Sejarah Nusantara mencatat banyak perang kolonial. Namun, di antara semua perlawanan rakyat terhadap penjajahan, Perang Aceh adalah salah satu episode paling panjang, berdarah, dan penuh ironi. Dikenang sebagai perjuangan heroik melawan Belanda, tapi jarang disingkap siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari perang ini.
Perang yang Menguras Nyawa dan Sumber Daya
Perang Aceh meletus tahun 1873 dan berlangsung hingga dekade awal 1900-an. Lebih dari tiga dekade, tanah Aceh bermandikan darah. Rakyat Aceh bertempur mempertahankan tanah, agama, dan martabatnya. Sementara Belanda, dengan ambisi kolonialisme dan ekspansi kekuasaan, mengerahkan segalanya untuk menaklukkan Aceh.
Korban berjatuhan di kedua pihak. Rakyat kehilangan keluarga, ulama kehilangan murid-muridnya, dan negeri kehilangan pemimpin-pemimpinnya. Di pihak Belanda, kerugian materi, nyawa, dan reputasi juga tidak sedikit.
Namun, pertanyaan paling mendasar: jika kedua pihak rugi, siapa yang sebenarnya untung?
Keuntungan Kaum Kapitalis dan Politik Pecah Belah
Perang, dalam sejarah manapun, selalu jadi ladang subur bagi para kapitalis. Perusahaan senjata, pedagang logistik, dan pengusaha transportasi laut di Belanda justru meraup untung besar dari berkepanjangannya konflik di Aceh. Setiap peluru, meriam, dan kapal angkut yang dikirim ke Aceh berarti keuntungan bagi mereka.
Selain itu, pihak-pihak tertentu di lingkar kekuasaan kolonial juga diuntungkan. Mereka mendapat pangkat, jabatan, dan legitimasi politik atas nama menaklukkan Aceh. Bahkan, keberhasilan menguasai Aceh dijadikan alat propaganda untuk memperkuat posisi politik Belanda di Eropa.
Di sisi lain, Belanda juga mempraktikkan politik devide et impera di Aceh. Beberapa golongan elit lokal dibujuk, diadu, dan dimanfaatkan demi melemahkan kekuatan kolektif rakyat Aceh. Celakanya, dalam situasi seperti ini, ada juga segelintir pihak di internal Aceh yang secara sadar atau tidak, ikut mengambil keuntungan pribadi.
Rakyat Aceh, Selalu Jadi Korban
Yang paling menderita tentu saja rakyat Aceh. Ladang rusak, kampung terbakar, anak-anak yatim, perempuan menjadi janda, dan tatanan sosial terguncang. Perang bukan hanya soal medan tempur, tapi juga soal trauma berkepanjangan yang diwariskan lintas generasi.
Hingga kini, jejak itu masih terasa. Banyak manuskrip, warisan sejarah, dan pusaka Aceh yang dirampas dan dibawa ke Belanda. Kekalahan Aceh juga mengakibatkan perubahan sistem sosial, hukum, dan ekonomi yang semula berbasis Islam dan adat menjadi tunduk pada sistem kolonial.
Refleksi: Pelajaran yang Tak Boleh Terulang
Perang Aceh seharusnya menjadi pelajaran bahwa konflik berkepanjangan tak pernah benar-benar berpihak pada rakyat. Baik perang kolonial dulu maupun konflik sosial-politik masa kini, yang selalu diuntungkan hanyalah mereka yang bisa memanfaatkan situasi demi kuasa dan harta.
Kini, saat Aceh hidup di era damai pasca-MoU Helsinki, refleksi itu sangat relevan. Jangan sampai pertikaian elit, politik uang, dan konflik kepentingan kembali membuat rakyat Aceh jadi korban. Karena sejarah membuktikan, dalam setiap konflik yang tak berujung, yang kaya makin kaya, yang berkuasa makin kuat, dan rakyat kecil tetap sengsara.
Penutup
Perang Aceh adalah kisah tentang keberanian luar biasa rakyatnya, tetapi juga tentang bagaimana konflik bisa dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk kepentingan pribadi. Sejarah itu harus menjadi cermin agar kita tak lagi mengulangi luka yang sama dengan cara yang berbeda.
Aceh hari ini tak butuh lagi perang fisik, tapi butuh perang melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Karena sejatinya, perang melawan hawa nafsu dan kepentingan pribadi adalah perang paling berat, tapi paling mulia.
K