Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Sabang was Almost Part of America (Sabang Hampir Jadi Milik Amerika)

Sabtu, 19 Februari 2022 | 13:39 WIB Last Updated 2022-02-19T06:39:42Z

Pada abad ke XVI, Aceh sudah diakui dunia sebagai kerajaan beudaulat di ke kepulauan nusantara. Sebagai daerah yang memiliki lokasi yang strategis tentu banyak yang menarik dan melirik terutama dengan potensi ekonominya yang besar.

Jadi, wajar saja saat itu Aceh menjadi incaran negara-negara Eropa seperti Portugis, Amerika, Inggris dan Belanda. Namun dari beberapa negara tersebut, hanya Belanda yang terus-menerus berusaha menjajah Aceh dengan segala upaya menghancurkan kerajaan Aceh.

Seorang Konsul Amerika yang bertugas sekitar 50 tahun lebih di Medan dalam bukunya yang berjudul “ The American in Sumatera” menulis, di antara sekian banyak kerajaan di pulau Sumatera, Aceh satu-satunya kerajaan yang menolak keinginan pendatang dari Eropa pada tahun 1784.

Tujuan Eropa ingin membangun benteng-benteng dan permukiman serta pergudangan komoditi-komoditi yang mereka beli dari rakyat. Benteng ini sebagai tugu perintis, bila diizinkan pasti akan diikuti regu-regu lain dan diprediksi akan menimbulkan kekacauan.

Hingga abad ke XIX, Kerajaan Aceh masih memegang peranan penting dalam perdagangan internasional. Komoditi yang dihasil yaitu lada dan hampir sebagian besar keperluan lada dunia diekspor dari Aceh.

Namun, pada abad itu pula kekuatan Aceh juga mulai lemah, sehingga kegiatan perdagangan jatuh ke tangan penguasa pesisir (Uleebalang). Sehingga pelabuhan Ulee Lheue yang dulu berperan penting dalam perdagangan di bawah kerajaan Aceh terlepas dengan sendirinya, termasuk Kota Sabang (Pulau Weh).

Kemudian pedagang asing dari Belanda, Prancis, India, Amerika, Inggris dan Arab mendatangi Aceh. Ada yang datang murni berdagang, ada juga yang datang untuk tujuan intervensi politik seperti Belanda, Inggris dan Prancis.

Keberadaan Belanda di Sabang cukup lama sehingga diakui Sabang oleh Belanda sebagai satu daerah pemerintahannya. Hal itu dapat dilihat hingga sekarang dari beberapa bangunan sebagai bukti mereka pernah mendominasi di Sabang.

Kondisi Aceh yang sudah lemah, untuk menghadapi agresi Belanda Aceh butuh kekuatan besar. Maka Aceh menjalin hubungan dengan Mayor G Studer, Konsul Amerika di Singapura, dimana Sultan Aceh mengikat perjanjian persahabatan (Treaty of Frienship).

Dokumen perjanjian Aceh-Amerika yang pernah memberikan harapan bagi Aceh menimbulkan kegemparan bagi Belanda baik yang ada di Batavia maupun Den Haag. Naskan yang berusia lebih dari 120 tahun belum pernah di ketahui Indonesia karena sejak tahun 1874 tersimpan di Nasional Asrchives Washington DC baru diketahui setelah 100 tahun kemudian yaitu pada 1993, sesuai amanah penitip harus dibuka setelah 100 kemudian.

Ikrar pemerintah Aceh dibuat pada 16 Agustus 1873. Namun sebelum naskah perjanjian yang sudah ditandatangani Sultan Aceh itu, sempat dikirim ke Singapura untuk dibawa ke Amerika. Aceh sudah terlanjur diserang Belanda pada 26 Maret 1873.

Salah satu isi perjanjian tersebut Pasal 6:

“Seri baginda Sultan Aceh akan menghadiahkan kepada yang maha mulia pemerintah Amerika sebuah pulau yang bernama Pulau Weh, yang terletak berhadapan dengan Bandar Aceh; Pemerintah Amerika dapat mengibarkan benderanya di atas pulau tersebut. Kepadanya diharap akan menyebarkan keadilan ke serata pelosok, memperlakukan penduduk dari segala bangsa, baik yang menetap maupun baik yang datang pergi dengan baik, serta memberikan perlindungan kepada mereka, begitu juga kapal-kapal yang masuk ke pulau itu sehingga menjadi ramai dan makmur,” (Sumber: H M Nur El Ibrahimy, 1993: 61).

