Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dulu Aceh Disebut "Negara Adidaya", Kini Aceh Kemana?

Sabtu, 03 Mei 2025 | 10:50 WIB Last Updated 2025-05-03T03:50:45Z
Aceh dalam lintasan sejarah pernah menjadi salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara. Kesultanan Aceh Darussalam di abad ke-16 hingga ke-17 dikenal luas sebagai pusat perdagangan, kekuatan militer maritim, dan pusat ilmu pengetahuan Islam. Tak berlebihan jika sejarawan menyebut Aceh kala itu sebagai “negara adidaya” di kawasan. Kapal-kapal dagang dan perangnya menjangkau jauh, hubungan diplomatiknya terjalin hingga ke Turki Utsmani, India, Belanda, dan Inggris. Aceh kala itu bukan sekadar wilayah, tetapi peradaban yang disegani.

Namun kini, pertanyaannya: kemana Aceh setelah semua kejayaan itu?

Dari Pusat Peradaban ke Bayang-Bayang Konflik

Setelah era kesultanan, Aceh mengalami berbagai babak penderitaan. Penjajahan Belanda memicu perlawanan panjang yang tak pernah padam. Lalu di era Indonesia merdeka, Aceh kembali bergolak, merasa dipinggirkan, hingga munculnya gerakan separatisme. Konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun membuat Aceh terjebak dalam pusaran kekerasan, trauma, dan keterbelakangan.

Aceh Pasca Damai: Potensi yang Masih Tertahan

Damai Helsinki tahun 2005 membuka harapan baru. Aceh diberi otonomi khusus, dana besar dari pusat mengalir, Qanun-Qanun lahir, dan pemerintahan lokal dipimpin oleh orang Aceh sendiri. Namun setelah hampir dua dekade perdamaian, apa hasilnya?

Angka kemiskinan masih tinggi dibanding provinsi lain.

Korupsi merajalela di tubuh birokrasi daerah.

Sumber daya alam dieksploitasi, namun rakyat di sekitar tetap hidup kekurangan.

Generasi muda mulai kehilangan harapan dan identitas Aceh yang kuat perlahan memudar.

Aceh seperti terjebak di antara nostalgia kejayaan masa lalu dan kenyataan masa kini yang tak kunjung menemukan arah yang tegas.

Apa yang Harus Dilakukan?

1. Reformasi Total Tata Kelola Pemerintahan. Otonomi bukan berarti leluasa korupsi, tapi peluang membangun Aceh yang adil dan mandiri. Transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan.

2. Bangkitkan Kembali Jati Diri Aceh. Pendidikan, budaya, dan sejarah Aceh harus menjadi fondasi membangun generasi muda yang bangga menjadi bagian dari Aceh.

3. Kelola SDA dengan Adil dan Berkelanjutan. Rakyat Aceh harus jadi tuan di tanah sendiri, bukan hanya jadi penonton dari eksploitasi tambang dan sawit.

4. Tingkatkan Peran Ulama dan Cendekiawan. Aceh pernah besar karena memadukan kekuatan ilmu dan iman. Kini, Aceh perlu ulama yang progresif dan intelektual yang membumi.

Aceh Hari Ini: Simpang Jalan antara Lupa dan Bangkit

Aceh bisa kembali jadi “adidaya”—bukan dalam arti militer atau dominasi, tapi dalam peran strategis, kekuatan budaya, dan nilai-nilai yang ditawarkannya. Tapi itu hanya akan terjadi bila Aceh keluar dari jebakan masa lalu dan berani menatap masa depan dengan visi yang jelas, kepemimpinan yang jujur, dan tekad kolektif untuk bangkit.

Aceh bukan daerah biasa. Ia adalah warisan sejarah, sekaligus janji masa depan. Kini tinggal rakyat dan pemimpinnya—mau ke mana Aceh diarahkan?