Oleh: Azhari
Aceh tidak hanya dikenal sebagai Serambi Mekkah karena kedekatannya dengan Islam secara geografis dan historis, tetapi juga karena tanah ini telah lama menjadi ladang subur bagi ulama-ulama besar yang mengabdikan ilmunya untuk agama, bangsa, dan kemanusiaan. Dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Tgk. Chik di Tiro, Tgk. Hasan Krueng Kale, Abuya Muda Wali, hingga ulama-ulama karismatik masa kini seperti Abu Tumin Blang Bladeh dan Abu Hasyim Asy’ari – mereka semua meninggalkan bukan hanya ilmu, tapi juga nasehat-nasehat kehidupan yang harus menjadi pelita bagi generasi muda hari ini.
Namun dalam derasnya arus zaman dan badai globalisasi, nasehat ulama perlahan mulai dilupakan. Di tengah kegaduhan politik, krisis moral, dan kebingungan arah generasi, kita perlu berhenti sejenak dan merenungi: Apa sebenarnya pesan para ulama Aceh untuk generasi muda?
1. Ilmu sebagai Pangkal Kehidupan
Para ulama Aceh selalu mewasiatkan bahwa ilmu adalah cahaya, dan tanpa ilmu, hidup manusia berada dalam kegelapan. Abuya Muda Wali, ulama besar dari Labuhan Haji, pernah menekankan pentingnya “ilmu yang diamalkan” sebagai jalan menuju keselamatan dunia akhirat. Bukan hanya sekadar gelar dan ijazah, tetapi ilmu yang melahirkan adab, budi pekerti, dan tanggung jawab sosial.
Hari ini, banyak generasi muda lebih terpukau oleh popularitas, uang instan, dan gaya hidup selebriti. Ulama mengingatkan: ilmu bukan sekadar untuk kaya, tapi untuk menjadi cahaya bagi orang lain. Dalam setiap bidang—baik pertanian, teknologi, politik, atau pendidikan—ilmu tetap menjadi dasar membangun masyarakat yang sehat dan adil.
2. Jaga Adab, Maka Allah Jaga Martabatmu
Nasehat lain yang sering diulang oleh ulama Aceh adalah soal adab. Bahkan Abuya Muda Wali menegaskan bahwa “Adab lebih tinggi dari ilmu.” Tanpa adab, ilmu bisa membawa kesombongan. Tanpa adab, generasi muda akan mudah terjerumus dalam fitnah dunia.
Generasi muda Aceh perlu kembali menanamkan nilai hormat kepada orang tua, guru, dan ulama. Dalam pergaulan sosial, etika berbicara dan bertindak menjadi pondasi. Adab bukan hanya dalam pakaian dan bahasa, tetapi juga dalam cara berpikir dan bersikap. Dalam era digital, adab juga berarti bijak dalam bersosial media—tidak menyebar fitnah, tidak menjatuhkan sesama, dan tidak memancing kebencian.
3. Bangkitlah, Jadilah Generasi yang Bermanfaat
Ulama Aceh mengajarkan bahwa kemuliaan hidup tidak terletak pada banyaknya harta, tapi pada kebermanfaatan bagi orang lain. Dalam bahasa Islam, “khairunnas anfa‘uhum linnas” — sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Tgk. Chik di Tiro mengangkat senjata bukan untuk menjadi pahlawan, tapi agar umatnya tidak hidup dalam penjajahan. Ulama-ulama dayah mengajar dan mendidik puluhan tahun bukan untuk mencari pujian, tapi agar generasi muda bisa menjadi pembela kebenaran. Maka hari ini, jika generasi muda Aceh memilih diam, pasif, dan individualis, maka sesungguhnya mereka sedang mengkhianati warisan besar ini.
4. Jangan Takut Jadi Minoritas dalam Kebaikan
Sering kali anak muda takut berbeda. Takut dibilang sok alim. Takut dikucilkan karena idealis. Tapi ulama mengajarkan bahwa berada di jalan kebenaran meskipun sendiri lebih mulia daripada ramai-ramai ikut dalam kebatilan.
Ulama seperti Abu Hasyim Asy’ari sering mengingatkan santri agar tidak takut menyampaikan kebenaran, walaupun sendirian. Aceh tidak dibangun oleh mereka yang ikut-ikutan, tetapi oleh mereka yang berani menegakkan kebaikan bahkan saat dunia menertawakan mereka.
5. Jangan Lupa pada Sejarah, Karena Itulah Identitasmu
Generasi muda Aceh harus mengenal sejarahnya. Tanpa mengenal Tgk. Chik Pantee Kulu, Tgk. Cot Plieng, Tgk. Daud Beureueh, dan para syuhada Aceh lainnya, kita hanya akan menjadi generasi lupa diri. Ulama selalu menekankan pentingnya mengenal asal-usul, karena dari sanalah rasa tanggung jawab dan semangat perjuangan tumbuh.
Ulama bukan hanya penjaga agama, tapi juga penjaga jati diri bangsa. Mereka berdakwah, membangun sekolah, dan melawan penjajahan. Mereka mengingatkan: “Aceh tidak boleh dilupakan. Aceh harus dijaga oleh generasinya sendiri.”
Penutup: Warisan Ulama adalah Amanah
Nasehat-nasehat ulama Aceh bukan sekadar petuah kosong. Mereka adalah suluh zaman yang memberi arah ketika dunia penuh kegamangan. Generasi muda hari ini memikul tanggung jawab besar: menjaga warisan itu, menghidupkannya, dan mewariskannya kembali kepada generasi berikutnya.
Jangan biarkan nasehat ulama hanya menjadi kutipan di buku atau status media sosial. Jadikan ia pegangan hidup, kompas moral, dan sumber kekuatan. Karena Aceh akan tetap berdiri teguh selama generasi mudanya masih memegang erat nasehat para ulama.
Jaga ulama, dengarkan nasehatnya, dan bangun Aceh dengan warisan hikmah yang tak ternilai itu.