Oleh: Azhari
Setiap tahun, ribuan mahasiswa diwisuda dengan gegap gempita. Jas almamater dilepas, toga dikibarkan, air mata haru bercampur kebanggaan orang tua. Gelar sarjana resmi disandang, seakan-akan dunia telah terbuka lebar. Namun tak sedikit dari cahaya kebanggaan itu perlahan redup, terbenam di balik antrean panjang lowongan kerja, pengumuman CPNS yang tak kunjung tiba, atau perusahaan yang tak lagi peduli asal almamater.
Di negeri ini, ada kekeliruan besar yang masih diwariskan dari generasi ke generasi: anggapan bahwa kuliah adalah tiket pasti menuju pekerjaan mapan. Bahwa nilai IPK tinggi, status kampus negeri favorit, hingga gelar sarjana adalah kunci pembuka pintu sukses. Padahal, realitasnya tak selalu demikian.
Ketika Ijazah Tak Menjamin Meja Kerja
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2024 masih didominasi oleh lulusan SMA dan perguruan tinggi. Artinya, gelar sarjana tak otomatis membuat seseorang lebih mudah mendapat pekerjaan. Sebagian bahkan harus rela bekerja di bidang yang jauh dari jurusan atau menjadi buruh di negeri orang.
Aceh, yang setiap tahunnya melahirkan ribuan sarjana dari berbagai kampus, menghadapi situasi yang sama. Peluang kerja terbatas, lapangan usaha lesu, dan minimnya industri kreatif membuat banyak lulusan akhirnya terjebak dalam dua pilihan: merantau atau menganggur. Akibatnya, cahaya sarjana itu perlahan memudar. Harapan yang dulu bersinar di awal kampus, meredup oleh tekanan realita.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena pendidikan kita selama ini lebih menekankan pada formalitas gelar daripada kompetensi. Mahasiswa didorong untuk lulus cepat, mengejar nilai, bukan membangun keahlian. Padahal, dunia kerja hari ini lebih mencari orang yang bisa bekerja, bukan sekadar bergelar.
Kuliah Bukan Tentang Gelar, Tapi Tentang Daya Juang
Di sinilah letak masalah besarnya. Kita terlalu lama menganggap pendidikan hanya soal ijazah. Mahasiswa tidak diajarkan menghadapi ketidakpastian dunia setelah kuliah. Mereka dibentuk menjadi pencari kerja, bukan pencipta kerja. Akibatnya, ketika pekerjaan tak kunjung datang, mental ambruk. Rasa minder muncul. Lulusan sarjana merasa gagal, padahal yang salah adalah sistem berpikirnya.
Kuliah seharusnya menjadi ruang belajar membangun karakter, ketangguhan, kreativitas, dan kemampuan adaptasi. Bukan sekadar ruang menumpuk teori. Gelar sarjana hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Banyak orang sukses bukan karena gelarnya, tapi karena keberanian, kegigihan, dan kerja keras yang mereka jalani selepas kampus.
Sarjana, Jangan Menunggu Nasib
Hari ini, lapangan kerja formal makin sempit. Jika sarjana hanya berharap dipanggil menjadi pegawai negeri atau karyawan perusahaan besar, maka selamanya akan menjadi korban sistem. Dunia tidak lagi menanyakan kamu lulusan mana, tapi apa yang bisa kamu lakukan.
Kita butuh lebih banyak anak muda Aceh yang berani menciptakan usaha, yang tak gengsi memulai dari bawah, yang menjadikan gelarnya sebagai kekuatan membangun lingkungan sekitar. Aceh butuh lulusan yang berani kembali ke desa, membangun koperasi, mendirikan komunitas literasi, mengembangkan ekonomi kreatif, dan memanfaatkan potensi lokal.
Jangan jadikan gelar sarjana hanya sebagai kebanggaan keluarga, tapi buat itu berarti untuk masyarakat. Karena cahaya sejati bukan dari toga, tapi dari apa yang bisa kamu berikan.
Perlu Redefinisi Makna Sarjana
Kini, saatnya mereformasi cara pandang kita. Sarjana bukan berarti seseorang yang lebih tinggi derajatnya, tapi seseorang yang lebih luas ilmunya dan lebih besar tanggung jawabnya. Karena pendidikan bukan soal titel, tapi soal dampak.
Banyak orang besar di dunia yang sukses tanpa gelar akademik, tapi tidak sedikit pula orang gagal meski gelarnya bertumpuk. Jadi yang menentukan bukan ijazahmu, tapi kemampuanmu membaca peluang, menciptakan jalan, dan bermanfaat untuk sekitar.
Penutup: Cahaya Tak Pernah Redup Bagi yang Bermanfaat
Bagi para sarjana muda, jangan redup hanya karena lowongan kerja tak kunjung datang. Dunia luas, peluang ada di mana-mana. Jika tak ada pintu yang terbuka, buatlah pintumu sendiri. Jika tak diterima di perusahaan besar, jadilah pengusaha kecil yang berkembang. Jika tak jadi PNS, jadilah warga sipil yang memberi kontribusi.
Karena cahaya sarjana tak pernah redup bagi mereka yang terus bergerak, terus belajar, dan terus memberi arti. Jangan biarkan gelar hanya jadi pajangan. Jadikan itu alat perubahan. Karena sejarah tak mencatat berapa banyak gelarmu, tapi berapa banyak manfaatmu.