Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Meng-Indonesiakan Aceh oleh Bangsa Aceh

Minggu, 11 Mei 2025 | 17:04 WIB Last Updated 2025-05-11T10:05:08Z




Oleh: Azhari


“Aceh bukan daerah taklukkan, melainkan daerah yang diajak bergabung. Tapi akankah sejarah dan jatidiri itu tetap terjaga di tengah arus penyeragaman yang tanpa sadar kita terima?”

Sejarah adalah cermin yang tak pernah berbohong. Aceh, sejak abad ke-16, dikenal sebagai sebuah bangsa dengan kedaulatan yang diakui dunia. Ia berdiri tegak di bawah panji Sultan Iskandar Muda, menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani, Inggris, Belanda, hingga Kesultanan Mughal India. Nama besar Kesultanan Aceh Darussalam pernah membuat takut armada Portugis dan menggetarkan Selat Malaka. Aceh bukan daerah kecil yang dipaksa tunduk, tapi bangsa besar yang pernah bernegara.

Namun, pasca kolonialisme dan proklamasi 1945, narasi sejarah Aceh mulai dipangkas. Dari bangsa berdaulat menjadi "daerah paling barat Indonesia." Kedaulatan yang dulu dipertahankan dengan darah, kemudian diikat dalam perjanjian-perjanjian politik. Perjuangan bangsa Aceh untuk mempertahankan jatidirinya kerap disalahartikan sebagai separatisme, padahal yang diperjuangkan adalah eksistensi nilai, adat, hukum, dan identitas bangsa yang hampir punah di tangan gelombang nasionalisme seragam.

Hari ini, kita menyaksikan sebuah proses perlahan: Aceh yang meng-Indonesiakan dirinya. Bukan karena paksaan, tapi karena lupa akar sejarahnya. Lupa bahwa Aceh bukan sekadar provinsi administratif, melainkan bangsa yang dulu memberi darah pertama bagi kemerdekaan Indonesia.

Dari Proklamasi Hingga MoU Helsinki: Bangsa Aceh dalam Dilema

Ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Aceh langsung menyatakan dukungan. Bukan tanpa alasan, sebab Bung Karno dikenal dekat dengan ulama Aceh seperti Tengku Daud Beureueh. Aceh bahkan menyumbang pesawat pertama RI, Seulawah. Namun di balik loyalitas itu, ada harapan: Indonesia akan memberi ruang khusus bagi Aceh menjaga adat, agama, dan hukumnya.

Fakta berkata lain. Ketika otonomi dijanjikan, Jakarta lebih sibuk merapikan administrasi pusat-daerah ketimbang menghormati perjanjian politik. Pemerintah pusat lupa bahwa Aceh dulu negara, bukan sekadar wilayah. Tak heran jika sepanjang dekade 1950-an, pemberontakan Darul Islam/TII Aceh meletus, dan diikuti konflik bersenjata GAM yang panjang hingga 2005. Semua berangkat dari luka yang sama: Aceh merasa diperlakukan bukan sebagai mitra, tapi subordinat.

MoU Helsinki 2005 menjadi perjanjian damai yang mengakhiri konflik bersenjata. Tapi damai bukan berarti selesai. Bangsa Aceh kini berada dalam fase baru: perlahan meng-Indonesiakan dirinya sendiri, di tengah euforia politik lokal dan otonomi khusus yang belum menyentuh esensi kedaulatan sosial-budaya.

Meng-Indonesiakan Diri: Ketika Nilai Lama Ditukar Seragam Nasional

Hari ini, Aceh mulai kehilangan jati dirinya. Bahasa Aceh di kota-kota besar tergeser bahasa Indonesia. Adat istiadat perlahan dipermudah demi selera modern. Syariat Islam, yang dulu menjadi identitas sakral, seringkali hanya menjadi alat retorika politik.

Bangsa Aceh —yang seharusnya merawat kemuliaan sejarahnya— justru terjebak dalam dilema eksistensi. Banyak anak muda Aceh yang lebih hafal nama-nama pahlawan nasional ketimbang ulama pejuang Aceh. Banyak tokoh publik Aceh lebih sibuk berebut jabatan daripada menyusun narasi budaya bangsanya.

Kita sedang menyaksikan proses meng-Indonesiakan Aceh bukan lagi lewat tekanan pusat, tapi lewat kelengahan bangsa Aceh sendiri. Kita terlalu cepat melupakan sejarah, terlalu mudah menukar prinsip dengan fasilitas, terlalu sibuk menjadi ‘bagian dari Indonesia’ tanpa menyadari bahwa Aceh juga pernah memiliki Indonesia-nya sendiri: nilai-nilai persaudaraan, keadilan sosial, dan kedaulatan hukum berbasis syariat.

Refleksi: Indonesia Boleh Satu, Tapi Aceh Tetap Harus Berbeda

Meng-Indonesiakan Aceh bukan berarti menyeragamkan. Indonesia dideklarasikan sebagai negara kebangsaan yang berbhineka. Aceh memiliki ruang istimewa yang diakui konstitusi dan hukum internasional pasca MoU Helsinki. Tapi hak istimewa itu tidak berarti jika masyarakat Aceh sendiri tidak memaknainya.

Sudah saatnya bangsa Aceh merumuskan ulang peta jalannya. Bangsa ini harus kembali kepada sejarahnya, bukan dalam rangka memberontak, tapi merawat jatidiri agar tidak larut dalam arus nasionalisme kosong yang cenderung meniadakan perbedaan.

Seperti Turki Utsmani dulu, yang mampu menjadi kekuatan besar karena mengakui keragaman bangsa-bangsa di bawah panjinya, Indonesia pun hanya akan kuat jika ruang untuk perbedaan benar-benar dijaga. Aceh tidak perlu malu dengan masa lalunya. Sebaliknya, masa lalu itu harus menjadi kompas untuk menentukan masa depan.

Bangsa Aceh bukan bangsa inferior yang harus diseragamkan. Bangsa Aceh adalah bangsa bermartabat yang layak dihormati dalam keragaman nusantara.

Penutup: Aceh untuk Indonesia, Indonesia untuk Aceh

Hari ini, bangsa Aceh harus memilih: menjadi bangsa yang sekadar tinggal nama di museum sejarah, atau menjadi bangsa yang tetap hidup dalam nafas dan budaya masyarakatnya. Meng-Indonesiakan Aceh tanpa memahami akar sejarahnya adalah mengubur satu bagian penting dari tubuh Indonesia itu sendiri.

Sebagai bangsa yang pernah bernegara, Aceh punya tanggung jawab moral, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Indonesia. Karena Aceh yang kuat, bermartabat, dan berbudaya akan menjadi tiang penyangga Indonesia yang adil dan bermartabat.

Aceh untuk Indonesia, Indonesia untuk Aceh. Bukan Aceh dalam Indonesia yang kehilangan dirinya.


 Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh