Oleh: Azhari
Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun bukan sekadar perdebatan administratif. Di balik angka itu tersimpan konsekuensi sosial, politik lokal, dan arah pembangunan desa ke depan. Apalagi di Aceh, di mana struktur kepemimpinan desa (keuchik) memiliki posisi strategis bukan hanya sebagai pemegang jabatan pemerintahan, tapi juga sebagai figur adat dan tokoh masyarakat.
Wacana perpanjangan masa jabatan ini secara nasional memang menjadi agenda revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Banyak kepala desa yang mendukung gagasan ini dengan dalih stabilitas pembangunan. Namun di sisi lain, masyarakat sipil, tokoh adat, dan aktivis antikorupsi mengingatkan tentang ancaman konflik sosial yang bisa muncul di balik jabatan terlalu panjang.
Lantas, benarkah perpanjangan jabatan ke 8 tahun akan lebih membawa manfaat? Ataukah justru membuka potensi petaka sosial?
Antara Harapan Pembangunan dan Realitas Sosial
Alasan yang kerap digunakan untuk mendukung jabatan 8 tahun adalah agar pembangunan desa bisa berjalan lebih stabil dan berkesinambungan. Sebab program-program berbasis dana desa seringkali memerlukan waktu lebih dari enam tahun untuk benar-benar membuahkan hasil. Dengan jabatan 8 tahun, keuchik memiliki cukup waktu untuk menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program prioritasnya.
Selain itu, efisiensi anggaran Pilkades serentak juga jadi dalih kuat. Karena pesta demokrasi desa setiap enam tahun sekali dianggap menguras anggaran dan memicu ketegangan sosial di masyarakat.
Namun faktanya, desa adalah ruang sosial paling kecil sekaligus paling sensitif. Rivalitas politik di desa berbeda dengan di tingkat kabupaten atau nasional. Rivalitas keuchik biasanya berbasis kekerabatan, kelompok adat, atau aliansi sosial yang bersifat personal. Ketika jabatan terlalu lama, potensi konflik bisa meningkat karena:
- Kelompok yang kalah akan menunggu lebih lama untuk merebut kesempatan politik.
- Keuchik yang terlalu lama berkuasa cenderung membangun politik balas budi atau bahkan oligarki lokal.
- Relasi patron-klien menjadi lebih mengakar, sehingga pembangunan menjadi eksklusif, hanya berpihak kepada kelompok pendukung.
Dampaknya, meski pembangunan fisik bisa berjalan, pembangunan sosial bisa terganggu karena ketegangan antar warga yang berlarut-larut.
Potensi Konflik Sosial: Realitas di Lapangan
Banyak kasus di Aceh menunjukkan, Pilchiksung saja sudah kerap memicu konflik antar kelompok warga. Mulai dari saling boikot musyawarah desa, pengerusakan aset desa, hingga penganiayaan. Apalagi jika masa jabatan diperpanjang tanpa persetujuan kolektif masyarakat.
Konflik ini bisa muncul dalam bentuk:
- Boikot program desa oleh kelompok oposisi.
- Aksi demonstrasi warga yang merasa aspirasi mereka tak didengar.
- Fragmentasi sosial antar dusun, bahkan antar keluarga.
- Ketegangan dalam acara adat dan keagamaan yang biasanya melibatkan seluruh warga.
Dalam situasi sosial seperti di Aceh — di mana solidaritas sosial sangat kuat, tapi juga rivalitas antar kelompok bisa tajam — masa jabatan terlalu lama bisa menjadi bahan bakar laten bagi konflik horizontal di desa.
Jabatan Panjang Bukan Jaminan Pembangunan Maju
Sering kali pembangunan desa macet bukan karena masa jabatan terlalu pendek, tapi karena:
- Kapasitas kepemimpinan yang rendah.
- Perencanaan desa yang buruk.
- Minimnya partisipasi masyarakat.
- Praktik korupsi dan politik balas jasa.
Perpanjangan masa jabatan justru bisa membuat keuchik yang lemah dan bermasalah tetap bertahan di kursi kekuasaan lebih lama. Akibatnya, program pembangunan jadi stagnan, bahkan dana desa rawan diselewengkan karena kontrol sosial dan politik lemah.
Alternatif Solusi: Masa Jabatan 6 Tahun dengan Evaluasi Ketat
Solusi terbaik bukan soal memperpanjang atau memperpendek, tapi soal menegakkan akuntabilitas pemerintahan desa. Masa jabatan 6 tahun sudah ideal, asalkan:
- Disertai evaluasi tahunan berbasis partisipasi masyarakat.
- Ada mekanisme muspika atau camat untuk mengevaluasi kinerja keuchik secara objektif.
- Pelatihan kepemimpinan desa ditingkatkan agar para keuchik mampu merancang program jangka menengah yang realistis.
Jika terbukti baik, mereka bisa maju kembali di periode berikutnya. Jika buruk, bisa diganti tanpa harus menunggu terlalu lama.
Penutup: Pembangunan Butuh Kepemimpinan Sehat, Bukan Jabatan Panjang
Aceh memiliki kekhususan lewat UUPA. Artinya, Aceh bisa mengatur sendiri soal masa jabatan keuchik melalui Qanun, dengan mempertimbangkan kondisi sosial lokal. Jangan hanya ikut arus nasional tanpa membaca realitas sosial Aceh yang unik.
Karena sejatinya, pembangunan desa yang baik tidak bergantung pada lama jabatan, tapi pada kualitas pemimpin, partisipasi masyarakat, dan transparansi pengelolaan dana desa. Jabatan bisa diperpanjang, tapi luka sosial akibat ketidakadilan bisa berlarut-larut.
Kita butuh pemimpin desa yang kuat integritasnya, bukan kuat kursinya.