Kesuksesan yang Melupakan Guru
Oleh: Azhari
Di ruang-ruang penuh tepuk tangan, panggung yang terang benderang, dan kabar keberhasilan yang viral di media sosial, satu sosok sering kali terlupakan: guru. Ia bukan tokoh utama dalam pidato kemenangan, bukan wajah di balik layar selebrasi, dan tak jarang, bahkan namanya pun tak disebut.
Di negeri ini, kesuksesan sering diklaim sebagai hasil kerja keras pribadi, seolah seseorang terlahir dengan kemampuan yang langsung matang, tanpa pernah dituntun, ditegur, atau ditanamkan nilai. Padahal, setiap kalimat yang terucap dengan bijak, setiap keputusan yang diambil dengan nalar, dan setiap keberanian yang tumbuh—semuanya pernah ditanamkan oleh guru, sejak kita belum tahu apa-apa.
Namun mengapa begitu banyak orang yang telah mencapai puncak justru lupa pada akar?
Kita Dibentuk oleh Banyak Tangan, Bukan Satu Langkah
Seorang pemimpin, pejabat, akademisi, bahkan selebritas sekalipun—tidak lahir dari ruang hampa. Ia dibentuk oleh sistem pendidikan, dipoles oleh nilai dan disiplin yang ditanamkan sejak dini. Guru—baik di sekolah maupun di luar sekolah—adalah pilar yang membentuk karakter, bukan sekadar pengajar teori.
Tapi kenyataannya, semakin tinggi seseorang melambung, semakin kecil kemungkinan ia menengok ke bawah. Guru hanya disebut saat nostalgia, bukan saat anggaran dibuat. Guru hanya diingat saat Hari Guru, tapi dilupakan saat kebijakan pendidikan ditetapkan.
Saat Guru Ditinggalkan oleh Muridnya yang Sukses
Banyak guru hidup dalam kesederhanaan yang nyaris menyentuh garis kemiskinan. Sementara murid-murid yang pernah ia didik kini hidup dalam kemewahan, berlimpah jaringan dan pengaruh. Di mana rasa terima kasih itu? Mengapa rasa hormat pada guru hanya menjadi puisi yang dibacakan saat upacara, tapi tidak menjelma menjadi aksi nyata?
Bukankah dalam Islam sendiri, kedudukan guru hampir sejajar dengan orang tua? Bahkan dalam falsafah Timur, guru adalah penerang jalan, penerus risalah, penjaga cahaya ilmu. Tapi hari ini, guru terpinggirkan. Tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Suaranya dipadamkan oleh sistem birokrasi yang hanya menghitung angka, bukan nilai.
Ironi Bangsa yang Gagal Menghargai Pendidik
Negara yang maju adalah negara yang menempatkan guru di posisi terhormat—bukan hanya secara simbolik, tapi secara sistemik. Tapi di negeri ini, guru seringkali harus antre sertifikasi, menunggu tunjangan cair, bahkan menjadi korban politik pendidikan yang berubah-ubah.
Lebih menyedihkan lagi, para alumni yang sukses—entah sebagai pejabat, pengusaha, atau selebritas—jarang sekali kembali untuk membangun sekolahnya, apalagi mengangkat harkat guru-gurunya.
Saatnya Mengubah Arah
Kesuksesan sejati bukan sekadar saat seseorang berdiri di puncak, tapi saat ia mengulurkan tangan ke bawah, membangkitkan orang-orang yang pernah membantunya naik.
Bagi para alumni sukses, kembalilah ke sekolahmu. Tengoklah gurumu. Bangun ruang baca, beasiswa, atau cukup hadir dan menyapa mereka dengan hormat. Itu sudah menjadi cahaya bagi hati yang pernah menyalakan lentera untukmu.
Bagi pemerintah dan pembuat kebijakan, hentikan memperlakukan guru sebagai alat sistem. Libatkan mereka dalam setiap keputusan pendidikan. Naikkan bukan hanya gaji mereka, tapi derajat dan peran mereka.
Dan bagi kita semua, mari kita mulai kembali budaya menghormati guru—bukan hanya di lisan, tapi dalam kebijakan, sikap, dan tindakan.
Penutup: Hormat yang Membentuk Peradaban
Guru bukan hanya profesi. Ia adalah pilar peradaban. Bangsa yang melupakan gurunya akan kehilangan akarnya. Maka, jika kita ingin membangun masa depan yang bermakna, kita harus mulai dengan menghormati mereka yang pernah membentuk kita—para guru.
Karena kesuksesan yang melupakan guru, pada akhirnya adalah kesuksesan yang kehilangan jiwa.