Karena keadaan sedang memanas, maka Amerika tak berani mengambil risiko untuk melibatkan diri dalam pertikaian dengan Balanda. Meskipun hadiah itu sebagai pancingan untuk mengusir Balanda, ketidakmampuan Amerika menerima tawaran tersebut, Studer pun tidak berani menandatangani di Singapura.

Maka, naskah perjanjian antara Aceh-Amerika itu dikirim ke Washington dan menunggu hasil. Di masa inilah terjadi penghianatan yang oleh Paul Van’t Veer dalam sebuah bukunya “Atjeh Oorlog” disebut dengan penghianatan Singapura yang memicu meletusnya perang Belanda dengan Aceh. Paul menyebutkan belum pernah Belanda berpedang yang begitu besar selain perang Aceh.[]

ENGLISH

Sabang was almost part of America
In the XVI century, Aceh has been recognized as the kingdom of beudaulat kingdom in the archipelago. As a region that has a strategic location of course a lot of interesting and glance, especially with great economic potential.

So, naturally at that time Aceh became the target of European countries such as Portuguese, American, English and Dutch. But from some of these countries, only the Dutch are constantly trying to colonize Aceh with every effort to destroy the kingdom of Aceh.

An American Consul who served more than 50 years in Medan in his book "The American in Sumatera" wrote, among the many kingdoms on the island of Sumatra, Aceh was the only kingdom that rejected the wishes of immigrants from Europe in 1784.

European goals want to build forts and settlements and warehousing the commodities they buy from the people. This fortress as a pioneer monument, if allowed would be followed by other teams and predicted to cause chaos.

Until the XIX century, the Kingdom of Aceh still plays an important role in international trade. The commodities produced are pepper and most of the world pepper is exported from Aceh.

However, in that century also the strength of Aceh also began to weak, so that trading activities fall into the hands of coastal rulers (Uleebalang). So that the port of Ulee Lheue that once played an important role in trade under the Aceh kingdom was released by itself, including the City of Sabang (Pulau Weh).

Then foreign traders from the Netherlands, France, India, America, Britain and Arab came to Aceh. Some came purely in trade, some came for the purpose of political intervention such as the Netherlands, Britain and France.

The Dutch presence in Sabang long enough to be recognized by the Dutch as a region Sabang government. It can be seen up to now from several buildings as evidence they once dominated in Sabang.

Aceh's already weak condition, to face the Dutch aggression of Aceh needs a great power. So Aceh established a relationship with Major G Studer, the American Consul in Singapore, where the Sultan of Aceh signed a treaty of friendship (Treaty of Frienship).

The Aceh-America agreement document that once gave hope to Aceh caused a stir in the Netherlands both in Batavia and DEN HAAG. Naskan who is more than 120 years old has never been known to Indonesia because since 1874 stored in the National Asrchives Washington DC was only known after 100 years later that is in 1993, according to the mandate of caution should be opened after 100 later.

The Aceh government pledge was made on 16 August 1873. But before the treaty signed by the Sultan of Aceh, was sent to Singapore to be brought to America. Aceh was already attacked by the Dutch on 26 March 1873.
One of the terms of the agreement Article 6:

"The Majesty of the Sultan of Aceh will award to the most honorable American government an island called Pulau Weh, located opposite Bandar Aceh; The US government can fly its flag on the island. It is hoped that it will spread justice to all corners, treats the inhabitants of all nations, both settled and good who come away well, and provide protection to them, as well as ships entering the island to become crowded and prosperous," ( Source: HM Nur El Ibrahimy, 1993: 61).

As the situation is heating up, the Americans dare not risk taking part in a dispute with Balanda. Although the prize was a bait to expel Balanda, America's inability to accept the offer, Studer did not dare to sign in Singapore.

Thus, the agreement between Aceh-American was sent to Washington and awaited the results. It was during this time that the betrayal by Paul Van't Veer in his book "Atjeh Oorlog" was called the Singaporean betrayal that triggered the outbreak of the Dutch war with Aceh. Paul mentioned that the Dutch had never had such a big sword as the Aceh war.

Reference:
Lombard Denys, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006.
Rahman Albina, Sabang dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: CV Gata Beujaya, 2015.
hayat s.jpg

Salam damai
@hayatullahpasee.

Mata Uang Sabang I Sumber: http://acehplanet.com/melanglang-ke-Sabang-aceh-era-belanda***