Di balik slogan “menyejahterakan anggota,” praktik koperasi jalanan yang kini menjamur di berbagai wilayah Aceh justru menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Beroperasi di lorong-lorong kampung dengan iming-iming kemudahan pinjaman, koperasi jalanan menjelma menjadi ancaman terselubung yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan keluarga. Berkedok koperasi, praktik rentenir ini tak hanya merusak stabilitas ekonomi rumah tangga, tetapi juga menjadi biang keladi perceraian, konflik berkepanjangan, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah kasus satu dua orang. Banyak pasangan suami istri (pasutri) terjebak dalam lingkaran konflik akibat peminjaman uang secara diam-diam dari oknum koperasi jalanan. Salah satu pihak, entah istri atau suami, meminjam uang tanpa sepengetahuan pasangannya. Ketika tagihan mulai menumpuk, barulah ketegangan muncul. Uang hasil bertani dan berdagang yang mestinya menopang kebutuhan hidup, malah habis untuk membayar bunga yang mencekik. Pertengkaran, saling tuduh, dan ketidakpercayaan pun menjadi makanan harian di rumah. Tak sedikit yang akhirnya memilih bercerai, meninggalkan anak-anak dalam luka psikologis yang dalam.
Kondisi ini mengindikasikan adanya kelumpuhan regulasi dan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pinjaman berkedok koperasi. Ironisnya, praktik oknum koperasi jalanan ini terus berkembang subur karena ketiadaan payung hukum yang jelas. Mereka memanfaatkan celah legalitas, dengan label koperasi namun tanpa izin resmi dan tanpa sistem pertanggungjawaban yang transparan.
Pemerintah daerah harus segera bangun dari tidur panjangnya. Sudah saatnya tindakan konkret diambil dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang praktik koperasi jalanan dan rentenir terselubung. Perda ini tak cukup berhenti di atas kertas, tetapi harus diikuti dengan Peraturan Desa (Perdes) yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan lokal masing-masing desa. Dengan dasar hukum yang kuat, masyarakat memiliki keberanian dan kekuatan untuk menolak, melaporkan, dan menindak praktik ilegal tersebut.
Lebih dari sekadar hukum, yang juga dibutuhkan adalah pendekatan kultural dan edukatif. Pemerintah daerah bersama tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat perlu terlibat dalam menyosialisasikan bahaya pinjaman ilegal. Literasi keuangan harus menjadi bagian dari agenda rutin di desa-desa, terutama menyasar perempuan dan kelompok ekonomi lemah yang paling rentan dieksploitasi. Kampanye “tolak rentenir” harus dihidupkan, bukan dengan teriakan, tapi dengan penyediaan solusi konkret: koperasi sehat, program simpan pinjam berbasis syariah, serta pelatihan kewirausahaan yang berkelanjutan.
Pada saat yang sama, dukungan ekonomi alternatif harus diperkuat. Ketika rakyat tidak memiliki akses pada sumber pembiayaan yang legal dan manusiawi, maka mereka akan selalu kembali pada lingkaran setan koperasi jalanan. Di sinilah pentingnya peran negara sebagai pelindung dan penyedia jalan keluar. Pemerintah Aceh melalui dinas terkait perlu mengintegrasikan program pemberdayaan ekonomi dengan sistem keuangan mikro berbasis komunitas yang sehat dan transparan.
Oknum Koperasi jalanan bukan hanya masalah pinjam-meminjam. Ini adalah benih kehancuran dalam rumah tangga, virus dalam komunitas, dan batu sandungan dalam pembangunan. Jika dibiarkan, dampaknya akan terus merambat, merusak tidak hanya dompet, tapi juga hati, kepercayaan, dan masa depan generasi.
Sudah waktunya kita menyebut praktik ini dengan nama yang sebenarnya: rentenir terselubung. Dan sudah saatnya pula pemerintah bertindak—bukan sekadar membahas di meja rapat, tetapi hadir nyata di lapangan, bersama rakyat, memutus mata rantai kejahatan ekonomi yang merusak akar kehidupan masyarakat Aceh.