.
Oleh: Azhari
Di tanah Aceh, pendidikan bukan sekadar proses akademik, melainkan warisan peradaban. Sebelum Indonesia lahir, jauh sebelum konsep sekolah modern diperkenalkan kolonial Belanda, Aceh telah memiliki sistem pendidikan berbasis dayah — pusat keilmuan yang bukan saja mengajarkan fikih, tafsir, dan tasawuf, tapi juga menjadi benteng moral, etika, dan kepemimpinan masyarakat.
Aceh, negeri yang pernah digelari 'Serambi Mekkah', dikenal sebagai pusat ilmu dan spiritualitas. Sultan-sultan Aceh membangun masjid megah dan ribuan dayah. Para ulama besar seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili, Syekh Hamzah Fansuri, hingga Teungku Chik di Tiro lahir dari tradisi itu.
Pendidikan Masa Lalu: Antara Spiritualitas dan Kedaulatan
Dayah bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi juga pusat perlawanan. Saat penjajah datang, dayah-dayah tak hanya mengajarkan Al-Quran, tapi juga semangat jihad membela tanah air. Pendidikan di masa itu melahirkan manusia Aceh yang kokoh iman dan karakter.
Metode belajarnya sederhana tapi sarat nilai. Santri tinggal di meunasah atau bale, belajar kitab kuning, memperdalam ilmu alat, dan dididik hidup bersahaja. Nilai keikhlasan, adab terhadap guru, dan loyalitas terhadap masyarakat menjadi inti pendidikan.
Kurikulum dayah bukan sekadar ilmu akhirat, tapi juga ilmu dunia. Sejarah mencatat, Aceh pernah menjadi pusat ilmu falak, pengobatan tradisional, sastra sufi, hingga diplomasi antarbangsa.
Pendidikan Kini: Di Persimpangan Jalan
Namun, memasuki era modern, wajah pendidikan Aceh berubah. Sekolah formal menggantikan peran dayah, kurikulum nasional mendominasi, sementara nilai-nilai lokal mulai terkikis. Dayah tersisih ke pinggiran, seolah hanya urusan orang tua dan kampung.
Ironinya, meski fasilitas pendidikan makin lengkap, gedung megah dibangun, Aceh justru masih berada di peringkat bawah indeks pendidikan nasional. Anak-anak sekolah sibuk mengejar nilai, namun minim karakter. Lulusan perguruan tinggi berderet, tapi pengangguran intelektual tetap tinggi.
Era digital menambah tantangan. Anak muda Aceh hari ini lebih akrab dengan TikTok daripada kitab Tafsir Jalalain. Perdebatan di media sosial lebih ramai ketimbang diskusi keilmuan di balai pengajian. Gelar akademik bertambah, tapi akhlak dan moral kian menipis.
Mengapa Ini Terjadi?
Karena pendidikan modern Aceh hari ini lebih mengejar formalitas daripada substansi. Sekolah berlomba-lomba meluluskan murid dengan nilai tinggi, tapi tak peduli apakah mereka punya pendirian, akhlak, dan etos kerja.
Sementara itu, banyak dayah masih tertinggal dalam akses teknologi, metode pengajaran konvensional sulit bersaing di tengah gempuran budaya digital. Hubungan antara pendidikan agama dan umum terputus. Padahal dulu, di Aceh, keduanya berjalan beriringan.
Harapan: Menyambung Kembali yang Terputus
Aceh tak boleh terus begini. Pendidikan bukan sekadar soal kelulusan, tapi soal membangun manusia utuh — yang cerdas akal, kuat iman, dan luhur budi.
Dayah perlu didorong bertransformasi tanpa kehilangan ruh. Sekolah-sekolah harus kembali menghidupkan pelajaran moral dan etika Aceh yang dulu dijunjung tinggi. Kurikulum harus memuat nilai lokal, sejarah perjuangan Aceh, kearifan adat, dan ajaran ulama-ulama besar Aceh.
Teknologi tak boleh dimusuhi, tapi dijadikan alat dakwah dan pendidikan. Aceh harus bisa mencetak generasi yang bukan hanya melek digital, tapi juga paham akar sejarah dan jati dirinya.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenang pendidikannya. Dan Aceh pernah jadi cahaya peradaban itu.
Penutup
Refleksi ini bukan nostalgia belaka. Ini panggilan hati bagi para guru, ulama, pemimpin daerah, dan generasi muda. Aceh harus kembali ke pendiriannya — pendidikan yang berakar pada nilai, berorientasi pada karakter, dan berpijak pada sejarah perjuangan.
Jika tidak, maka Aceh hanya akan menjadi nama di peta, yang kehilangan jiwanya, karena generasinya tercerabut dari akar peradaban.
Dan kita semua bertanggung jawab atas itu.