Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Arti Hidup Bila Sejarah Hilang

Kamis, 01 Mei 2025 | 19:29 WIB Last Updated 2025-05-01T13:09:16Z




Oleh: Azhari

Di antara derap langkah modernitas, di bawah gemerlap lampu-lampu kemajuan, terkadang manusia lupa bertanya: untuk apa semua ini? Apa makna sebuah hidup jika sejarah yang melahirkan kita pelan-pelan lenyap, dilupakan, atau sengaja dihapuskan? Sejarah bukan sekadar tumpukan kisah usang di lemari tua. Ia adalah nadi dari sebuah bangsa, akar dari identitas, dan roh yang menjaga harga diri manusia tetap tegak di hadapan waktu.

Hari ini, terlalu banyak manusia hidup seakan dunia baru saja lahir di zamannya. Mereka tak tahu, tak peduli, atau bahkan enggan menyentuh lembar-lembar kisah masa lalu. Generasi digital hidup dalam kecepatan, mengejar tren, viralitas, dan kepuasan instan — lupa bahwa dirinya adalah anak-anak dari waktu yang panjang, pewaris kisah yang seharusnya mereka jaga.

Sejarah Sebagai Akar Identitas

Sejarah adalah fondasi identitas. Kita mengenal diri bukan hanya dari apa yang kita lakukan hari ini, tapi juga dari siapa yang mendahului kita, nilai apa yang mereka perjuangkan, dan luka apa yang pernah ditanggung dalam perjalanan panjang peradaban ini. Tanpa itu, manusia seperti pohon tanpa akar — rapuh, mudah tumbang diterpa angin zaman.

Di tanah-tanah yang sejarahnya diabaikan, nilai-nilai luhur menjadi barang langka. Tradisi dilihat sebagai penghambat, bukan warisan kearifan. Orang-orang hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, mengejar status sosial, tanpa menyadari bahwa dirinya bagian dari kisah panjang umat manusia. Akibatnya, rasa malu, harga diri, dan keberanian untuk berkata benar jadi barang mewah. Semua diukur dengan uang, kekuasaan, dan popularitas.

Ketika Sejarah Hilang, Makna Hidup Meredup

Apa arti hidup bila tak ada lagi yang bisa dijadikan pelajaran? Saat sejarah dihilangkan dari ruang pendidikan, dihapus dari diskusi publik, atau dipelintir demi kepentingan segelintir orang, maka lahirlah generasi kosong. Mereka yang pintar tapi tak bijak. Cerdas tapi mudah dikuasai. Terampil tapi kehilangan jati diri.

Bangsa yang kehilangan sejarahnya, perlahan kehilangan harga diri. Mereka jadi bangsa pengekor, tanpa kemampuan membaca arah, apalagi menentukan nasib sendiri. Karena tak tahu dari mana mereka datang, maka mereka pun tak tahu hendak ke mana melangkah.

Di titik inilah, hidup kehilangan maknanya. Hidup hanya menjadi rutinitas tanpa arah: bekerja, makan, tidur, dan menua. Tak ada semangat untuk berkorban, tak ada hasrat memperbaiki, tak ada cinta terhadap tanah air, karena tak tahu apa yang pernah diperjuangkan oleh para leluhur.

Sejarah: Cermin dan Kompas

Sejarah sesungguhnya adalah cermin. Di sana, manusia bisa melihat wajah asli kemanusiaannya. Melihat dosa-dosa masa lalu, kebijaksanaan para pendahulu, tragedi, pengkhianatan, dan keberanian yang pernah ada. Dari cermin itu, manusia belajar agar tak mengulangi luka yang sama, agar tahu kapan harus berhenti, kapan harus melawan, dan kapan harus bertahan.

Sejarah juga kompas. Ia menunjukkan arah, mengingatkan bahwa bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tak pernah kalah, tapi bangsa yang belajar dari setiap kekalahannya. Bahwa keadilan dan kemanusiaan adalah warisan nilai, bukan sekadar slogan.

Sayangnya, di banyak tempat, sejarah bukan lagi kompas, melainkan menjadi alat politik kekuasaan. Disusun ulang, dipoles, atau bahkan dihapus demi memperkuat narasi tertentu. Di sinilah makna hidup kolektif itu mulai hilang, sebab masyarakat dipaksa hidup dalam kebohongan yang diwariskan turun-temurun.

Bangsa Tanpa Sejarah, Bangsa Tanpa Masa Depan

Sudah terlalu banyak contoh bangsa-bangsa yang runtuh karena melupakan sejarahnya. Ketika nilai-nilai luhur ditinggalkan, saat kearifan lokal dianggap usang, dan para pejuang dikenang hanya di upacara formal tanpa dihayati perjuangannya, maka itulah awal kehancuran.

Bangsa yang kuat bukanlah yang paling kaya atau paling maju teknologinya, tapi yang paling sadar akan sejarahnya. Karena dari sanalah keberanian, harga diri, dan ketahanan sosial dibangun. Tanpa itu, sehebat apa pun kekayaan dan kecanggihan, tetap saja akan mudah hancur oleh waktu.

Refleksi di Tengah Modernitas

Hari ini, kita hidup di zaman serba cepat. Informasi datang tanpa henti. Generasi muda lebih hafal nama-nama selebritas digital daripada pahlawan bangsanya sendiri. Lebih akrab dengan jargon-jargon pop culture ketimbang hikmah dari kisah-kisah besar sejarah.

Mereka lupa bahwa jalan menuju kebebasan yang mereka nikmati hari ini dibangun di atas darah, air mata, dan keberanian orang-orang yang mungkin namanya bahkan tak pernah masuk buku sejarah. Bahwa kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan bukan hadiah, tapi hasil dari pertaruhan panjang yang disulam oleh sejarah.

Jika ini terus dibiarkan, maka bukan mustahil dalam beberapa dekade ke depan, manusia akan hidup tanpa pedoman. Tanpa rasa malu saat menjual harga dirinya, tanpa risih saat menukar prinsip demi kenyamanan sesaat.

Hidup Bermakna Karena Sejarah

Sejarah membuat manusia sadar bahwa hidup bukan sekadar soal hari ini. Ada tanggung jawab untuk menjaga warisan nilai, memperbaiki kesalahan masa lalu, dan meneruskan estafet kebaikan. Hidup menemukan maknanya saat manusia tahu dirinya bagian dari rantai waktu yang panjang, bukan sekadar butiran debu yang hilang ditelan angin.

Sejarah membuat manusia bersyukur, sebab ia tahu betapa sulitnya leluhurnya memperjuangkan hak-hak yang hari ini diterima dengan mudah. Sejarah mengajarkan manusia untuk lebih bijak, sebab ia tahu bahwa setiap tindakan hari ini akan menjadi sejarah esok hari.

Hidup tanpa sejarah adalah hidup tanpa makna. Seperti laut tanpa gelombang, langit tanpa bintang, dan hati tanpa cinta.

Akhir Kata

Kini saatnya kita bertanya kembali kepada diri sendiri: apa arti hidup bila sejarah hilang? Bila semua nilai diwariskan hanya berupa harta, bukan kisah, bukan hikmah, bukan kebijaksanaan?

Karena sejatinya, kemajuan tanpa sejarah adalah kemajuan yang membunuh kemanusiaan itu sendiri. Dan hidup tanpa sejarah adalah hidup yang kehilangan makna, sebab kita hanya menjadi manusia tanpa akar — terombang-ambing di lautan waktu, tanpa tahu dari mana datang, dan ke mana seharusnya pulang.

Mari kita jaga sejarah. Sebab di sanalah kita mengenal makna hidup yang sesungguhnya.