Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Gentayangan Kehidupan Sejarah yang Terlupakan oleh Generasi Aceh

Kamis, 24 April 2025 | 21:35 WIB Last Updated 2025-04-24T14:35:18Z

.



Oleh: Azhari 

Ada yang gentayangan di tanah ini.
Bukan hantu, bukan pula bayang gaib tanpa rupa. Tapi ia hadir di setiap sudut kampung, di makam-makam tua yang tak lagi diziarahi, di nisan-nisan batu bersurat Arab Jawi yang mulai ditelan lumut, dan di manuskrip tua yang berdebu di rak tanpa tangan pembaca. Itulah sejarah Aceh yang gentayangan — tak diingat, tak dihiraukan, dan pelan-pelan ditinggalkan generasinya.

Dahulu, Aceh adalah bangsa besar. Negeri yang disegani seantero Nusantara dan Asia Tenggara. Negeri yang pernah menjalin hubungan erat dengan Turki Utsmani, Makkah, dan India. Negeri yang mencetak ulama-ulama agung, panglima perang, diplomat tangguh, dan penguasa cerdas.

Tapi kini, siapa yang benar-benar tahu kisahnya?
Siapa yang peduli bahwa di Langsa pernah berdiri pelabuhan dagang terbesar wilayah timur? Bahwa di Banda Aceh dulunya berkibar Alam Peudeung, bendera Aceh yang dikirim langsung oleh Sultan Turki? Bahwa di Seulimum pernah ada pertempuran besar yang memakan ratusan syuhada, melawan kolonial Belanda?

Anak-anak muda lebih akrab dengan nama influencer daripada nama pahlawan Aceh. Lebih hafal lirik lagu viral daripada syair Hikayat Prang Sabi. Di media sosial, generasi Aceh kini lebih sering membincang tren TikTok daripada kisah perjuangan Cut Nyak Dhien atau Teungku Chik di Tiro.

Sejarah Aceh kini gentayangan.
Berjalan tanpa arah, tanpa generasi yang sudi membawanya kembali ke rumah akal. Ia terlunta di ruang sunyi, dibicarakan hanya di seminar formal atau di atas kertas skripsi yang tak pernah dibaca setelah wisuda.

Padahal, sebuah bangsa yang lupa sejarahnya tak ubahnya pohon tanpa akar. Ia akan roboh, rapuh diterpa angin zaman, dan mudah dipatahkan oleh ideologi asing yang terus menyusup.

Hari ini kita menyaksikan itu. Aceh dibanjiri budaya luar, nilai-nilai lokal terkikis. Bahasa Aceh di kota-kota besar mulai jarang terdengar. Hari peringatan sejarah hanya jadi rutinitas seremoni tanpa makna. Bahkan sebagian elite pun, lebih sibuk merancang politik transaksional daripada membangun narasi kebesaran bangsa Aceh di masa depan.

Lantas, siapa yang akan menyelamatkan sejarah Aceh?

Jawabannya sederhana: generasi mudanya.
Mereka yang hari ini masih semangat bersuara di jalanan, yang kreatif di ruang digital, dan yang haus makna di balik deru kehidupan. Mereka yang sadar bahwa identitas bukan hanya soal nama dan pakaian adat saat pernikahan, tapi soal warisan nilai yang harus terus hidup.

Generasi Aceh hari ini tak boleh puas menjadi penonton sejarah. Kita tak cukup hanya mengenang Aceh masa lalu sebagai negeri Serambi Makkah tanpa menjaga makna spiritual dan peradabannya. Tak cukup bangga Aceh pernah memiliki Sultan Iskandar Muda, tanpa meneladani keberaniannya menolak tunduk pada penjajahan.

Sejarah bukan kuburan.
Ia hidup dalam darah kita, dalam napas kita, dalam keberanian kita untuk bicara kebenaran. Jika tidak, sejarah akan gentayangan menjadi hantu peradaban yang terus mengingatkan kita bahwa dulu Aceh pernah besar, sebelum generasinya melupakannya.

Waktunya kini: bangkit, baca kembali sejarah, hidupkan hikayat, tuliskan kisah-kisah leluhur, dan jadikan itu kompas menavigasi Aceh di masa depan.
Jangan biarkan sejarah Aceh hanya jadi cerita basi di ruang tamu orang tua.


Penutup

Jangan tunggu sejarah benar-benar mati. Karena jika itu terjadi, yang mati bukan hanya kisah, tapi harga diri satu bangsa. Aceh bukan warisan untuk dibanggakan di masa lalu, melainkan tugas besar untuk dijaga di masa kini dan diwariskan dengan utuh di masa depan.

Salam dari tanah para syuhada.