Di saat dunia sibuk mengejar gelar dan harta, ada sekelompok anak muda yang memilih jalannya sendiri — menjadi santri. Hidup sederhana di balik pagar dayah (pesantren), jauh dari gemerlap kota, mereka justru menemukan keindahan yang tak bisa dibeli: keikhlasan belajar, ketenangan hati, dan barakah dari ilmu.
Indahnya jadi santri bukan karena mewahnya fasilitas, tapi karena ketulusan hati saat mengaji. Di pagi buta, suara azan membangunkan mereka. Di malam gelap, ayat-ayat Al-Qur’an mengiringi tidur. Hidup di dayah mengajarkan santri arti sabar, ikhlas, dan sederhana — sesuatu yang mulai langka di zaman ini.
Pelajaran yang Tak Ditulis di Buku
Jadi santri bukan cuma soal menghafal kitab kuning atau belajar nahwu sharaf. Tapi tentang membangun akhlak, belajar bersyukur dengan yang sedikit, memahami makna hidup, dan menghargai keberagaman. Di dayah, seorang anak petani, anak nelayan, anak pejabat — duduk sejajar tanpa kasta. Semua disatukan oleh ilmu dan adab.
Indahnya jadi santri adalah saat kita merasakan bahwa keberhasilan bukan diukur dari nilai rapor, tapi dari akhlak di hadapan guru.
Saat sebutir nasi yang jatuh di piring pun kita pungut karena itu bagian dari adab makan.
Saat air wudhu yang tercecer di lantai pun kita lap, karena itu bagian dari menjaga kebersihan hati.
Kebersamaan yang Tak Terlupakan
Tak ada yang lebih indah selain tawa lepas di dapur umum, cerita lucu di bawah pohon, saling bantu saat sakit, dan berbagi lauk sederhana saat sahur bersama. Di dayah, teman adalah saudara, guru adalah orang tua, dan ilmu adalah bekal seumur hidup.
Santri: Cahaya di Zaman yang Gelap
Di tengah dunia yang makin lupa adab, santri adalah cahaya kecil yang terus menyala. Mereka yang diam-diam mendoakan negeri, menjaga ilmu warisan ulama, dan kelak menjadi pemimpin yang lahir dari ketulusan, bukan ambisi.
Karena indahnya jadi santri adalah ketika kita bisa hidup sederhana, belajar sungguh-sungguh, dan yakin bahwa rezeki dan kemuliaan datang dari Allah, bukan dari popularitas.