Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Perang yang Tak Berguna, Damai yang Menyejahterakan

Sabtu, 26 April 2025 | 22:11 WIB Last Updated 2025-04-26T15:53:07Z




Di sepanjang sejarah manusia, perang telah menjadi bagian kelam yang terus berulang. Dengan berbagai dalih: kehormatan, kekuasaan, agama, harga diri, atau ambisi tak terbendung. Namun, jika ditilik lebih dalam, apa sebenarnya yang diperoleh manusia dari perang selain penderitaan, kehancuran, dan kehilangan yang menyisakan trauma lintas generasi?

Perang adalah seni paling tua dalam sejarah peradaban, sekaligus seni paling sia-sia.

Di medan perang, tak ada pemenang sejati. Yang ada hanya dua pihak: yang terluka dan yang lebih terluka. Bahkan pihak yang dianggap menang pun harus membayar harga mahal berupa korban jiwa, kehancuran tatanan sosial, rusaknya moral kemanusiaan, dan luka psikologis yang terus menghantui.

Mari kita tengok apa yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. Dari konflik di Palestina, perang Rusia-Ukraina, hingga pertikaian di sudut-sudut negeri sendiri. Atas nama apa perang itu dijustifikasi? Dan apa hasilnya? Kota-kota hancur, anak-anak kehilangan masa kecilnya, ibu kehilangan anak, dan tanah-tanah subur menjadi ladang kuburan massal.

Perang adalah tragedi yang terus diproduksi oleh keserakahan.

Damai: Pilihan yang Lebih Manusiawi

Damai kerap kali dianggap naif. Sebagian orang meyakini bahwa damai hanya ilusi di hadapan agresi dan kekerasan. Tapi sejarah juga mencatat bahwa damai-lah yang memulihkan. Perdamaian memberi ruang bagi peradaban tumbuh, ekonomi membaik, kebudayaan berkembang, dan masyarakat hidup berdampingan.

Damai bukan tanda kelemahan, tapi cermin kematangan moral suatu bangsa dan manusia. Di saat amarah dibalas amarah, kebencian dibalas kebencian, konflik tak akan selesai. Tapi saat luka dijahit dengan pengampunan, dan dendam diredakan oleh keikhlasan, saat itulah kesejahteraan lahir.

Damai memang bukan tanpa harga. Tapi harga damai jauh lebih murah daripada harga perang. Kita bisa kehilangan harga diri sejenak untuk berdamai, tapi kita kehilangan kemanusiaan selamanya jika terus membiarkan perang.

Refleksi Untuk Kita Hari Ini

Dalam skala pribadi pun, perang kerap terjadi. Perang batin, perang ego, perang gengsi, konflik rumah tangga, pertikaian antar teman, perselisihan dalam politik, hingga perang di media sosial. Semua itu lahir dari keengganan manusia menundukkan egonya.

Kita terlalu mudah memilih berkonflik, terlalu malas memilih berdamai.
Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, banyak konflik terjadi karena hal-hal remeh yang diperbesar oleh gengsi. Betapa banyak saudara saling diam karena masalah warisan. Betapa banyak pertemanan retak hanya karena perbedaan pilihan politik. Betapa banyak keluarga hancur karena ego yang tak kunjung diturunkan.

Refleksi ini penting:
Sejatinya, manusia diciptakan bukan untuk saling membinasakan. Kita hadir untuk merawat kehidupan. Jika perang hanya melahirkan generasi tanpa harapan, maka damai-lah yang akan menyelamatkan masa depan.

Sudah saatnya kita belajar menata diri, menahan ego, dan membiasakan damai, mulai dari hal paling sederhana. Berdamai dengan diri sendiri, dengan keluarga, dengan tetangga, dengan sejarah, bahkan dengan masa lalu.

Karena pada akhirnya, tak ada kemenangan lebih indah selain mengalahkan nafsu untuk berperang.

Penutup

Perang adalah jalan paling mudah bagi orang yang tak sabar, dan damai adalah jalan paling bijak bagi mereka yang paham arti kehidupan.
Selama manusia masih mengedepankan nafsu atas nurani, perang akan terus lahir. Tapi selama ada mereka yang memilih damai, peradaban masih punya harapan.