Setelah rapat kerajaan dan pengambilan sumpah dilakukan, seorang pria berbadan tegap dan kulit agak hitam, masuk ke aula pertemuan. Tak ramai yang mengenalnya, karena ia orang yang bekerja di dinas rahasia. Lelaki yang tampak klimis itu penampilannya agak berbeda dengan para pejabat kerajaan. Awalnya ia dikira salah seorang uleebalang dari satu wilayah di Aceh.
Ia masuk memberi salam kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Sulthan. Keduanya kemudian menuju ruang kerja Sulthan, sementara para wazir dan uleebalang dipersilahkan ke ruang penjamuan. Para wazir dan uleebalang penasaran dengan tingkah pria misterius itu. Sambil menikmati makan siang, mereka membicarakan tentang lelaki tersebut.
Tak lama kemudian Sulthan Alaiddin Mahmud Syah keluar dari ruang kerjanya bergabung kembali dengan para wazir dan uleebalang di ruang jamuan. Usai shalat dhuhur berjamaah di mesjid Baiturrahim dalam komplek istana, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah kembali melanjutkan pertemuan.
Para wazir dan uleebalang merasa ada yang tidak beres, karena sebelumnya rapat kerajaan direncakanan hanya pagi saja, dan dianggap telah selesai setelah sumpah kerajaan diucapkan.
Mereka pun kembali bertanya-tanya, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi. Kehadiran lelaki misterius di ruang kerja Sulthan tadi mereka kait-kaitkan dengan rapat susulan tersebut.
Di hadapan para wazir dan uleebalang, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah berujar. “Saya sudah dapat laporan dari Peutua Balei Sisasah Keurajeun bahwa Holanda sudah dapat dipastikan menyerang kerajaan kita ini,” katanya dengan suara nyaring dan tegas.
Ternyata pria misterius yang masuk ke ruang kerja sulthan tadi adalah Peutua Balei Sisasah Keurajeun yakni kepala intelijen kerajaan.
Rapat susulan itu jadi riuh, ada yang cemas ada pula yang terlihat santai, namun kebanyakan terlihat tegang. “Untuk menghadapi Holanda itu, maka hari ini dalam rapat ini saya akan membentuk kabinet perang,” lanjut Sulthan.
Sulthan benar-benar mempersiapkan peperangan besar untuk menghadapi Belanda. Ia meminta kepada para menterinya (wazir) untuk menyusun kabinet perang yang efektif dan efisien tanpa banyak birokrasi. Alasannya, urusan perang harus disegerakan, tidak boleh berbelit-belit dengan birokrasi pemerintahan. Atas dasar itu pula, para birokrat kerjaan harus terlibat dalam kabinet tersebut agar lebih mudah menjalankan roda pemerintahan dan peperagangan sekaligus dalam suasana genting.
Setelah menerima berbagai masukan dalam rapat itu, Sulthan Alaiddin Mahmudsyah. menunjuk tiga wazir (menteri) untuk memimpin kabinet perang. Sulthan tetap bertindak sebagai kepala pemerintahan. Sementara untuk kabinet perang Sulthan menunjukTuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap sebagai panglima besar angkatan perang dengan pangkatJenderal Tentara Aceh.
Kemudian Tuanku Mahmud Banta Ubiet Kadirsyah. diangkat sebagai Wazirul Mizan Wazirul Dakhiliyah-Wazirul Kharijiah (Menteri Kehakiman merangkap Menteri dalam dan luar negeri) merangkap Wakil Kepala Pemerintahan. Sementara satu lagi Said Abdullah Teungku Di Meulek diangkat sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.
Kabinet perang ini dilantik oleh sulthan pada Minggu 1 Muharram 1290 Hijriah (1873 masehi). Mereka dilantik dan disumpahkan di dalam Mesjid Istana Baiturrahim. Upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk. Ia berdiri menghadap ketiga pemimpin kabinet perang itu, mengangkat kitab suci Al Quran ke atas kepala mereka. Kadli Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk kemudian membaca sumpah yang diikuti oleh ketiga pemimpin kabinet perang itu.
Isi Sumpah itu:
“...Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru.
Maka barang siapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda,
Maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing...”
Naskah sumpah itu kemudian dicatat dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab dan disimpan oleh Wazir Rama Setia sebagai dokumen baiat Kerajaan Aceh.
Setelah selesai pengambilan sumpah, maka kabinet perang mengeluarkan maklumat kepada seluruh Uleebalang dan rakyat Aceh. Maklumat itu disampaikan oleh Wakil Panglima Perang Said Abdulah tanggal 1 Muharram 1290 H (1873 M). Maklumat itu berjudul “Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Holanda.”
Maklumat tersebut dicatat dalam sarakata nasehat kerajaan Berikut Isinya:
“ Bismillahir Rahmaanir Rahiim. Bahwa hamba memberi nasehati tuan-tuan atas nama Kerajaan Aceh beserta ahli waris kerajaan, dengan alim ulama dan rakyat Aceh khususnya, dan rakyat bawah angin umumnya.
