Oleh: Azhari
Di sepanjang sejarah peradaban manusia, ada pertanyaan abadi yang tak pernah selesai dibahas para pemikir: “Apa fondasi sejati kehidupan manusia, dan bagaimana peradaban dibangun?” Apakah karena kekuatan fisik, kekuasaan politik, atau justru nilai-nilai moral yang lahir dari kesadaran terdalam manusia?
Filsafat telah sejak lama mencoba menjawab hal ini. Dari Plato hingga Al-Ghazali, dari Confucius hingga Nietzsche, manusia digambarkan sebagai makhluk yang bukan sekadar hidup, melainkan mencari makna dalam hidup. Dan di situlah letak pentingnya pendirian.
Hidup: Antara Kesadaran dan Insting
Jika hidup sekadar memenuhi kebutuhan biologis — makan, tidur, beranak pinak — maka manusia tak ubahnya hewan. Namun manusia diberi akal budi dan kesadaran diri. Ia mampu bertanya tentang sebab-musabab, tentang apa yang baik dan buruk, tentang tujuan hidup, tentang eksistensi dirinya di alam semesta.
Di titik inilah filsafat menjadi penting. Sebab, peradaban sejati lahir bukan dari insting, melainkan dari nilai-nilai yang lahir dari perenungan panjang. Manusia membangun tatanan sosial bukan sekadar karena butuh, tetapi karena menyadari bahwa hidup tanpa nilai akan melahirkan kekacauan.
Peradaban: Cermin Pendirian Kolektif
Filsafat sosial mengajarkan bahwa peradaban adalah proyeksi dari pendirian kolektif manusia. Ketika sekelompok manusia sepakat untuk menjunjung keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap martabat sesama, maka peradaban itu menjadi agung. Sebaliknya, saat sebuah masyarakat menjadikan nafsu sebagai raja, menuhankan materi, dan menyingkirkan moralitas, maka peradabannya akan rapuh dan menuju kehancuran.
Sejarah menjadi saksi. Bangsa Romawi hancur bukan semata karena serangan bangsa barbar, tetapi karena dekadensi moral bangsanya sendiri. Begitu pula Andalusia, ketika penguasa saling berebut tahta, lupa pada nilai Islam yang menjadi fondasi peradaban mereka.
Aceh, sebagai negeri bersejarah, pun menghadapi tantangan serupa. Dulu berdiri kokoh dengan pendirian yang teguh: menolak penjajahan, menegakkan syariat, menjaga marwah adat. Tapi hari ini, ketika pendirian itu mulai kabur oleh godaan kekuasaan dan kekayaan, peradabannya perlahan meredup.
Pendirian: Pilar Eksistensi Manusia
Filsafat eksistensialisme menegaskan bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh pilihannya. Sartre berkata, “Manusia adalah apa yang ia putuskan tentang dirinya.” Maka, saat manusia memilih menjadi budak nafsu, ia telah mengkhianati eksistensi luhur yang diberikan akal kepadanya.
Dalam konteks ini, pendirian bukan sekadar opini, tetapi fondasi keberadaan. Tanpa pendirian, manusia hanyut dalam arus dunia yang dangkal. Ia kehilangan arah, kehilangan nilai, dan akhirnya kehilangan dirinya sendiri.
Hidup yang benar adalah hidup yang berpihak. Berpihak kepada nilai, kepada kebenaran, kepada yang adil. Meski jalan itu berat, meski sering sunyi, tapi itulah jalan yang layak dijalani manusia berakal.
Arah Kehidupan dan Tanggung Jawab Moral
Filsafat moral menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk bebas, tetapi juga bertanggung jawab atas kebebasannya. Setiap tindakan, setiap keputusan, bukan sekadar urusan diri, melainkan punya dampak sosial. Maka, ketika manusia tak punya pendirian, ia mudah dijadikan alat kekuasaan, alat propaganda, alat keserakahan.
Itulah sebabnya banyak peradaban modern tampak megah, namun di dalamnya kosong nilai. Bangsa-bangsa yang mengaku maju, tapi angka kriminalitas tinggi, ketimpangan sosial lebar, korupsi merajalela, keadilan dipermainkan. Semua karena kehilangan pendirian moral.
Kesimpulan: Pilih Menjadi Apa?
Di akhir, manusia harus memilih. Hidup sebagai budak nafsu, atau hidup sebagai penjaga nilai. Menjadi bagian dari peradaban agung, atau sekadar penghuni bumi yang tak bermakna.
Filsafat kehidupan mengajarkan bahwa yang menentukan bukan umur panjang atau harta berlimpah, tetapi apa yang ditinggalkan. Nilai apa yang diwariskan. Pendirian apa yang dibela. Dan itulah yang akan menjadi jejak manusia dalam sejarah.
Peradaban lahir dari manusia-manusia teguh. Aceh dulu berdiri karena itu. Kini tinggal kita, mau memilih jalan yang mana.
Karena peradaban tak pernah netral. Ia hidup di tangan orang-orang yang berani mengambil sikap.