Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pintar Bermanfaat atau Bodoh Jadi Pengkhianat?

Senin, 21 April 2025 | 23:41 WIB Last Updated 2025-04-21T16:41:13Z




Oleh: Azhari 

Kita hidup di zaman ketika gelar akademik ditabalkan seperti mahkota, ketika kepintaran dinilai dari panjangnya riwayat pendidikan, dan ketika panggung-panggung prestasi dipenuhi mereka yang fasih berkata, namun belum tentu berani bertindak untuk kebaikan. Namun, di balik gemerlap gelar dan kecerdasan itu, muncul pertanyaan menggelitik sekaligus menyayat: Apakah semua yang pintar itu benar-benar bermanfaat? Atau justru sebagian dari mereka telah menjelma menjadi pengkhianat?

Pintar, Tapi Untuk Siapa?

Mari kita bicara jujur: negeri ini tak kekurangan orang pintar. Dari Sabang sampai Merauke, kita punya ribuan sarjana, master, doktor, bahkan profesor. Kita punya alumni kampus-kampus ternama dalam dan luar negeri. Tetapi, mengapa negeri ini masih disesaki kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan korupsi?

Jawabannya bisa jadi karena banyak dari mereka yang pintar itu tidak memilih menjadi manfaat, tapi justru memilih bersekutu dengan kekuasaan, merawat kepentingan sendiri, dan pada akhirnya—menjadi pengkhianat pada rakyat yang mereka abaikan.

Pengkhianatan bukan hanya dalam bentuk makar atau menjual informasi negara. Pengkhianatan hari ini jauh lebih halus: ketika seorang pejabat meloloskan izin tambang yang merusak tanah ulayat; ketika dosen menggadaikan idealisme demi proyek; ketika pengusaha pintar memiskinkan buruh demi laba; ketika anak muda cerdas memilih diam saat kebenaran diinjak-injak.

Antara Bodoh yang Tulus dan Pintar yang Licik

Zaman dahulu, masyarakat lebih menaruh hormat pada orang tua yang meskipun tidak sekolah tinggi, tetapi jujur dan setia pada nilai. Kini, sebagian orang lebih terpesona oleh kepintaran yang dibungkus narasi, meski isinya pengkhianatan dan tipu muslihat.

Apakah menjadi pintar tanpa nilai lebih baik dari menjadi bodoh yang tulus?
Tentu, idealnya kita harus pintar sekaligus jujur. Tapi dalam realitas, kadang orang bodoh yang sadar batasnya lebih aman bagi negara, ketimbang orang pintar yang licik dan merasa diri paling benar.

Lihatlah kasus demi kasus korupsi. Pelakunya bukan orang yang tak sekolah. Justru banyak dari mereka lulusan terbaik. Ironis bukan? Pendidikan tinggi tidak menjamin hati yang tinggi pula. Karena hati tidak dibentuk oleh gelar, tapi oleh nilai, moral, dan spiritualitas.

Sistem yang Gagal Mendidik Manusia

Pendidikan kita hari ini terlalu terfokus pada angka, ranking, dan kompetisi. Anak-anak didorong untuk pintar dalam menghafal, tapi tak diajarkan keberanian membela yang benar. Mereka dijejali teori tentang pembangunan, tapi tidak pernah diajak memahami penderitaan rakyat miskin. Hasilnya, lahirlah generasi yang cerdas dalam kalkulasi, tapi tumpul dalam empati.

Padahal, bangsa ini butuh lebih dari sekadar kecerdasan akademik. Kita butuh manusia yang berpikir jernih, berhati jujur, dan bertindak tegas untuk membela kepentingan publik. Kita butuh generasi yang tak hanya bisa bicara di seminar, tapi juga turun menyingsingkan lengan untuk memperjuangkan keadilan.

Sayangnya, sistem pendidikan yang terlalu kaku, elitis, dan minim nilai membuat kita kehilangan orientasi. Anak-anak muda kita lebih sibuk mengejar likes di media sosial ketimbang memahami nasib petani yang kehilangan tanahnya. Mereka lebih tahu tren TikTok daripada paham bagaimana UU disahkan dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat kecil.

Menolak Jadi Pengkhianat Sejak Dini

Kita harus mulai mengajarkan pada generasi muda bahwa ilmu bukan untuk menjajah, tapi untuk membebaskan. Bahwa pintar bukan berarti boleh semena-mena. Bahwa sukses sejati bukan yang menghasilkan uang banyak, tapi yang membawa manfaat besar bagi sesama.

Kita harus menanamkan kesadaran bahwa pengkhianatan bukan sekadar menjual rahasia negara, tapi juga ketika engkau menutup mata dari ketidakadilan yang nyata. Ketika engkau membiarkan rakyatmu menderita, sementara engkau berpesta dalam jabatan dan gelar.

Kita harus menumbuhkan keberanian moral: lebih baik dicaci karena jujur daripada dipuji karena khianat. Lebih baik gagal dalam kebenaran daripada menang dalam kebohongan.

Pilihan yang Akan Dikenang Sejarah

Sejarah akan mencatat dua jenis manusia:
Pertama, mereka yang pintar dan menjadi berkah bagi banyak orang—seperti para guru tulus, ulama yang istiqamah, aktivis yang jujur, dan pemimpin yang amanah.
Kedua, mereka yang pintar tapi mencelakakan bangsanya sendiri—para koruptor, penjilat kekuasaan, penyebar hoaks, dan elit yang menjual kehormatan demi kenyamanan pribadi.

Maka wahai generasi muda, pilihlah jalanmu:
Apakah engkau ingin dikenang sebagai yang pintar namun berkhianat, atau yang pintar dan bermanfaat?

Jalanmu akan penuh godaan. Akan ada saatnya engkau ditawari kenyamanan untuk diam. Akan ada saatnya engkau diuji: antara integritas atau karier, antara nilai atau keuntungan. Di saat itulah, jati dirimu diuji. Dan di sanalah sejarah akan menuliskan siapa dirimu sebenarnya.

Penutup: Bukan Sekadar Pintar, Tapi Juga Amanah

Pesan ini bukan untuk merendahkan kepintaran, tapi untuk mengembalikan makna sejatinya. Karena pintar tanpa nilai adalah bencana. Dan kebodohan yang berani menghianati adalah penghancur bangsa yang paling mematikan.

Di masa depan, kita tidak cukup hanya mencetak orang pintar. Kita harus membentuk manusia utuh: yang punya ilmu, akhlak, keberanian, dan kepekaan sosial. Mereka yang tak akan menjual bangsanya, meski ditawari dunia.

Sebab sesungguhnya, musuh terbesar bangsa ini bukan kebodohan… tapi kepintaran yang mengkhianati amanah rakyat.