Oleh: Azhari
Sejarah Aceh adalah sejarah tentang keberanian, kehormatan, dan marwah. Negeri Serambi Mekkah ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari pergulatan panjang antara kekuatan ideologi, agama, dan politik yang saling bertaut. Perang dan damai di Aceh bukan sekadar soal senjata atau perjanjian kertas. Ia adalah soal identitas, harga diri, dan kepentingan siapa yang dikorbankan serta siapa yang diuntungkan.
Ketika hari ini kita menikmati damai pasca MoU Helsinki 2005, pertanyaan yang harus terus kita ajukan adalah: damai seperti apa yang sedang kita jalani? Apakah ia benar-benar damai untuk rakyat, atau sekadar damai untuk elite politik dan kekuatan modal? Untuk menjawab itu, kita perlu kembali pada konsep perang dan damai dalam tradisi sejarah Aceh.
Perang Aceh: Perang Ideologi, Bukan Sekadar Konflik Fisik
Perang Aceh yang berlangsung sejak 1873 hingga dekade awal 1900-an bukanlah perang biasa. Ini adalah perang sabilillah. Dalam pandangan masyarakat Aceh kala itu, wilayah Aceh adalah Darussalam yang wajib dipertahankan dari kafir penjajah. Fatwa-fatwa jihad dikeluarkan oleh para ulama, seperti Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, Teungku Cik Lam Pisang, dan Teungku Cik di Tanjongan yang menegaskan bahwa melawan Belanda bukan hanya hak, tapi kewajiban agama.
Perang Aceh berjalan dalam konsep perang nilai. Bukan soal siapa kuat, siapa lemah. Bukan soal siapa memiliki senjata modern atau taktik perang canggih. Tapi soal mempertahankan kehormatan umat, agama, dan tanah air.
Karena itu, Aceh menerapkan:
- Strategi gerilya berbasis kampung dan wilayah adat.
- Perang terbuka di medan tertentu, disertai serangan mendadak ke markas lawan.
- Penggunaan fatwa ulama sebagai moral booster dan dasar legitimasi.
- Ikatan kekerabatan dan adat sebagai benteng sosial.
Perang ini berlangsung lebih dari 30 tahun. Dan sejarah membuktikan, Aceh adalah satu-satunya wilayah di Nusantara yang paling lama melakukan perlawanan kolonial secara terorganisir dan berbasis agama.
Siapa yang Untung di Balik Perang Aceh?
Jika kita bedah lebih dalam, dalam setiap konflik berkepanjangan pasti ada yang diuntungkan. Di balik perang heroik itu, siapa yang sebenarnya paling untung?
Pertama, kaum kapitalis Belanda. Perusahaan senjata, logistik, kapal angkut, dan kontraktor militer justru meraup keuntungan besar. Semakin lama perang berlangsung, semakin banyak kontrak senjata, pakaian militer, logistik, dan alat transportasi. Perang menjadi ladang bisnis.
Kedua, elit politik kolonial. Para pejabat tinggi Belanda yang berhasil menguasai wilayah Aceh dihadiahi pangkat, tanah, dan posisi di pemerintah pusat. Keberhasilan ‘menaklukkan Aceh’ dijadikan alat propaganda politik di negeri Belanda.
Ketiga, segelintir elite lokal yang berpihak ke Belanda, baik karena bujukan, tekanan, maupun ambisi pribadi. Mereka memperoleh kekuasaan semu, jabatan, dan materi dengan menjadi perpanjangan tangan kolonial.
Sementara itu, rakyat Aceh hanya kebagian luka, kehilangan, dan trauma.
Konsep Damai Aceh: Damai Bersyarat, Damai Bermarwah
Sejak masa Sultan Iskandar Muda, Aceh sudah mengenal tradisi damai. Tapi damai Aceh bukan damai tunduk. Damai Aceh adalah damai bermarwah. Damai yang tetap menjaga identitas, agama, adat, dan kedaulatan atas wilayah.
Sejarah mencatat berbagai perjanjian antara Aceh dengan Portugis, Inggris, hingga Turki Utsmani. Tapi dalam setiap perjanjian itu, Aceh selalu menyertakan syarat:
- Wilayah Aceh tidak boleh diusik.
- Hukum Islam tetap dijalankan.
- Adat istiadat tidak boleh diintervensi.
- Kepentingan rakyat Aceh harus diutamakan.
Bahkan dalam konteks modern, MoU Helsinki 2005 pun lahir dari semangat itu. Walau ada tarik-menarik kepentingan, Aceh tetap menegaskan:
- Penerapan Syariat Islam.
- Kewenangan khusus dalam pemerintahan lokal.
- Pengelolaan sumber daya alam.
- Bendera dan lambang daerah.
Damai ini penting untuk menghindari kehancuran lebih lanjut. Tapi damai harus dijaga agar tidak berubah menjadi alat legitimasi bagi elite-elite baru yang justru mengkhianati marwah perjuangan Aceh.
Refleksi: Damai Aceh di Persimpangan Jalan
Hari ini, 20 tahun lebih pasca damai Helsinki, Aceh memang tidak lagi terdengar dentuman senjata. Tapi Aceh menghadapi perang jenis baru: kemiskinan, korupsi, pengangguran, dekadensi moral, dan maraknya politik uang.
Damai yang semestinya membawa kesejahteraan justru banyak dirasakan tidak adil. Rakyat kecil tetap miskin, elite politik bergelimang proyek dan kekuasaan. Apakah ini damai yang diperjuangkan oleh para syuhada Perang Aceh dulu?
Aceh butuh refleksi kolektif. Jangan sampai damai hari ini hanya dimanfaatkan segelintir elite untuk mengokohkan kekuasaan. Jangan biarkan rakyat Aceh kembali jadi korban — kali ini bukan oleh penjajah asing, tapi oleh anak bangsa sendiri yang lupa amanah.
Penutup: Jalan Tengah Antara Marwah dan Kesejahteraan
Aceh punya dua pilihan: kembali ke konflik kepentingan atau membangun damai bermartabat. Damai yang bukan sekadar absen senjata, tapi hadirnya keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan pada rakyat.
Sejarah telah mengajarkan, perang itu mahal harganya, dan damai itu berat menegakkannya. Tapi jika Aceh bisa menemukan jalan tengah — antara menjaga marwah perjuangan dan menciptakan kesejahteraan — maka Aceh tidak sekadar dikenang karena perang, tapi dihormati karena mampu membangun damai dengan kepala tegak.
Itulah warisan terbesar Perang Aceh yang seharusnya kita rawat hari ini.