Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Masa Jabatan Kepala Desa di Aceh: 6 Tahun atau 8 Tahun, Mana yang Lebih Baik?

Sabtu, 26 April 2025 | 19:15 WIB Last Updated 2025-04-26T12:15:34Z





Oleh: Azhari

Perdebatan tentang masa jabatan kepala desa (keuchik) di Aceh kembali mengemuka seiring revisi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang tengah dibahas di tingkat nasional. Salah satu isu sentralnya adalah soal perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun. Isu ini menimbulkan pro-kontra di banyak daerah, termasuk di Aceh yang memiliki kekhususan melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Sebagai entitas pemerintahan terendah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, posisi keuchik di Aceh bukan sekadar jabatan administratif, melainkan juga simbol adat, ulama, dan tokoh masyarakat. Karena itu, perubahan masa jabatan ini mesti dianalisis secara hukum, sosial, dan moral. Apakah masa jabatan 8 tahun benar-benar memberikan manfaat, atau justru bisa menjadi petaka?

Dasar Hukum dan Kekhususan Aceh

Secara nasional, pengaturan tentang desa diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 39 ayat (1) disebutkan, kepala desa memegang jabatan selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali paling banyak tiga kali masa jabatan. Namun, Aceh memiliki kekhususan melalui UUPA, di mana dalam Pasal 114 ayat (1) disebutkan: “Pemerintah gampong dipimpin oleh seorang keuchik yang dipilih oleh penduduk gampong untuk masa jabatan enam tahun.”

Meski demikian, Aceh tetap mengikuti koridor hukum nasional dalam pengaturan teknis soal desa, kecuali bila ada Qanun Aceh yang secara khusus mengatur berbeda, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Artinya, perubahan masa jabatan kepala desa secara nasional, jika diakomodir dalam UU Desa hasil revisi nanti, secara prinsip juga akan berlaku di Aceh, kecuali Aceh membuat Qanun tersendiri yang mengatur secara berbeda dengan memanfaatkan kekhususan kewenangannya.

Manfaat dan Kelebihan Masa Jabatan 8 Tahun

Jika masa jabatan keuchik diperpanjang menjadi 8 tahun, ada beberapa manfaat yang patut dipertimbangkan:

  1. Stabilitas Pemerintahan Desa
    Pemerintahan desa seringkali menghadapi tantangan transisi kepemimpinan yang berdekatan. Dengan 8 tahun, seorang keuchik memiliki waktu yang cukup untuk menyusun, menerapkan, dan mengevaluasi program-program desa secara berkesinambungan.

  2. Efisiensi Anggaran Pilchiksung (Pemilihan Keuchik Secara Langsung)
    Pilkades serentak membutuhkan biaya besar, baik dari APBK maupun APBG. Dengan memperpanjang masa jabatan, intensitas penyelenggaraan pilchiksung bisa dikurangi, sehingga anggaran bisa dialihkan ke sektor pembangunan.

  3. Konsolidasi Program Jangka Panjang
    Banyak program pembangunan desa, terutama yang berbasis dana desa, memerlukan waktu lebih dari 6 tahun untuk benar-benar membuahkan hasil. Masa jabatan 8 tahun memungkinkan keuchik menjalankan program jangka menengah tanpa terburu-buru karena kekhawatiran masa jabatan habis.

  4. Meningkatkan Kapasitas Kepemimpinan
    Dengan periode lebih panjang, keuchik bisa lebih fokus meningkatkan kompetensi, memperkuat jejaring, dan mematangkan tata kelola pemerintahan desa.

Potensi Petaka dan Bahaya Masa Jabatan 8 Tahun

Namun, di balik manfaat itu, terdapat pula sejumlah potensi persoalan yang tidak bisa diabaikan:

  1. Potensi Otoritarianisme Lokal
    Masa jabatan terlalu lama berisiko memunculkan perilaku otoriter di tingkat desa. Ketika kekuasaan dipegang terlalu lama tanpa pengawasan efektif, potensi penyalahgunaan kewenangan dan praktik nepotisme bisa meningkat.

  2. Menghambat Regenerasi Kepemimpinan
    Dengan 8 tahun, peluang kaderisasi kepemimpinan di tingkat desa menjadi lebih sempit. Padahal regenerasi penting untuk melahirkan pemimpin muda yang memiliki gagasan segar dan mampu membaca kebutuhan generasi baru.

  3. Rawan Konflik Sosial
    Perpanjangan masa jabatan tanpa persetujuan mayoritas warga bisa memicu ketegangan sosial. Terutama di desa-desa dengan sejarah rivalitas politik yang kuat antar kandidat keuchik, masa jabatan panjang bisa jadi pemicu konflik horizontal.

  4. Ketergantungan Warga terhadap Keuchik
    Di beberapa desa, masyarakat cenderung menggantungkan segala keputusan kepada keuchik. Masa jabatan terlalu lama berpotensi membentuk relasi patron-klien yang melemahkan kemandirian masyarakat desa.

Alternatif Solusi: Jalan Tengah

Melihat dua sisi tersebut, sebaiknya Aceh sebagai daerah otonomi khusus mempertimbangkan opsi jalan tengah. Misalnya:

  • Tetap menetapkan masa jabatan 6 tahun, namun memperbaiki sistem pelatihan, evaluasi kinerja, dan pemberdayaan keuchik selama masa jabatan.

  • Atau, jika memilih 8 tahun, harus dibarengi dengan mekanisme kontrol ketat, seperti:

    • Evaluasi tahunan yang transparan.
    • Penilaian kinerja berbasis partisipasi masyarakat.
    • Sanksi tegas bila ada pelanggaran, tanpa menunggu masa jabatan berakhir.

Penutup

Kepala desa adalah ujung tombak pemerintahan, termasuk di Aceh. Karena itu, polemik masa jabatan bukan sekadar soal angka 6 atau 8 tahun, melainkan soal bagaimana menciptakan sistem pemerintahan desa yang sehat, adil, partisipatif, dan bersih.

Aceh memiliki peluang besar memanfaatkan kekhususan UUPA untuk menentukan arah yang paling sesuai dengan kultur lokal. Bukan sekadar mengekor aturan nasional, tapi juga tidak menutup mata terhadap risiko masa jabatan panjang.

Apapun pilihan akhirnya, yang terpenting adalah memastikan bahwa jabatan keuchik tetap menjadi amanah mulia yang digunakan untuk membangun desa, bukan sekadar kursi kekuasaan yang diperpanjang demi kepentingan pribadi.

Karena jabatan bisa diperpanjang, tapi kepercayaan rakyat tak bisa dipaksa.