Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aku Rindu Bersama, Rindu Rumah yang Utuh

Rabu, 10 Desember 2025 | 01:16 WIB Last Updated 2025-12-09T18:16:50Z




Doa dan Harapan Agar Suatu Hari Kita Bisa Bekerja di Satu Kabupaten, Satu Rumah, Satu Tujuan

Ada rindu yang tidak pernah selesai. Rindu yang berdiri di ujung malam ketika semua orang terlelap, tetapi mataku masih terbuka menatap langit-langit kamar. Di sana, ada bayangan tawa anakku, ada suara kecil memanggil Ayah, ada mata istri yang dulu begitu teduh saat menatapku, ketika rumah bukan hanya bangunan, tetapi tempat berkumpulnya hati.

Hari ini, jarak seperti tembok tinggi yang memisahkan. Kota demi kota kulewati, jalan panjang kulalui, hujan jatuh di atap mobil yang kupacu sendirian. Aku bekerja jauh, kau bekerja jauh, dan anak kita tumbuh tanpa sering melihat kita duduk bersama dalam satu meja makan. Itu bukan hidup yang dulu kita impikan.

Kita dulu membangun mimpi sederhana: Rumah kecil, halaman sempit, suara anak berlari-lari, dan kita bekerja dalam satu kabupaten agar setiap sore bertemu, bukan hanya lewat telepon dan video call yang suaranya sering terputus. Namun takdir membawa kita pada kenyataan yang berat: pekerjaan memisahkan, tanggung jawab memaksa kita kuat, dan hidup kadang tidak memberi pilihan selain bertahan.

Dan di tengah semua itu, ada rasa sedih yang tidak pernah hilang—meski ditutup dengan tawa.


Rumah yang Kosong Bukan Karena Tidak Berpenghuni, Tapi Karena Hati Sedang Jauh

Orang di luar mungkin melihat hidup kita baik-baik saja. Mereka melihat foto keluarga yang tampak bahagia, padahal itu hanya potret beberapa menit dalam sebuah hari panjang penuh rindu. Mereka melihat senyum, tetapi tidak melihat malam-malam menangis dalam diam. Mereka melihat hasil, tetapi tidak tahu harga yang harus dibayar: perpisahan demi mencari nafkah.

Setiap kali pulang, anak memelukku sangat erat. Seolah takut aku pergi terlalu cepat. Pelukan itu menggetarkan jantungku: betapa kerasnya ia berjuang menahan jarak yang tak pernah bisa ia mengerti. Kadang aku mendengar bisik doa kecil sebelum ia tidur:

“Ya Allah, cepatkan Ayah pulang. Biar Ayah sama Ibu dan aku terus.”

Doa itu bukan hanya permintaan seorang anak. Tetapi jeritan hati yang haus kehadiran, bukan kiriman uang belanja setiap bulan. Karena rumah bukan tentang fasilitas, bukan tentang kemewahan—rumah adalah tentang kebersamaan.

Berapa banyak keluarga yang hancur bukan karena miskin, tetapi karena jarak? Berapa banyak rumah yang retak bukan karena badai, tetapi karena sunyi?

Aku tidak ingin menjadi bagian dari statistik itu. Aku ingin menjadi bagian dari keluarga yang selamat.


Kerja Jauh: Pilihan atau Paksaan?

Banyak orang berkata:

“Kalau sayang keluarga, kenapa tidak tinggalkan pekerjaan dan pulang saja?”

Mereka tidak mengerti. Hidup bukan sekadar memilih yang kita inginkan, tetapi menerima yang seringkali tidak kita pilih. Di negeri ini, mencari pekerjaan di satu kabupaten yang sama bukan perkara angan-angan mudah. Terkadang satu-satunya peluang ada di tempat yang jauh, dan menolak berarti kehilangan seluruh sumber kehidupan.

Sebagian orang beruntung, tidak harus berpisah, tidak harus menahan rindu. Tetapi banyak keluarga yang bertahan dalam luka yang diam-diam menjadi api. Ayah bekerja jauh, ibu bekerja jauh, anak dititipkan ke nenek atau kerabat—dan rumah tidak lagi menjadi sarang cinta. Rumah hanya tempat singgah, bukan tempat pulang.

Aku tidak malu menangis ketika bicara tentang ini. Karena rindu bukan kelemahan. Rindu adalah bukti cinta.

Dan aku ingin bersaksi di depan dunia: Aku rindu keluarga lengkap dalam rumah yang sama. Bukan keluarga yang hanya bertemu pada libur panjang, pada kalender yang sempit, pada waktu yang dipinjam dari kesibukan.


Doa yang Selalu Kupanjatkan

Setiap sujud malam, aku memohon pada Allah:

“Ya Allah, satukan kembali langkah kami. Jangan biarkan kami jauh terlalu lama. Jadikan kami bekerja dalam satu kabupaten, dalam satu kota, agar kami membesarkan anak kami bersama, bukan terpisah oleh ratusan kilometer.”

Aku percaya: Tidak ada doa yang sia-sia. Tidak ada tangis yang sia-sia.

Mungkin hari ini belum. Mungkin bukan bulan ini. Mungkin bukan tahun ini.

Tetapi suatu hari nanti, Allah akan menjawab dengan cara-Nya.

Sebelum doaku terkabul, biarlah tulisan ini menjadi saksi: keluarga ini berjuang bukan melawan dunia, tetapi melawan jarak.


Aku Rindu

Aku rindu melihat anak tidur dalam pelukanku. Aku rindu sarapan bersama di meja kecil itu. Aku rindu suara piring, bukan suara telepon. Aku rindu melihat kamu duduk di sofa, bukan di layar telepon. Aku rindu membangun masa depan bersama, bukan masing-masing.

Aku rindu pulang dan menemukan kalian menunggu. Bukan pulang pada rumah yang sunyi, dingin, dan kosong.

Aku rindu kita. Aku rindu keluarga ini seperti dulu. Aku rindu rumah yang benar-benar hidup.


Harapan Terakhir

Jika hari itu datang, jika Allah memberi jalan, jika pintu rezeki dibukakan,

Aku ingin kita tinggal di satu kabupaten, bekerja tanpa meninggalkan rumah, menemani anak tumbuh setiap hari, dan menutup mata di malam hari tanpa memeluk rindu.

Karena pada akhirnya, yang paling berharga bukan uang, bukan jabatan, bukan prestasi.

Yang paling berharga adalah keluarga. Dan aku tidak ingin kehilangan itu.