Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Menguasai dan Menguatkan Nilai ke-Aceh-an pada Generasi Aceh

Senin, 21 April 2025 | 23:47 WIB Last Updated 2025-04-21T17:07:59Z




Oleh: Azhari 

Aceh bukan sekadar nama sebuah wilayah. Aceh adalah ruh, nilai, dan kehormatan. Ia adalah perpaduan antara Islam, adat, dan perjuangan. Tapi kini, di tengah gemuruh modernitas, kita mulai bertanya: Apakah generasi muda Aceh masih mengenal, menguasai, dan merasa bangga dengan nilai ke-Aceh-an itu?

Aceh Adalah Nilai, Bukan Hanya Sejarah

Sejak dulu, orang Aceh hidup dalam harmoni antara adat, syariat, dan etika sosial. Nilai ke-Aceh-an bukan hanya tentang pakaian atau bahasa, tapi tentang cara berpikir, bersikap, dan membela kebenaran. Nilai ini tertanam dalam falsafah hidup seperti peumulia jamee adat geutanyoe, semangat meusyuhu beurijang, dan keberanian berkata benar walau sendiri.

Namun nilai itu bukan warisan otomatis. Ia harus dipelajari, dikuasai, dan dijaga—bukan sekadar dikenang saat peringatan hari pahlawan atau tarian pembuka acara resmi.

Generasi Muda yang Terjebak Dunia Tanpa Akar

Generasi muda Aceh saat ini hidup di era yang memuja kecepatan dan citra. Mereka diajarkan cara sukses secara global, tapi tidak lagi diperkenalkan akar lokal yang menjadi pondasi karakter. Maka lahirlah anak-anak yang fasih berbicara tentang tren Korea, namun gagap ketika ditanya siapa Teuku Umar atau makna adat dalam pernikahan Aceh.

Krisis ini bukan salah mereka semata. Kita—orang tua, guru, pemerintah, dan ulama—telah terlalu lama membiarkan nilai ke-Aceh-an tersimpan di museum atau buku tua, bukannya hadir hidup di sekolah, media sosial, dan forum publik.

Apa Itu Nilai ke-Aceh-an yang Harus Dikuasai?

Menguasai nilai ke-Aceh-an bukan berarti anti-modern. Justru sebaliknya, nilai ini adalah fondasi agar generasi Aceh tidak hanyut dan kehilangan identitas. Nilai-nilai itu antara lain:

  1. Keberanian dan Ketegasan: Spirit dari Cut Nyak Dhien hingga Hasan Tiro adalah keberanian menghadapi ketidakadilan.
  2. Kehormatan dan Harga Diri (marwah): Dalam budaya Aceh, martabat lebih berharga dari harta.
  3. Gotong Royong dan Solidaritas: Meuseuraya bukan basa-basi, tapi cara hidup kolektif yang menjamin kekuatan sosial.
  4. Islam sebagai Jalan Hidup: Syariat bukan slogan, tapi jalan untuk menegakkan keadilan dan kebaikan dalam setiap aspek.
  5. Cinta Tanah Air dan Adat: Menjaga adat adalah menjaga jati diri. Adat bak poteumeureuhom, syara’ bak kitabullah adalah landasan hukum sosial.

Strategi Menghidupkan dan Menguatkan Nilai ke-Aceh-an

Untuk menguatkan nilai ke-Aceh-an, kita butuh kerja besar, konsisten, dan kolaboratif. Beberapa langkah strategis yang bisa dimulai:

1. Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Aceh

Pendidikan Aceh harus menanamkan bukan hanya ilmu, tapi identitas. Mengajarkan sejarah lokal, tokoh pejuang Aceh, adat istiadat, serta pemikiran ulama Aceh seperti Syiah Kuala dan Hamzah Fansuri.

2. Digitalisasi dan Narasi Budaya

Anak muda ada di media sosial—maka nilai ke-Aceh-an juga harus hadir di sana. Buatlah konten budaya, sejarah, adat, dan dakwah yang membumi dan menarik. Cerita pendek, animasi, podcast, hingga TikTok bisa jadi medan dakwah budaya.

3. Peran Aktif Dayah dan Ulama Muda

Dayah harus lebih progresif, bukan hanya menjaga akidah tapi juga memimpin arah peradaban dan identitas Aceh. Perlu kolaborasi ulama, seniman, dan intelektual dalam menafsirkan ulang nilai ke-Aceh-an untuk generasi Z.

4. Gerakan Komunitas Pemuda Berbasis Adat dan Islam

Bentuk komunitas pemuda di desa dan kota yang aktif membahas dan menghidupkan nilai adat. Bukan nostalgia, tapi inovasi budaya yang relevan dan membumi. Misalnya, komunitas pencinta hikayat, seni Aceh, tradisi meugang, dan sebagainya.

5. Regulasi dan Dukungan Pemerintah

Pemerintah Aceh harus menjadikan penguatan identitas ke-Aceh-an sebagai visi pembangunan, bukan sekadar pelengkap. Dana otsus dan anggaran kebudayaan harus diarahkan untuk mendidik dan memberdayakan generasi muda secara kultural.

Penutup: Generasi yang Tahu Asal Akan Tahu Arah

Jika generasi muda Aceh tidak mengenal jati dirinya, maka ia mudah ditipu, dibeli, dan diarahkan oleh kepentingan luar. Tapi jika ia menguasai nilai ke-Aceh-an, maka ia akan menjadi generasi yang kuat: modern, tetapi tidak kehilangan akar. Global, tetapi tidak tercerabut. Cerdas, tetapi tetap bermartabat.

Aceh tidak pernah kekurangan pejuang—yang kurang hari ini hanyalah kesadaran bahwa kita sedang kehilangan ruh. Maka marilah kita bergerak, mengajarkan kembali kepada anak-anak kita bahwa menjadi orang Aceh bukan hanya soal tempat lahir, tapi tentang siapa yang kita bela, apa yang kita jaga, dan warisan nilai apa yang kita lanjutkan.