Oleh: Azhari
Di tangan generasi muda Aceh hari ini, budaya tidak lagi dihafal lewat hikayat atau disampaikan lewat nasehat tokoh tua. Ia berpindah ke layar. TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi kitab baru tempat nilai, gaya hidup, dan panutan didefinisikan ulang. Namun pertanyaannya: apakah budaya ke-Aceh-an ikut bertahan di sana? Ataukah malah lenyap dalam gelombang konten kosong dan citra palsu?
Media sosial adalah medan perang budaya. Ia bukan sekadar tempat hiburan, tapi ruang ideologis yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak generasi muda. Dan saat ini, Aceh sedang kalah dalam perang itu.
Ketika Budaya Digerus Citra dan Viralitas
Lihat saja: lebih banyak anak muda Aceh yang tahu gerakan dance Korea ketimbang seumapa atau ratéb duduri. Lebih fasih meniru bahasa slang Jakarta daripada menyapa dalam bahasa Aceh di forum publik. Mereka mengejar like, views, dan viralitas, tapi kehilangan koneksi terhadap sejarah dan nilai yang membentuk jati diri mereka sendiri.
Ini bukan sekadar fenomena. Ini adalah dekadensi nilai, di mana konten yang populer bukan yang mendidik, tapi yang menghibur tanpa isi. Generasi yang tumbuh dalam algoritma digital tidak salah, namun mereka dibiarkan tanpa benteng nilai—tanpa narasi ke-Aceh-an yang bisa bersaing secara bermartabat di dunia maya.
Budaya Aceh Belum Hadir Kuat di Medan Digital
Yang mengkhawatirkan, budaya Aceh belum sepenuhnya hadir di dunia digital dengan cara yang kuat, segar, dan menarik. Upaya pelestarian budaya terlalu sering bersifat dokumentatif dan formal, jauh dari gaya komunikasi generasi muda.
Di sisi lain, budaya global masuk seperti air bah: fashion, musik, cara berpikir, bahkan pandangan soal cinta, agama, dan pernikahan. Semua dibentuk oleh akun-akun yang konsisten, profesional, dan punya narasi jelas—sesuatu yang masih lemah dari akun-akun edukasi Aceh.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
1. Bangun Kreator Budaya Digital Aceh
Kita butuh generasi muda yang tidak hanya bisa menari di TikTok, tapi juga menceritakan kisah pahlawan Aceh dalam bentuk reels dan vlog. Kita butuh YouTuber yang membahas adat meugang, peusijuek, atau perjuangan Ulama Aceh dalam bentuk yang ringan, visual, dan menyentuh.
2. Narasi Alternatif: Pop tapi Bernilai
Budaya bukan berarti kuno. Aceh bisa dikemas dengan narasi pop yang bernilai. Hikayat bisa jadi animasi. Petuah ulama bisa jadi podcast reflektif. Musik rapai bisa berkolaborasi dengan beat modern. Ini bukan memodernkan budaya, tapi mendekatkan makna lewat cara baru.
3. Gerakan Digitalisasi Adat dan Sejarah Aceh
Pemerintah dan komunitas harus mendorong pengarsipan dan distribusi konten budaya dalam bentuk digital. Bayangkan jika semua hikayat Aceh, kitab ulama lokal, dan seni tradisi terdokumentasi dan tersedia di aplikasi mobile, situs edukatif, dan media sosial secara aktif.
4. Lawan Konten Kosong dengan Konten Bermartabat
Jangan hanya menyalahkan generasi muda jika mereka tidak paham nilai. Berikan mereka konten yang mampu melawan konten kosong. Mereka akan memilih yang paling menyentuh dan relevan, bukan yang sekadar viral.
5. Libatkan Influencer dan Tokoh Lokal
Libatkan selebgram, musisi lokal, stand-up comedian, bahkan gamer—untuk menjadi bagian dari gerakan budaya Aceh di dunia maya. Beri mereka ruang, apresiasi, dan tantangan untuk membawa nilai dalam gaya mereka.
Penutup: Menang atau Hilang dalam Gelombang Digital
Kita tidak bisa melawan era digital—yang bisa kita lakukan adalah memenangkan medan digital dengan membawa nilai dan identitas. Aceh punya cerita besar, punya nilai luhur, punya tokoh yang layak dikenang dan dijadikan panutan. Tapi semua itu akan lenyap jika kita gagal membawanya ke ruang tempat generasi muda menghabiskan waktunya: dunia maya.
Karena itu, perang budaya hari ini bukan lagi di medan senjata, tapi di layar ponsel. Dan kita harus memilih: ikut membangun benteng digital yang mencerminkan nilai ke-Aceh-an, atau melihat generasi kita hanyut dalam arus yang tidak tahu ke mana arah.