Sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda diwarnai oleh kisah kepahlawanan yang penuh keberanian dan pengorbanan. Salah satu nama yang tercatat dalam tinta emas sejarah Aceh adalah Teuku Nyak Makam, seorang panglima perang yang gigih mempertahankan tanah leluhurnya dari cengkeraman penjajahan. Sosoknya menjadi simbol keberanian dan harga diri bangsa Aceh, hingga nyawanya harus dibayar mahal oleh kekejaman kolonial. Inilah kisah perjuangan dan gugurnya Teuku Nyak Makam di tangan Belanda.
Diangkat Menjadi Panglima Mandala Kerajaan Aceh
Teuku Nyak Makam merupakan salah satu panglima perang Kerajaan Aceh yang mendapat kepercayaan penuh dari Sultan Aceh untuk memimpin perlawanan di kawasan timur Aceh. Wilayah tugasnya meliputi Aceh Timur, Langkat, dan Deli — kawasan yang saat itu termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Aceh sebelum kemudian masuk wilayah Sumatera Timur.
Jabatan yang disandangnya adalah Mudabbiru Syarqiah, sebuah posisi penting sebagai penegak kedaulatan Aceh di kawasan timur sekaligus Panglima Mandala Kerajaan Aceh. Dengan kecerdikan, kemampuan strategi, serta keberanian luar biasa, Teuku Nyak Makam mampu membuat kekuatan kolonial Belanda gentar. Dalam penilaian Belanda, setiap orang Aceh setara dengan seratus tentara mereka. Namun, Teuku Nyak Makam dianggap lebih dahsyat — sepuluh kali lipat dari itu, atau setara dengan seribu tentara Belanda.
Ketakutan Belanda dan Strategi Licik
Keberanian Teuku Nyak Makam dan pasukannya membuat Belanda terus mencari celah untuk melemahkan perlawanan rakyat Aceh di kawasan timur. Hingga suatu hari, pada bulan Juli 1896, kabar sampai ke telinga Belanda bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sedang jatuh sakit berat di desa Lamnga. Kondisi ini segera dimanfaatkan oleh pihak Belanda sebagai momentum untuk melumpuhkan salah satu panglima paling berbahaya yang mereka hadapi.
Pada 21 Juli 1896, Letnan Kolonel G.F. Soeters memimpin pasukan besar, terdiri atas sekitar 2.000 tentara Belanda, untuk menyerbu Lamnga. Serangan ini dilakukan secara mendadak, dengan taktik kepungan dan kerjasama detasemen dari batalion yang ditempatkan di Kuala Gigieng.
Serangan Brutal ke Lamnga
Desa Lamnga, yang saat itu dihuni oleh perempuan, anak-anak, dan orang tua, tidak siap menghadapi serangan sebesar itu. Dalam situasi mencekam tersebut, Teuku Nyak Makam yang tengah sakit parah hanya bisa terbaring lemah di tempat peristirahatannya. Belanda dengan kejam mengepung rumah panglima itu, menyeret istri, anak, serta para penduduk desa, kemudian menggiring mereka di bawah ancaman senjata.
Teuku Nyak Makam diangkat dalam keadaan tidak berdaya di atas tandu. Sang istri dan penghuni lainnya dipaksa mengikuti iring-iringan tentara Belanda menuju kampung Gigieng, tempat Letnan Kolonel Soeters menunggu.
Syahid Dipancung dalam Keadaan Sakit
Di hadapan keluarga, rakyat Lamnga, dan para prajurit Belanda, Teuku Nyak Makam yang sudah lemah tidak diberi kesempatan berbicara atau membela diri. Letnan Kolonel Soeters dengan kejam memancung kepala Teuku Nyak Makam, yang saat itu masih terbaring di atas tandunya, dalam kondisi terikat.
Namun kekejaman tak berhenti di situ. Atas perintah Kolonel Stemfoort, kepala panglima yang baru saja dipancung itu dimasukkan ke dalam toples besar berisi cairan alkohol, lalu dibawa ke Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Kepala tersebut dipajang di beranda belakang Rumah Sakit Tentara Belanda (kini Rumah Sakit Kesdam Banda Aceh). Kisah tragis ini tercatat dalam sejumlah laporan militer dan catatan Belanda pada masa itu.
Tubuh Teuku Nyak Makam kemudian dicincang secara bergiliran oleh 2.000 tentara Belanda, yang dengan semangat liar berusaha menuntaskan dendam kolonial terhadap panglima Aceh yang telah lama menjadi momok menakutkan bagi mereka.
Kesaksian yang Mengiris Hati
Istri dan anak Teuku Nyak Makam menjadi saksi langsung kekejaman tersebut. Tidak hanya itu, penduduk desa Lamnga digiring secara paksa untuk menyaksikan eksekusi pemimpin mereka di Kuala Gigieng. Peristiwa ini merupakan salah satu episode paling gelap dalam sejarah perlawanan Aceh terhadap Belanda.
Jejak Kepahlawanan Teuku Nyak Makam
Meskipun Belanda berhasil membunuh Teuku Nyak Makam, tetapi keberanian dan semangat juangnya tetap hidup dalam ingatan rakyat Aceh. Kisahnya menjadi inspirasi bagi generasi Aceh setelahnya untuk terus mempertahankan martabat dan kehormatan bangsa. Panglima ini bukan hanya dikenal sebagai pemimpin perang, tapi juga simbol harga diri, kehormatan, dan pengorbanan.
Dalam sejarah panjang perlawanan Aceh, nama Teuku Nyak Makam berdiri sejajar dengan para panglima besar lainnya seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Sultan Iskandar Muda. Sayangnya, kisahnya tidak terlalu banyak terdokumentasikan dalam buku-buku sejarah nasional, dan lebih banyak bertahan dalam catatan-catatan lokal serta tradisi lisan masyarakat Aceh.
Penutup
Perjalanan hidup dan syahidnya Teuku Nyak Makam menjadi pengingat bahwa harga diri sebuah bangsa tak bisa dibeli dengan ketakutan ataupun kekerasan. Meski tubuhnya hancur di tangan penjajah, tetapi semangat perlawanan dan cintanya kepada tanah air terus menyala dalam ingatan generasi Aceh hingga kini.
Mengenang Teuku Nyak Makam bukan sekadar membuka lembar sejarah, tetapi juga meneguhkan komitmen kita untuk menjaga kehormatan, keberanian, dan kedaulatan di tanah yang dulu ia pertahankan hingga titik darah penghabisan.