Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dari Kemegahan ke Integrasi: Runtuhnya Kesultanan Aceh dan Lahirnya Sebuah Kenyataan Baru"

Sabtu, 19 April 2025 | 09:37 WIB Last Updated 2025-04-19T02:43:41Z


Oleh: Azhari 


Ketika Sebuah Peradaban Bertransformasi

Kesultanan Aceh Darussalam bukan sekadar kerajaan. Ia adalah lambang kemegahan Islam di Asia Tenggara, mercusuar ilmu pengetahuan, perdagangan, diplomasi, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Namun sejarah mencatat bahwa kerajaan ini mengalami kehancuran, dan wilayahnya kini menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses menuju perubahan ini bukan peristiwa sekejap, tetapi hasil dari akumulasi dinamika internal, intervensi eksternal, dan tarik ulur kekuasaan yang panjang. Artikel ini mencoba mengurai simpul-simpul sejarah tersebut untuk menjawab satu pertanyaan mendasar: Mengapa dan bagaimana Kesultanan Aceh bisa runtuh dan kemudian menjadi bagian dari Indonesia?


1. Era Kejayaan: Aceh sebagai Pusat Dunia Melayu-Islam

Aceh mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Di masa inilah Aceh menjadi kerajaan terkuat di kawasan barat Nusantara, menyaingi Malaka yang telah dikuasai Portugis. Aceh membangun armada laut, menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani, Inggris, dan Belanda, serta menjadi pusat keilmuan Islam. Para ulama seperti Syekh Abdurrauf Singkil (Syiah Kuala) dan Hamzah Fansuri menulis karya-karya penting yang menjadi rujukan dunia Melayu-Islam.

Namun seperti banyak kekuatan besar dalam sejarah, kejayaan ini menyimpan benih kerentanan. Kesultanan Aceh terlalu bergantung pada kharisma dan kemampuan individu sultan, tanpa membangun sistem pemerintahan yang stabil dan institusional. Setelah Iskandar Muda wafat, Aceh mulai dilanda konflik internal.


2. Retakan Internal: Uleebalang, Ulama, dan Lemahnya Suksesi

Seiring waktu, hubungan antara sultan dan para uleebalang (pemimpin lokal) mulai retak. Para uleebalang yang semula adalah pelaksana kekuasaan sultan, perlahan merasa memiliki kedaulatan atas wilayah masing-masing. Sistem pemerintahan menjadi feodal. Di sisi lain, ulama memainkan peran penting dalam legitimasi kekuasaan sultan. Namun dualisme ini menjadi dilema ketika muncul konflik antara kepentingan politik dan moralitas agama.

Pergantian sultan tidak lagi berdasarkan kelayakan atau kompetensi, melainkan hasil perebutan kekuasaan, bahkan intervensi luar. Dalam abad ke-18 dan 19, pergolakan istana terjadi hampir terus-menerus. Sultan bisa digulingkan oleh uleebalang, dan banyak dari mereka menjadi boneka elite lokal. Ini memperlemah pusat kekuasaan Kesultanan dan membuka celah bagi kolonialisme untuk masuk lebih dalam.


3. Belanda Menyusup: Strategi Snouck Hurgronje dan Pecah Belah Aceh

Ketika Belanda merasa bahwa Aceh adalah hambatan utama dalam menguasai seluruh Nusantara, mereka mengumumkan perang terhadap Aceh pada tahun 1873. Namun perlawanan rakyat Aceh jauh lebih keras dari yang mereka perkirakan. Meski istana istana kerajaan bisa direbut, perlawanan rakyat tidak pernah padam.

Kebuntuan inilah yang memunculkan nama Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang menyamar sebagai Muslim dan tinggal di Aceh serta Mekah untuk mempelajari Islam dan budaya lokal. Ia menyusun strategi jitu: pisahkan antara kelompok ulama (yang fanatik terhadap jihad) dan kelompok uleebalang (yang bisa dijinakkan dengan kekuasaan dan uang).

