Oleh: Azhari
Aceh, yang selama ini dikenal sebagai “Serambi Mekkah”, kini tercoreng oleh berita yang memilukan: maraknya kasus pencabulan anak di bawah umur oleh sosok yang seharusnya menjadi pelindung—kakek. Fenomena ini bukan hanya kejahatan seksual, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai adat, moralitas Islam, dan kemanusiaan.
Di tengah gemuruh pembangunan dan gegap gempita dakwah di masjid-masjid, ada realitas senyap yang menjerit: tubuh-tubuh kecil yang ternoda, trauma anak-anak yang dihancurkan oleh orang yang seharusnya mereka panggil “teungku, abu, atau tok wan.”
Apakah yang salah hanya pelaku? Ataukah kita semua telah lalai membiarkan adat dan moral tercerabut dari akarnya?
Anak sebagai Amanah, Kakek sebagai Simbol Hikmah
Dalam masyarakat Aceh tradisional, kakek adalah simbol kebijaksanaan. Ia penjaga adat, pelindung keluarga, dan penghubung generasi. Ia menjadi tempat anak-anak berlindung, bukan ditakuti. Maka ketika seorang kakek mencabuli cucunya atau anak-anak tetangga, yang rusak bukan hanya tubuh korban, tapi juga tatanan nilai yang diwariskan turun-temurun.
Dalam Islam, anak adalah amanah. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” Lalu apa jadinya jika pemimpin di dalam rumah justru menjadi pemangsa?
Moral yang Hilang, Adat yang Terlupakan
Aceh memiliki hukum adat dan syariat Islam. Tapi sayangnya, banyak komunitas yang secara kasat mata tampak Islami, namun di dalamnya retak secara moral. Ada celah antara hukum formal dan pembinaan mental. Anak-anak menjadi korban karena sistem keluarga telah menjadi longgar, pengawasan sosial tumpul, dan kontrol adat hanya tinggal seremoni.
Padahal dalam adat Aceh, pelaku cabul disebut sebagai “pote han bak adat” (manusia yang tak layak disebut beradat). Dahulu, masyarakat bisa menjatuhkan sanksi moral dan adat: dikucilkan, dipermalukan di meunasah, bahkan dikeluarkan dari kampung. Hari ini, pelaku sering malah dilindungi, dibela oleh keluarga, bahkan korban disuruh diam demi nama baik.
Solusi: Menyulam Ulang Adat dan Moral
Revitalisasi Lembaga Adat Gampong: Harus ada penguatan kembali peran tuha peut dan imam meunasah sebagai pengawal moral masyarakat. Jangan biarkan kasus pencabulan diselesaikan diam-diam. Harus ada pendekatan adat yang tegas, transparan, dan berpihak pada korban.
Pendidikan Seksual dan Moral di Dayah dan Sekolah: Anak-anak harus dibekali dengan pendidikan tentang tubuh, hak, dan perlindungan diri. Pendidikan seksual bukan pornografi, melainkan perlindungan. Dayah dan sekolah mesti diberi kurikulum yang menanamkan kesadaran diri sejak dini.
Penguatan Peran Perempuan dan Ibu dalam Rumah Tangga: Perempuan adalah benteng pertama penjaga anak. Namun mereka juga sering dilemahkan. Pemerintah dan ulama perlu bersinergi memberdayakan perempuan agar berani bersuara ketika melihat tanda-tanda pelecehan.
Kampanye Sosial dan Dakwah yang Pro-Korban: Media, tokoh agama, dan influencer Aceh harus bersatu menyuarakan keberpihakan kepada korban, bukan sekadar mengecam pelaku. Ini soal membangun budaya baru: budaya melawan pelecehan dengan nurani, bukan hanya dengan dalil.
Qanun Perlindungan Anak Berbasis Adat dan Syariat: Saatnya Aceh merancang Qanun Perlindungan Anak yang tegas, dengan kombinasi pendekatan hukum, adat, dan syariat. Pelaku yang melibatkan hubungan keluarga harus dihukum lebih berat, karena selain kejahatan, mereka juga melakukan pengkhianatan sosial.
Penutup: Kita Semua Bertanggung Jawab
Pelecehan terhadap anak bukan hanya salah pelaku, tapi juga dosa kolektif masyarakat yang lalai. Jika adat hanya kita simpan di museum, jika moral hanya jadi slogan khutbah Jumat, maka jangan heran jika kejahatan semakin merajalela dari balik sarung dan janggut panjang.
Aceh harus kembali kepada jati dirinya: masyarakat yang menjaga marwah anak-anak, menjunjung tinggi perempuan, dan memuliakan keluarga. Jangan biarkan anak-anak tumbuh dalam ketakutan. Jangan biarkan kakek menjadi monster di balik doa.
Maka mari kita kembalikan fungsi rumah, dayah, meunasah, dan media sebagai benteng moral. Sebab bila anak-anak tidak lagi aman dalam pangkuan keluarganya sendiri, maka negeri ini sedang berada di ujung krisis yang lebih dalam dari sekadar statistik.