Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pondasi Idealisme Aceh pada Generasi Muda yang Hilang

Senin, 21 April 2025 | 23:44 WIB Last Updated 2025-04-21T17:08:14Z




Oleh: Azhari 

Di suatu masa, Aceh dikenal sebagai tanah pemberani, tempat lahirnya pemikir besar, ulama pejuang, dan generasi muda yang tak pernah gentar menyambut tantangan zaman. Dari gunung hingga pesisir, semangat ke-Aceh-an mengalir seperti darah dalam nadi: semangat merdeka, bermartabat, dan bersandar pada nilai-nilai keislaman, keadilan, dan kolektivitas.

Namun kini, tampaknya pondasi idealisme itu mulai retak, bahkan nyaris tak berbekas di benak sebagian besar generasi muda Aceh. Di tengah deru media sosial, euforia konten, dan budaya instan, cita-cita besar generasi Aceh untuk bangsanya terkikis menjadi ambisi pribadi, popularitas digital, dan konsumsi sesaat. Ada yang hilang, dan kita semua tahu: idealisme itu perlahan mati.

Dulu: Aceh dan Jiwa Perjuangan Generasi Muda

Aceh bukan hanya sejarah darah dan air mata. Ia adalah sejarah tentang anak-anak muda yang berani menulis nasibnya sendiri. Tengoklah Teungku Cik Di Tiro yang memulai jihad melawan kolonialisme sejak usia muda, atau Cut Nyak Dhien yang tak gentar kehilangan demi mempertahankan tanah air. Bahkan dalam gelombang revolusi nasional, pemuda Aceh tak pernah pasif—mereka berdiri di barisan terdepan.

Idealisme itu tumbuh dari pendidikan dayah, petuah orang tua, dan kultur gotong royong. Pemuda Aceh dahulu dibentuk bukan untuk hidup nyaman, tapi untuk hidup berarti. Mereka tumbuh dalam keprihatinan, tapi kaya martabat. Mereka tidak sibuk mengejar gaji, tapi mengejar keberkahan hidup. Mereka berpikir jauh ke depan, karena sadar: hidup adalah perjuangan.

Sekarang: Hedonisme, Apatisme, dan Budaya Serba Instan

Tapi kini, apa yang kita saksikan? Generasi yang tumbuh dengan algoritma TikTok, lebih paham jargon-jargon viral ketimbang sejarah bangsa sendiri. Mereka lebih rela antre konser atau gonta-ganti filter Instagram, daripada datang ke majelis ilmu atau diskusi kebudayaan. Bukan karena mereka tak mampu, tapi karena idealisme itu tak lagi diwariskan dengan sungguh-sungguh.

Sekolah sibuk mencetak angka, bukan karakter. Rumah menjadi sunyi tanpa petuah, hanya dering notifikasi. Pemerintah daerah pun terlalu sibuk dengan proyek infrastruktur, lupa membangun jiwa dan identitas generasi muda Aceh.

Ini bukan sekadar fenomena ‘anak muda malas’. Ini adalah krisis pembentukan nilai dan arah perjuangan. Kita punya banyak pemuda pintar, tapi kehilangan pemuda yang punya arah, cita-cita besar, dan keberanian berkorban.

Kapitalisme Menelan Jiwa Muda Aceh

Kita tidak bisa memungkiri bahwa generasi muda Aceh hari ini hidup di bawah tekanan ganda: kemiskinan struktural dan gempuran kapitalisme budaya. Di satu sisi, mereka dituntut untuk “sukses” secepat mungkin. Di sisi lain, mereka dijejali standar kesuksesan semu—harta, kendaraan mewah, gaya hidup modern—yang menjauhkan mereka dari akar budaya dan nilai lokal.

Kapitalisme tak hanya menjajah ekonomi, tapi juga cara berpikir. Anak muda diajarkan bahwa “nilai diri” ditentukan oleh followers, gadget, atau jabatan, bukan oleh kontribusi, integritas, dan kearifan. Inilah penjajahan paling halus yang tak terasa, tapi melumpuhkan jiwa.

Peran Orang Tua, Dayah, dan Pemerintah Daerah

Jika idealisme hilang dari generasi muda, maka semua pihak turut bertanggung jawab. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaan hingga lupa mendidik dengan keteladanan. Lembaga pendidikan yang menekan siswa dengan beban akademik tapi lupa memupuk makna hidup. Pemerintah daerah yang terlalu sibuk dengan pembangunan fisik, tapi abai terhadap krisis nilai.

Dayah-dayah yang dulunya menjadi benteng moral masyarakat Aceh juga butuh pembaruan visi. Mereka harus hadir bukan hanya sebagai tempat hafalan kitab, tapi juga pusat pemikiran progresif yang bisa mengarahkan pemuda untuk aktif dalam sosial-politik dan pembangunan lokal.

Aceh Butuh Pemuda yang Membakar Api Perubahan

Bangsa ini, dan Aceh khususnya, tidak butuh generasi muda yang hanya tahu “bertahan hidup.” Kita butuh pemuda yang berani bertanya, "Untuk apa aku hidup?" Kita butuh generasi yang tidak hanya berprestasi di kampus, tapi juga berani bersuara di jalan, di forum, dan di parlemen untuk membela rakyat kecil.

Apakah itu utopis? Tidak. Sejarah telah membuktikan bahwa idealisme adalah bahan bakar perubahan. Bangkitnya reformasi, jatuhnya rezim, lahirnya kemerdekaan—semuanya dimulai dari generasi muda yang resah, berpikir, dan bertindak.

Kini, giliran generasi Aceh untuk kembali merumuskan idealismenya. Bukan untuk bernostalgia dengan masa lalu, tapi untuk menciptakan masa depan yang bermartabat.

Menyalakan Kembali Lentera Idealisme

Sudah saatnya kita bersama-sama menyalakan kembali lentera idealisme di dada anak muda Aceh:

  • Dengan pendidikan yang membebaskan, bukan yang menjinakkan.
  • Dengan forum-forum literasi dan diskusi terbuka, bukan hanya lomba dan seremonial.
  • Dengan membangun komunitas pemuda berbasis nilai dan kepedulian, bukan geng eksklusif dan politik praktis murahan.
  • Dengan memberi ruang bagi anak muda untuk memimpin dan berbuat, bukan hanya menjadi penonton.

Pemuda Aceh harus tahu bahwa mereka bukan generasi pelengkap. Mereka adalah jantung dari arah baru Aceh. Jika mereka tetap diam, maka kekosongan itu akan diisi oleh mereka yang tidak peduli pada Aceh, bahkan mungkin merusaknya dari dalam.

Penutup: Dari Idealisme Menuju Perubahan

Bangkitnya Aceh bukan soal proyek miliaran, bukan hanya soal qanun atau mimpi otonomi. Bangkitnya Aceh adalah soal kebangkitan kesadaran generasi mudanya. Dan kesadaran itu hanya lahir dari idealisme: keberanian untuk bermimpi besar dan bergerak bersama.

Kita boleh kehilangan segalanya—sumber daya, uang, jabatan. Tapi kita tidak boleh kehilangan idealisme, karena di situlah letak hidup yang sesungguhnya. Generasi muda Aceh, tugas kalian bukan hanya menikmati hasil kemerdekaan, tapi menjaganya, merawatnya, dan melanjutkannya.

Saat pondasi idealisme itu kokoh kembali, maka Aceh akan menemukan kembali dirinya: tanah para pemberani, negeri pemilik cahaya perubahan.