Snouck menyarankan Belanda untuk:

  • Menumpas ulama yang memimpin perang gerilya atas nama agama.
  • Mendekati dan memberi kekuasaan kepada para uleebalang lokal.
  • Membuat sistem pemerintahan adat yang pro-Belanda namun diberi label “Islam” agar diterima rakyat.

Strategi ini berhasil. Uleebalang banyak yang bekerja sama demi kelangsungan kekuasaan mereka. Ulama yang masih bertahan memilih hutan dan gunung sebagai medan perang. Pada tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah dan dibuang ke Batavia. Secara formal, Kesultanan Aceh berakhir. Namun, semangat perlawanan rakyat tidak mati, hanya berganti wajah.


4. Aceh dalam Republik: Antara Janji dan Kekecewaan

Saat Indonesia merdeka tahun 1945, Aceh menjadi wilayah yang secara eksplisit mendukung kemerdekaan. Aceh bahkan menjadi provinsi yang menyumbang pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang menjadi cikal bakal maskapai Garuda Indonesia. Ulama Aceh seperti Tgk. Daud Beureueh berperan penting dalam struktur awal Republik.

Namun kekecewaan muncul ketika janji-janji pusat tidak ditepati. Aceh yang awalnya dijanjikan otonomi dan hak menjalankan syariat Islam, justru dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pusat juga mencabut status provinsi Aceh pada 1950. Kekecewaan ini memunculkan pemberontakan DI/TII (Darul Islam) di bawah Tgk. Daud Beureueh tahun 1953, yang menuntut pembentukan negara Islam dan kembalinya marwah Aceh.

Pemberontakan ini baru selesai tahun 1962 setelah negosiasi yang berujung pada pengakuan status Aceh sebagai daerah istimewa dengan otonomi terbatas.


5. Gerakan Aceh Merdeka dan Modernisasi Identitas Politik Aceh

Namun, gejolak tak berhenti. Ketimpangan ekonomi, eksploitasi sumber daya alam oleh pusat, dan minimnya peran rakyat Aceh dalam pengelolaan daerahnya, mendorong munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro pada tahun 1976. GAM membawa narasi bahwa Aceh adalah bangsa tersendiri yang diduduki secara ilegal oleh Indonesia. Mereka merujuk pada fakta bahwa Kesultanan Aceh tidak pernah menandatangani perjanjian penyerahan kedaulatan kepada Belanda, apalagi Indonesia.

Konflik ini berlangsung puluhan tahun, menimbulkan korban ribuan jiwa, pengungsian massal, dan trauma kolektif. Baru setelah tsunami 2004 dan munculnya momentum damai, Aceh dan pemerintah Indonesia menandatangani Perjanjian Helsinki tahun 2005 yang memberi otonomi luas kepada Aceh, termasuk hak membentuk partai lokal dan menerapkan syariat Islam.


6. Penutup: Menata Ulang Sejarah dan Masa Depan

Sejarah menunjukkan bahwa runtuhnya Kesultanan Aceh adalah hasil dari dua kekuatan besar: perpecahan internal dan kolonialisme eksternal. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana rakyat Aceh terus menjaga identitas, kehormatan, dan semangat perjuangan mereka meski kerajaan sudah tiada.

Kini, Aceh adalah bagian dari NKRI dengan status otonomi khusus. Namun Aceh juga punya tantangan besar: bagaimana menyatukan kembali semangat kesultanan dalam bentuk tata kelola modern yang bersih, adil, dan berpihak pada rakyat. Para pemimpin lokal harus belajar dari sejarah bahwa kekuasaan yang egois hanya akan melahirkan kehancuran. Sebaliknya, solidaritas, ilmu, dan keberanian berpihak pada kebenaran adalah kunci kejayaan—dulu dan sekarang.


Catatan Akhir: Artikel ini bukan sekadar refleksi masa lalu, tetapi undangan untuk menatap masa depan. Aceh telah melalui banyak babak sejarah: dari kerajaan besar, tanah konflik, hingga provinsi perdamaian. Kini saatnya menulis babak baru dengan tinta kebijaksanaan dan pena yang tidak lagi dipenuhi amarah, melainkan visi dan cinta pada tanah sendiri.