"Wahai tuan-tuan sekalian, hamba memberi perintah hari ini, bahwa sekalian tuan-tuan kita semuanya, bersiap siap dengan apa senjata saja yang ada pada kita masing-masing, karena kita semuanya akan menghadap bahaya maut yaitu dua perkara: pertama menang, kedua syahid, Ketiga tidak ada sekali-kali yaitu menyerah kalah kepada Holanda.
Ingatlah tuan-tuan, di sini hamba beri pernyataan dengan sahih sah muktamad, bahwa bangsa Holanda sudah duaratus limapuluh tahun menjajah negeri bawah angin di luar kita Aceh, sejengkal tanah Aceh jangan kita beri kepada musuh kita bersama, yaitu Holanda.
Maka barang siapa yang menyerah kepada Holanda dengan sebab tidak ada masyakkah, maka Holandalah ia. Maka orang seperti itu telah menjadi musuh Allah dan musuh Rasul dan musuh negeri dan musuh kerajaan. Maka tiap-tiap musuh seperti yang hamba sebut itu walau siapa-siapa, berhak kita bunuh sidurhaka itu, jangan kita sayang pada sibangsat itu. Kalau kita sayang pada sibangsat itu, negeri kita Aceh alamat binasa, sengsara, huruhara.
Bersatulah kita semuanya, melawan Holanda bangsa barat yang hendak merebut menjajah negeri kita Aceh. Jangan tuan-tuan ngeri dan takut, kita orang Islam wajib berperang melawan musuh dengan apa senjata yang ada pada kita masing-masing.
Maka barang siapa yang tuan-tuan dan hulubalang-hulubalang memihak berdiri kepada Holanda dengan sengaja, yang tidak ada masyakkah, maka Insya Allah Ta’ala akan datang pada suatu zaman yang kebili keubilui anak cucu tuan-tuan muntah darah dan dimandikan dengan darah oleh rakyat sendiri masing-masing, walau besar walau kecil.
Ingatlah wahai sekalian tuan-tuan Hulubalang yang khadam negeri, mulai dahulu sampai sekarang.
Hingga akan datang, bahwa tiap-tiap orang ada jabatan mengurus negeri dan mengurus rakyat, yaitu memelihara rakyat dengan menyuruh makruf dan mencegah mungkar, dan sekalian rakyat jangan tuan-tuan perbudakkan, dan sekalian rakyat bukan buat tuan-tuan hulubalang, tapi tuan-tuan yang hulubalang semuanya, timur barat tunong baroh, buat rakyat, yaitu menjaga mengurus dengan sempurna, supaya rakyat cinta kasih lahir batin pada sekalian tuan-tuan.
Wahai sekalian tuan-tuan, bahwa rakyat itu seperti air sungai yang sangat luas lagi dalam, dan pucuknya dalam rimba gunung yang bercabang-cabang. Jika satu kali turun hujan besar, semua turun air ke dalam sungai, maka jadi banjirlah mengamuk air ke mana-mana, maka binasalah sekalian tanaman, apa-apa yang ada semuanya sudah tenggelam dengan air…”
Cucuku Keumalahayati, begitu tegas dan patriotiknya isi sumpah dan maklumat itu. Kabinet perang menyerukan semangat jihat fi sabilillah untuk melawan Belanda. Pun juga cucuku, kabinet perang menegaskan kepada para uleebalang agar tetap bersama rakyat bahu membahu melawan Belanda. Bila ada uleebalang yang memihak Belanda atau membantunya masuk ke Aceh,
Maka uleebalang itu adalah musuh bersama, musuh rakyat Aceh, keturunannya kelak akan kacau balau dan mati bersimbah darah bila ingkar terhadap sumpah kerajaan dan mangkir dari kewajiban jihat melawan Belanda. Ini pula yang kelak terjadi cucuku, yang membuat Aceh tak pernah aman dari konflik.
Setelah maklumat kabinet perang itu disampaikan ke seluruh pelosok negeri, rakyat berduyun-duyun menuju pantai untuk menghadapi kedatangan Belanda. Para panglima perang di setiap wilayah menyiapkan kader-kadernya untuk menghadapi ancaman perang dari Belanda. Para pemuda direkrut dan dengan suka rela memperkuat barisan tentara kerajaan. Dalam tempo singkat angkatan perang Aceh bertambah banyak. Dan perang besar tak lama lagi memang akan terjadi, perang yang memberi tamparan bagi kecongkakan Belanda.
Pada pada Senin 10 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi) Sultan Alaiddin Mahmud Syah kembali memimpin musyawarah penting di dalam mesjid Istana Baiturrahim. Musyawarah itu dihadiri oleh para uleebalang dan para panglima. Dalam musyawarah tersebut sultan menjelaskan bahwa keadaan Aceh sudah sangat genting, surat menyurat dengan pemerintah Hindia Belanda semakin tegang. Mungkin dalam satu dua bulan ke depan Belanda akan menyerang Aceh.
