirnya berhasil.
Dalam konteks Indonesia, banyak anak desa yang kuliah di kampus kecil dengan perjuangan luar biasa. Ada yang bekerja sambilan sebagai ojek online, berdagang kecil-kecilan, atau membantu orang tua di ladang. Namun dari peluh dan keterbatasan itu, tumbuh jiwa tangguh dan tekad besar. Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang kemewahan, tetapi tentang ketulusan berjuang untuk masa depan.
Belajar adalah Ibadah
Dalam pandangan Islam, belajar adalah ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa nilai belajar bukan pada tempatnya, tetapi pada niat dan kesungguhannya. Seorang mahasiswa yang ikhlas menuntut ilmu di kampus kecil namun istiqamah, nilainya jauh lebih tinggi di sisi Allah dibanding orang yang kuliah demi gelar atau gengsi sosial.
Kampus hanyalah wadah, bukan ukuran keberkahan ilmu. Banyak kampus megah yang kehilangan ruh keilmuan karena diisi oleh mahasiswa dan dosen yang hanya mengejar formalitas. Sebaliknya, ada kampus sederhana yang hidup dengan diskusi ilmiah dan semangat kebersamaan mencari ilmu.
Karakter Lebih Penting daripada Nilai Akademik
Pendidikan sejati bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan karakter. Dunia kerja dan masyarakat tidak hanya menilai ijazah, melainkan kejujuran, tanggung jawab, dan kemampuan beradaptasi.
Kampus yang sederhana justru sering menjadi tempat terbaik untuk menempa karakter. Di sana, mahasiswa belajar berhemat, menghargai waktu, menghormati dosen, dan bekerja sama dengan teman tanpa pamrih. Semua itu membentuk mental kuat yang jauh lebih berharga daripada nilai akademik semata.
Belajar dari Kesederhanaan
Kesederhanaan adalah guru terbaik. Mahasiswa yang terbiasa hidup sederhana biasanya lebih menghargai proses. Ia tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan, karena sudah terbiasa menempuh jalan terjal. Kesederhanaan juga menumbuhkan empati — kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain.
Mahasiswa yang lahir dari perjuangan biasanya lebih peduli terhadap masyarakat, lebih siap menjadi pemimpin yang melayani, bukan dilayani. Itulah yang disebut pendidikan hati, yang tidak bisa diajarkan oleh dosen, tetapi dipelajari dari pengalaman hidup.
Pendidikan untuk Mengubah Hidup, Bukan Mengejar Status
Tujuan kuliah sejatinya adalah mengubah cara berpikir, bukan sekadar menaikkan status sosial. Ilmu harus membuat kita lebih bijak, lebih santun, dan lebih bermanfaat bagi orang lain.
Namun ironisnya, banyak mahasiswa sekarang justru menjadikan kuliah sebagai alat untuk pamer. Foto wisuda lebih dihargai daripada proses menulis skripsi dengan jujur. Padahal, pendidikan sejati adalah tentang menjadi manusia yang berguna, bukan hanya bergelar.
Seperti kata Buya Hamka, “Ilmu yang tidak disertai dengan akhlak adalah bencana.” Maka, kuliah di kampus sederhana tapi berakhlak jauh lebih bermakna daripada kuliah di kampus ternama tanpa rasa hormat kepada ilmu.
Kampus Kecil, Cita-Cita Besar
Tidak ada yang salah dengan kuliah di kampus kecil. Justru di sanalah sering lahir mimpi-mimpi besar. Banyak tokoh daerah, penulis, dan pemimpin lahir dari perguruan tinggi swasta kecil yang dikelola dengan keikhlasan. Mereka belajar dengan keterbatasan, tapi tetap berprestasi karena punya semangat dan tujuan yang jelas.
Kampus besar memang memberi peluang besar, tetapi kampus kecil memberikan ruang lebih luas untuk berproses dan tumbuh. Mahasiswa di kampus kecil sering kali lebih dekat dengan dosen, lebih aktif dalam organisasi, dan lebih banyak belajar langsung dari realitas sosial.
Penutup: Ilmu Tak Butuh Kemewahan, Tapi Kejujuran
Akhirnya, kita perlu menyadari: kuliah bukan tentang di mana, tapi tentang untuk apa. Apakah kuliah hanya demi gengsi, atau demi memperbaiki diri dan bermanfaat bagi orang lain?
Kampus boleh sederhana, tapi semangat belajar harus tinggi. Karena ilmu akan datang kepada siapa pun yang sungguh-sungguh mencarinya. Gedung kampus bisa roboh, fasilitas bisa rusak, tetapi semangat menuntut ilmu tidak boleh padam.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata:
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Maka, siapa pun kita, di mana pun kita kuliah, jadikan setiap tempat sebagai ruang belajar, setiap kesulitan sebagai pelajaran, dan setiap keberhasilan sebagai tanggung jawab.
Sebab yang membuat seseorang menjadi pandai bukanlah megahnya kampus, tetapi tekunnya usaha, jujurnya niat, dan rendah hatinya di hadapan ilmu.
Penulis AZHARI