Beberapa hari lalu publik dikejutkan oleh pemandangan yang menyentuh hati: gajah-gajah jinak di Pidie Jaya ikut membantu mengangkat kayu dan membersihkan material banjir yang menutup akses jalan dan menghambat evakuasi. Hewan besar yang selama ini sering diberitakan sebagai ancaman konflik justru tampil sebagai penyelamat manusia. Di tengah kekacauan dan kesedihan akibat banjir, gajah hadir bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai sahabat dan penolong.
Pemandangan itu seperti tamparan lembut namun keras bagi nurani kita.
Karena fakta sederhana namun sangat menyentuh adalah:
ketika manusia merusak hutan, justru hewan yang berusaha menolong kita.
Air mata rakyat yang kehilangan rumah, sawah, dan keluarga, mengalir bersamaan dengan air banjir yang menghanyutkan batang-batang kayu hasil pembalakan liar. Saat manusia memotong hutan demi keuntungan pribadi, gajahlah yang harus kehilangan habitatnya, terusir, lapar, dan sering kali mati terbunuh demi melindungi diri.
Namun hari ini, hewan yang menjadi korban terbesar justru mengulurkan “tangan”—belalai mereka—untuk membantu keselamatan manusia.
Sungguh sebuah ironi yang sangat dalam.
Gajah Mengajari Kita Arti Kebaikan Tanpa Syarat
Gajah bukan hanya makhluk besar dengan kekuatan luar biasa. Dalam banyak budaya, gajah simbol kebijaksanaan, kesetiaan, dan memori yang kuat. Mereka hidup dalam kelompok, saling menjaga, dan tidak meninggalkan anggota yang lemah atau luka.
Dalam bencana kemanusiaan di Pidie Jaya, gajah memberikan pelajaran yang sangat berharga:
- Mereka tidak menyimpan dendam meski hutan mereka dirampas
- Mereka tidak marah meski manusia menyebabkan banyak dari mereka mati diracun dan diburu
- Mereka membantu tanpa meminta imbalan
Gajah bisa saja memilih pergi, tetapi mereka tinggal dan menolong.
Sedangkan manusia sering memilih merusak, bukan menjaga.
Bukankah ini sebuah cermin yang harus kita lihat dengan jujur?
Banjir Pidie Jaya: Bukan Sekadar Musibah Alam, Tapi Peringatan dari Kerusakan Ekologi
Setiap tahun Aceh mengalami banjir, tetapi tingkat kerusakan kali ini menunjukkan sesuatu yang tidak bisa diabaikan:
Gunung digunduli, hutan dibabat, dan alam dipaksa menyerah.
Banjir besar bukan muncul tiba-tiba.
Ia adalah hasil dari pohon yang ditebang tanpa izin, kayu yang diseret keluar hutan, dan sungai yang tersumbat oleh kerak keserakahan.
Saat hujan turun, air tidak lagi memiliki penjaga. Akar-akar pohon yang dulu menahan tanah sudah hilang. Air turun tanpa kontrol, membawa kayu dan lumpur yang menutup rumah dan jalan.
Dan akhirnya, manusia menjadi korban dari ulah tangan manusia sendiri.
Bencana ini seharusnya bukan hanya disesali, tetapi dijadikan titik balik.
Karena jika kita terus mengulangi kesalahan yang sama, kita bukanlah makhluk paling cerdas, tetapi makhluk yang paling sombong.
Refleksi Kemanusiaan: Siapa Sebenarnya yang Lebih Beradab?
Ketika gajah membantu manusia membersihkan jalan dari kayu yang justru manusia tebang secara ilegal, sebuah pertanyaan muncul:
Siapa sebenarnya yang lebih manusiawi: kita atau gajah?
Gajah tidak memiliki universitas, tetapi mereka punya moral.
Gajah tidak punya gedung pemerintahan, tetapi mereka punya persatuan.
Gajah tidak pakai bahasa, tetapi tindakan mereka berbicara jauh lebih kuat daripada pidato panjang.
Manusia memiliki akal, tetapi akal tanpa moral hanya melahirkan keserakahan.
Saatnya Bertindak, Bukan Menyalahkan
Aceh memiliki hutan yang dulu dijuluki paru-paru bumi Sumatra, tetapi sebagian kini menjadi koridor perdagangan ilegal kayu dan tambang. Setiap banjir datang, pemerintah sibuk memberi bantuan sementara para pelaku kerusakan tetap bebas menikmati hasilnya.
Kini saatnya:
1. Pemerintah bertindak tegas pada mafia hutan
Tanpa pengecualian, tanpa kompromi.
2. Masyarakat berhenti menjadi penonton
Karena diam sama dengan ikut merusak.
3. Generasi muda bergerak
Menjadi suara penyelamat bumi, bukan pewaris kehancuran.
4. Hutan dihidupkan kembali dengan program penghijauan
Menanam bukan hanya acara seremonial, tetapi gerakan berkelanjutan.
Karena bencana yang terjadi hari ini bukan akhir—ia adalah peringatan agar kita berubah.
Terima Kasih, Gajah Aceh
Untuk para gajah yang membantu manusia dalam banjir Pidie Jaya,
untuk setiap langkah berat yang kalian ambil menggeser kayu dan membuka jalan evakuasi,
untuk pelajaran moral yang kalian berikan dengan diam tetapi sangat menggetarkan hati.
Terima kasih.
Semoga manusia belajar dari kalian—belajar tentang ketulusan, kesabaran, dan arti menjaga alam.
Jika suatu hari hutan kembali hijau dan sungai kembali jernih,
itu bukan kemenangan manusia,
tetapi kemenangan kita sebagai satu ekosistem yang saling membutuhkan.
Dan semoga kita tidak menunggu gajah menangis lagi
untuk menyadarkan kita bahwa alam bukan milik kita, tetapi titipan generasi berikutnya.
Penulis AZHARI