Mendapat penjelasan seperti itu, maka para uleebalang dan para panglima diminta untuk mempersiapkan pasukan di wilayah masing-masing untuk menghadapi serangan Belanda yang sewaktu-waktu bisa datang untuk memerangi Aceh. Perang yang akan digelorakan kali ini bukanlah sembarangan perang cucuku, perang kali ini adalah perang demi martabat Aceh. Ini resmi perang kerajaan yang ditandai dengan surat Sulthan Alaiddin Mahmud Syah yang berisi perintah untuk melawan Belanda.
Surat perintah itu dikeluarkan pada 1 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi) setelah melantik kabinet perang yang dikepalai oleh Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Aceh.
Sultan menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari ancaman perang oleh Belanda. Ia pun memberi penjelasan tentang hal itu kepada kabinet perang bentukannya. Setelah penjelasan itu diberikan, maka Wazir Rama Setia/ Wakil Panglima Besar, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan surat perintah yang berisi pemberitahuan kepada uleebalang seluruh Aceh untuk menjaga pantai Aceh dari serangan Belanda, mulai dari Kuala Gigieng dan Ladong, Kampung Pande Meunasah Kandang, Kuta Reuntang, Kuta Aceh, Pante Pirak, Babah Krueng dari Beurawe dan Gunung Kesumba.
“Tiap tempat tersebut jangan tuan-tuan tinggalkan. Kalau tuan tinggalkan tempat tersebut, salah satu tempat itu, maka musuh Holanda senang saja menyerang kita Aceh,” Perintah Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Dalam surat itu Sultan juga meminta kepada rakyat Aceh untuk saling bantu membantu dalam usaha melawan Belanda yang akan menyerang Aceh.
“Jangan tuan-tuan berkhianat kepada Agama Islam, durhaka kepada Allah dan Rasul, durhaka kepada kerajaan dan tidak setia kepada neger dan bangsa,” lanjut Sultan dalam suratnya. Sultan juga memerintahkan untuk menghukum mati siapa saja yang memihak atau membantu Belanda (Holanda) dalam usahanya untuk menaklukkan Aceh.
Kemudian cucuku, setelah memastikan bahwa Belanda akan benar-benar menyerang Aceh, maka Sulthan kembali mengadakan musyawarah besar di Mesjid Baiturrahman yang terletak di tengah-tengah ibu kota kerajaan Aceh. Hadir dalam musyawarah itu para ulama besar seluruh Aceh, para uleebalang, para panglima, para imam, para imum mukim, keujruen dan pembesar kerajaan lainnya.
Setelah Sulthan mejelaskan bahwa kerajaan telah bertekat bulat tidak akan tunduk pada Belanda, maka Wazir Rama Setia yang merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan sarakata pernyataan perang. Sarakata tersebut bertanggal Kamis 20 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi).
Salah satu bagian isi sarakata tersebut adalah:
“…Dan sampaikan amanah hamba kepada seluruh rakyat Aceh, timu barat, tunong baroh, tuha muda, kaya dan miskin hendaklah melawan Holanda, jangan berhenti-henti dengan apa saja, yaitu perkataan, perbuatan, senjata, khusus rakyat Aceh dan umumnya rakyat bawah angin, jangan takut, jangan ngeri. Kita berperang dua menghadap maut, yaitu syahid, kedua menang, ketiga tidak ada sekali-kali yaitu kalah dengan menyerah diri kepada Holanda…”
Pada bagian surat lainnya Sultan Aceh kembali meminta dengan tegas agar terus melawan Belanda dan tidak pernah tunduk apalagi menyerah kepada Belanda.
“…Maka itulah wahai sekalian hulubalang Pidie semuanya, dan sekalian hulubalang Pase semuanya, Aceh Timu semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Tengah semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya, datok dan keujruen dan sekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut, hendaklah pada sekalian tuan-tuan mengikuti menurut melawan Holanda berganti-ganti sehingga berhenti Holanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya…”
Cucuku Keumalahayati, dari surat-surat yang dikelurakan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah itu jelas bahwa kerajaan Aceh telah mengadakan persiapan yang matang untuk menghadapi Belanda. Rakyat Aceh diajak untuk menyumbangkan harta benda, tenaga dan nyawa untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh. Untuk memberikan contoh pada rakyat, maka para petinggi Kerajaan Aceh terlebih dahulu menyumbangkan hartanya untuk digunakan dalam perang melawan Belanda.
Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk biaya perang. Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 Hijriah (1873 Masehi) dan dicatat dalam sarakata risalah sedekah bertulis tangan huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh.
Oleh Iskandar Norman may 16, 2011.