Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aceh: Merdeka atau Perang, Masihkah Pilihan Itu Ada di Zaman Ini

Kamis, 01 Mei 2025 | 19:53 WIB Last Updated 2025-05-01T13:08:45Z

Foto copas di Facebook 



Oleh:  Azhari 

Sejak zaman Iskandar Muda hingga Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Hasan Tiro, Aceh dikenal sebagai negeri yang hanya mengenal dua jalan: merdeka atau perang. Kalimat ini bukan sekadar slogan politik, tapi warisan mental, nilai, dan harga diri yang turun-temurun diwariskan dalam urat nadi orang Aceh.

Di atas tanah inilah, lebih dari seratus ribu syuhada tumpah darah demi satu kata: beusaboh! (merdeka). Bahkan dalam catatan sejarah kolonial, Aceh dikenal sebagai negeri yang paling lama, paling berat, dan paling berdarah mempertahankan kemerdekaannya di Nusantara.

Dua Jalan Aceh: Sejarah Darah dan Harga Diri

Ketika Belanda datang dengan tipu muslihat dan meriam, Aceh menolak tunduk. Negeri lain mungkin bisa dijajah dalam hitungan bulan atau tahun, tapi Aceh butuh 70 tahun lebih untuk ditundukkan. Bukan karena Aceh memiliki senjata canggih, tapi karena orang Aceh punya satu keyakinan: hidup dalam kehormatan atau mati syahid di medan perang.

Itulah mengapa, saat Indonesia merdeka 1945, sebagian besar rakyat Aceh mendukung. Bukan karena cinta buta, tapi karena melihat peluang bersama membangun sebuah negeri tanpa penjajahan. Namun, tak lama kemudian, luka mulai terbuka. Janji-janji Jakarta banyak diingkari. Aspirasi Aceh sering diabaikan. Agama, adat, dan politik Aceh dipreteli secara perlahan. Puncaknya, pada 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan GAM — melanjutkan spirit lama: merdeka atau perang.

MoU Helsinki: Damai atau Diam?

Konflik bersenjata antara GAM dan RI berlangsung lebih dari dua dekade. Puluhan ribu jiwa melayang, ribuan perempuan Aceh menjadi janda, anak-anak kehilangan ayah, dan ekonomi Aceh lumpuh. Hingga akhirnya, tsunami 2004 yang menggulung Aceh menjadi titik balik. Jakarta dan GAM duduk di meja perundingan. Lahir MoU Helsinki 15 Agustus 2005 — sebuah perjanjian damai yang dianggap sebagai jalan keluar.

Tapi hingga kini, pertanyaan paling jujur di hati orang Aceh belum pernah benar-benar dijawab:
Apakah Aceh damai karena ikhlas, atau karena lelah dan dipaksa diam?

Aceh Pasca MoU: Otonomi yang Dipreteli

Dalam butir MoU Helsinki, Aceh dijanjikan otonomi khusus dengan kewenangan luas. Aceh boleh memiliki bendera, lambang, qanun syariat, dan mengatur dirinya dalam bingkai NKRI. Nyatanya, sampai 20 tahun kemudian, banyak butir MoU yang mandek.
Bendera Aceh tak kunjung diakui pusat. Qanun syariat sering diintervensi. Dana Otsus dibatasi. Kekuasaan elit politik lokal justru lebih sibuk berbagi jabatan ketimbang memperjuangkan hak-hak Aceh. Rakyat kecil tetap miskin, sumber daya alam dikeruk orang luar, dan pemuda Aceh hidup dalam pilihan semu.

Di sinilah muncul pertanyaan serius:
Masihkah relevan pilihan Aceh merdeka atau perang di zaman ini?

Perang Bukan Lagi Soal Senjata

Zaman berubah. Di era digital, perang bukan lagi soal senjata dan peluru. Hari ini, penjajahan dilakukan lewat ekonomi, informasi, budaya, dan regulasi. Aceh bisa saja merdeka secara fisik, tapi mentalnya dijajah. Bisa saja benderanya berkibar, tapi ekonominya dikuasai korporasi luar.

Perang di zaman ini adalah perang ideologi, perang harga diri, perang merebut martabat di atas meja perundingan nasional dan internasional.
Merdeka hari ini bukan sekadar soal wilayah, tapi soal kedaulatan pikiran dan ekonomi.

Jika hari ini Aceh masih jadi wilayah termiskin di Sumatera meski sumber daya alamnya berlimpah, itu berarti Aceh belum sepenuhnya merdeka.

Jika hari ini qanun Aceh dilemahkan pelan-pelan, itu berarti Aceh masih dijajah secara hukum.

Jika hari ini pemuda Aceh lebih bangga jadi buruh di luar negeri ketimbang membangun tanah sendiri, itu berarti mental penjajahan masih bercokol.

Jalan Baru: Merdeka Dalam Pikiran, Berdaulat Dalam Ekonomi

Aceh harus belajar dari sejarah panjangnya. Bila dulu musuh datang dengan meriam, kini datang dengan investasi. Bila dulu menginjak harga diri lewat tentara, kini lewat regulasi pusat. Maka Aceh harus perang, tapi bukan lagi perang angkat senjata, melainkan perang merebut martabat di semua lini: ekonomi, pendidikan, hukum, dan budaya.

Aceh bisa merdeka secara ekonomi dengan mengelola sumber dayanya sendiri, membangun koperasi rakyat, memberdayakan anak muda, dan memperkuat jaringan perdagangan internasional yang dulu pernah dimiliki Kesultanan Aceh. Aceh bisa perang dalam politik nasional dengan menghadirkan figur-figur tangguh yang punya nyali bicara atas nama Aceh, bukan hanya menjadi pelengkap kursi kekuasaan.

Ketakutan Jakarta dan Ketegasan Aceh

Jakarta selalu waspada kalau Aceh bicara soal bendera, referendum, atau merdeka. Karena sejarah telah membuktikan, Aceh bukan daerah biasa. Tapi, Aceh tak perlu terjebak pada romantisme masa lalu. Aceh harus tampil sebagai daerah yang kuat secara ekonomi, berdaulat secara hukum adat, dan cerdas dalam diplomasi.

Ketegasan Aceh bukan berarti memberontak secara fisik, tapi menyusun kekuatan dengan rapi. Memperkuat ekonomi rakyat, memperbaiki kualitas pendidikan, dan menguasai teknologi. Saat Aceh kuat di dalam, Jakarta tak akan bisa menekan seenaknya.
Itulah merdeka yang hakiki di zaman ini.

Akhir Kata: Pilihan Itu Masih Ada

Pertanyaan “Aceh merdeka atau perang?” masih relevan hingga kini. Hanya saja, bentuknya yang harus disesuaikan. Perang hari ini adalah perang akal, perang informasi, perang ekonomi, dan perang budaya. Aceh boleh kalah di medan tempur dulu, tapi Aceh tak boleh kalah di meja masa depan.

Dan pada akhirnya, jika semua jalan tertutup, jika harga diri diinjak, jika martabat dihina, maka takdir sejarah Aceh akan kembali ke jalan asalnya. Seperti kata Hasan Tiro:
"Jika Aceh tidak diberikan keadilan, sejarah akan memanggil anak-anaknya untuk bangkit."

Pertanyaan pentingnya, siapa yang masih berani?
Siapa yang masih peduli?
Dan siapa yang rela mati untuk itu?

Karena Aceh hanya mengenal dua: hidup mulia atau syahid di jalan perjuangan.