Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

“Bantu Kami Aceh dalam Musibah Banjir Terparah Ini

Rabu, 10 Desember 2025 | 01:49 WIB Last Updated 2025-12-09T18:50:44Z


 




Ada kalanya manusia diuji bukan dengan kemiskinan, bukan dengan penyakit, dan bukan dengan perang. Ada saat di mana manusia diuji dengan air—air yang seharusnya menjadi rahmat, namun saat ini berubah menjadi bencana. Aceh kembali menangis. Air bah menenggelamkan rumah, menelan ladang, menghapus mimpi anak-anak sekolah, dan memutus harapan ribuan keluarga. Banjir yang terjadi pada akhir tahun ini bukan sekadar peristiwa alam, tetapi refleksi besar tentang kelalaian, keserakahan, dan kegagalan kita menjaga bumi Allah.

Di banyak daerah—Bireuen, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Lhokseumawe, hingga Aceh Barat—ribuan jiwa terpaksa mengungsi. Ada yang kehilangan rumah, ada yang kehilangan harta benda, dan ada pula yang kehilangan orang tercinta. Tidak ada yang paling menyayat selain melihat seorang ibu memeluk anaknya di tenda pengungsian, menatap jauh ke gelap malam, bertanya dalam hati: Sampai kapan kami bertahan di sini?

Air yang terus meninggi seakan berbicara: “Sampai kapan manusia membiarkan hutan ditebang, sungai disempitkan, dan alam diperas untuk kepentingan pribadi?”


Bencana Ini Adalah Teguran, Bukan Sekadar Peristiwa

Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 41:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”

Ayat itu bukan sekadar kalimat suci yang dibaca ketika bencana tiba, tetapi peringatan tegas bahwa sumber masalah tidak hanya pada hujan dan air, tetapi pada manusia—yang rakus, yang diam, yang membiarkan.

Hutan-hutan Aceh yang dahulu menjadi pelindung telah habis dibabat. Gunung-gunung yang kuat kini telanjang tanpa pepohonan. Sungai yang dahulu lebar kini menyempit karena sampah dan bangunan liar. Maka ketika hujan turun, air tidak dapat lagi meresap ke tanah dan akhirnya meluap, menghantam desa-desa tanpa ampun.

Banjir tahun ini bukan banjir biasa. Ini banjir terparah dalam beberapa tahun terakhir. Ini bukan sekadar air, tetapi pesan dari langit:
Bangunlah wahai manusia, kalian sedang dihukum karena kelalaian kalian sendiri.


Suara dari Pengungsian: Harapan dalam Isak Tangis

Bagi kita yang masih tidur di kasur empuk, menikmati kopi di teras rumah, mungkin sulit merasakan betapa pedihnya tidur di lantai tenda yang dingin, memeluk anak yang menggigil karena demam, menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Di balik banjir ini, ada kisah-kisah sunyi yang tak pernah masuk berita:

  • Seorang anak SD menangis karena buku pelajaran hanyut terbawa arus.
  • Seorang ayah menatap kosong ke sawah yang tertutup lumpur—satu-satunya sumber nafkah, kini hilang.
  • Seorang nenek kehilangan obat dan tak mampu berjalan jauh untuk menyelamatkan diri.
  • Seorang ibu menahan lapar karena memilih memberikan makanan terakhir kepada anaknya.

Jika engkau berada di sana dan mendengar suara mereka, engkau akan memahami arti kalimat:
“Bencana bukan hanya merusak tanah, tetapi meremukkan hati.”


Bantu Kami, Aceh Sedang Berduka

Kami mengetuk hati siapa pun yang masih memiliki rasa kemanusiaan.
Tidak peduli engkau berada di Aceh, Medan, Jakarta, Malaysia, atau di mana pun:

Bantuanmu adalah nyawa bagi kami.

Tidak harus besar. Bahkan seribu rupiah, sebotol air mineral, selembar selimut, dan sepotong roti dapat menjadi cahaya bagi mereka yang kini berada dalam gelap.
Bantuan dapat berupa:

  • Logistik (beras, mie instan, obat-obatan, air mineral)
  • Selimut dan pakaian layak pakai
  • Popok bayi dan susu formula
  • Tenaga relawan
  • Donasi kemanusiaan

Karena hari ini, yang dibutuhkan bukan hanya pemerintah, bukan hanya lembaga besar, tetapi kita semua.


Saatnya Generasi Muda Bangkit

Wahai pemuda Aceh, jangan hanya marah di media sosial. Jangan hanya berteriak dan menyalahkan pemerintah tanpa melakukan apa-apa.
Ini waktunya turun ke jalan, menggalang bantuan, mengumpulkan donasi, menyusun relawan, dan menunjukkan bahwa generasi ini bukan generasi penonton.

Bencana seperti ini adalah ruang pembuktian bahwa kita mampu menjadi pemimpin masa depan, bukan penonton yang bicara tanpa tindakan.

Jika bukan kita, siapa? Jika bukan sekarang, kapan?


Seruan untuk Pemerintah dan Elit Daerah

Bencana ini adalah cermin besar bagi para pemimpin.
Tolong turun ke lapangan, dengar suara rakyat, rasakan air yang mengalir sampai ke pinggang, dan lihat penderitaan dengan mata kepala sendiri.

Kami meminta bukan hanya bantuan sementara, tetapi:

Solusi permanen

  • Rehabilitasi hutan dan penghentian pembalakan liar.
  • Normalisasi sungai dan saluran air.
  • Perbaikan tata kota dan tata ruang desa.
  • Transparansi anggaran bencana.
  • Penegakan hukum terhadap mafia kayu dan perusak lingkungan.

Jangan biarkan bencana ini berlalu begitu saja tanpa perubahan. Jangan hanya datang untuk foto dan pulang dengan janji kosong.


Marilah Kita Mendekat kepada Allah

Setiap bencana adalah panggilan agar manusia kembali sujud.
Dalam sujud itu kita berdoa:

“Ya Allah, ampuni kami.
Jangan hukum kami karena kebodohan dan keserakahan kami.
Selamatkan keluarga kami, anak-anak kami, tanah kami, dan masa depan kami.”

Karena hanya Allah yang mampu mengembalikan ketenangan setelah badai.


Penutup: Aceh Memanggil, Manusia Dipanggil

Aceh hari ini bukan hanya memerlukan bantuan materi, tetapi juga bantuan doa, cinta, dan kepedulian.
Kami percaya bahwa masih banyak hati yang lembut, masih banyak saudara yang peduli, dan masih banyak manusia yang memiliki kasih.

Maka kepada siapa pun yang membaca:

Tolong bantu kami.
Jangan tutup mata.
Jangan tunda kebaikan.
Kami sedang berjuang untuk hidup.

Semoga Allah membalas setiap tetes kebaikan dengan keberkahan yang tak terhingga.

Aceh menangis hari ini, agar besok dapat tersenyum kembali.


Terima Kasih untuk Semua yang Bersedia Menolong.
Mengulurkan tangan hari ini adalah menyelamatkan masa depan.