Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

“Ketek: Alat Transportasi Penyelamat Pasca Banjir Ketika Jembatan Putus di Aceh”

Rabu, 10 Desember 2025 | 02:21 WIB Last Updated 2025-12-09T19:21:36Z


Foto Facebook 



Ketika banjir besar melanda berbagai daerah di Aceh, jembatan-jembatan putus, jalan-jalan terendam lumpur, dan akses darat terhenti total, ada satu alat transportasi sederhana yang tiba-tiba menjadi penyelamat: ketek, atau perahu kecil tradisional yang biasa digunakan masyarakat di sungai dan pesisir. Bila sebelumnya ketek dianggap biasa, hari ini ia muncul sebagai pahlawan tanpa sorotan kamera. Ketek menjelma menjadi urat nadi kehidupan, penggerak bantuan, dan penyambung harapan bagi warga yang terisolasi.

Di saat kendaraan besar tak dapat lewat, ketika truk logistik terhenti, dan ketika ambulans tak mampu menembus banjir, ketek meluncur pelan membawa makanan, obat-obatan, pakaian, dan bahkan pasien yang harus segera mendapat pertolongan medis. Dengan mesin kecil, tubuh ringan, dan kemampuan bergerak melalui arus deras, ketek menjadi bukti bahwa teknologi lokal yang sederhana kadang jauh lebih berarti daripada alat mewah yang tak dapat digunakan dalam kondisi darurat.


Ketika Infrastruktur Ambruk, Kearifan Lokal Menjadi Penyelamat

Putusnya jembatan tidak hanya memutus struktur fisik, tetapi memutus jalur ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan komunikasi antar-wilayah. Desa-desa yang sebelumnya terhubung tiba-tiba berubah terisolasi. Banyak keluarga tak dapat keluar dari desa, distribusi pangan terhambat, dan layanan kesehatan lumpuh.

Namun di tengah keterasingan itu, ketek menjadi jembatan baru:

  • Mengangkut beras dan mie instan dari posko induk ke wilayah terisolasi
  • Membawa para relawan dan tim medis menuju titik-titik yang tidak terjangkau kendaraan
  • Menyelamatkan ibu hamil, orang sakit, lansia, dan anak-anak dari tengah banjir
  • Mengangkut kayu, material, dan logistik evakuasi

Ketek tidak bertanya siapa yang ditolong. Tidak peduli suku, kampung mana, atau kelompok mana. Ketek hanya bergerak untuk kemanusiaan.

Di momen ini, kita menyaksikan sebuah pelajaran penting:
Alat transportasi sederhana dapat menjadi kekuatan besar ketika dikelola dengan hati dan keikhlasan.


Para Pemilik Ketek: Pahlawan Tanpa Nama

Selain ketek sebagai alat, ada sosok yang sering terlupakan—para pengemudi ketek, yang mempertaruhkan nyawa menembus arus deras, menavigasi runtuhan kayu dan serpihan bangunan, hanya untuk memastikan bantuan sampai ke tujuan.

Mereka bukan pejabat, bukan tokoh publik, bukan orang kaya. Mereka rakyat biasa:
petani, nelayan, buruh, dan pemuda kampung. Namun dalam situasi darurat, mereka mengambil tugas yang lebih mulia dari jabatan manapun: menyelamatkan sesama.

Ada yang menggerakkan ketek tanpa meminta bayaran, ada yang menolak uang seketika menerima permintaan tolong, dan ada yang hanya berkata:

“Ini bukan tentang uang. Ini tentang nyawa manusia.”

Di tengah kerusakan moral dan politik yang sering kita lihat, tindakan seperti ini mengingatkan kita bahwa Indonesia masih berdiri karena orang-orang kecil yang berhati besar.


Musibah Banjir Bukan Hanya Soal Air – Tetapi Tentang Perencanaan dan Kesadaran

Kita harus jujur mengatakan bahwa bencana bukan hanya karena faktor alam.
Kerusakan hutan, pembalakan liar, pembetonan sungai, dan pembangunan tanpa kajian lingkungan menjadi penyebab utama. Ketika akar pohon yang menahan air hilang, air tidak lagi terserap. Akhirnya ia turun seperti gelombang kemarahan, menghancurkan apa pun di depannya.

Dan ketika jembatan ambruk, kita tersadar bahwa:

  • Infrastruktur tidak cukup kuat menahan kondisi ekstrem
  • Manajemen darurat kita masih lemah
  • Rakyat kembali menjadi pihak yang paling menderita

Musibah seharusnya menjadi peringatan, bukan sekadar berita.

Kita harus bertanya: Berapa banyak lagi desa harus tenggelam sebelum kita peduli?
Berapa banyak jembatan harus patah sebelum kita sadar pentingnya menjaga hutan?
Berapa banyak anak menangis di malam gelap sebelum kita berhenti saling menyalahkan?


Refleksi Generasi Muda: Jangan Menjadi Penonton

Generasi muda Aceh hari ini tidak boleh hanya menjadi penonton tragedi.
Jangan hanya aktif mengkritik di media sosial tetapi tidak melakukan tindakan nyata. Kita perlu menjadi generasi yang bergerak, bukan sekadar berbicara.

Gerakan kecil yang dapat dimulai:

🌱 Menanam pohon, bukan merusak

🌊 Membersihkan sungai, bukan membuang sampah

🤝 Mengorganisir bantuan, bukan hanya menonton

🎓 Belajar tentang mitigasi bencana, bukan menertawakan penderitaan

Karena masa depan Aceh bukan ditentukan oleh retorika, tetapi tindakan nyata dan kesadaran kolektif.


Ketika Musibah Mengajarkan Kita Tentang Persatuan

Di tengah banjir yang meratakan perbedaan, masyarakat menyatu tanpa memandang warna politik, agama, dan posisi. Semua bergerak untuk satu tujuan: menolong yang membutuhkan.

Bencana membuat kita kembali kepada identitas paling dasar: kita adalah manusia.

Dan ketek adalah simbol itu—simbol gotong royong, solidaritas, dan harapan.


Penutup: Ketek, Harapan yang Tidak Boleh Padam

Di saat jembatan putus, ketek menjadi jembatan baru.
Di saat semua orang panik, ketek datang membawa ketenangan.
Di saat harapan hampir padam, ketek menyalakan kembali cahaya kemanusiaan.

Mari kita menghargai para penggerak ketek dengan penuh hormat.
Mari kita jadikan musibah ini pelajaran besar untuk menjaga alam.
Mari kita sadar bahwa masa depan Aceh tidak akan selamat tanpa hutan yang terjaga dan tanpa hati yang saling peduli.

Terima kasih untuk ketek.

Terima kasih untuk para pengemudi yang berjuang tanpa pamrih.

Terima kasih untuk semua yang memilih membantu daripada menonton.

Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan manusia adalah kebaikan, bukan kekuatan.