Di dunia yang serba cepat ini, banyak orang terpanggil untuk berbuat baik. Mereka ingin membantu sesama, memperbaiki keadaan, dan hadir sebagai solusi di tengah masyarakat yang penuh persoalan. Niat baik itu mulia. Tapi sayangnya, tidak semua niat baik berakhir dengan kebaikan. Ada kalanya, niat baik justru berubah menjadi malapetaka karena dilakukan tanpa ilmu yang memadai.
Kita sering dengar ungkapan, "Yang penting kan niatnya baik." Kalimat ini seakan menjadi pembelaan ketika sebuah tindakan berujung masalah. Padahal dalam kenyataannya, niat baik tanpa ilmu bisa lebih berbahaya dibanding niat buruk yang tidak terlaksana.
Niat Baik yang Salah Arah
Seorang pemuda yang ingin menyembuhkan orang sakit, tapi tidak tahu cara pengobatan, bisa saja memperburuk keadaan. Seorang yang ingin menengahi konflik tanpa memahami situasi, bisa jadi malah memperbesar api permusuhan. Seorang yang ingin menolong orang miskin, tapi caranya tidak tepat, bisa menumbuhkan ketergantungan alih-alih kemandirian.
Itulah sebabnya, dalam agama, adat, maupun ilmu sosial, kita diajarkan pentingnya ilmu sebelum bertindak. Rasulullah SAW sendiri bersabda: "Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka wajib baginya berilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan akhirat, wajib baginya berilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka wajib baginya berilmu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebaikan bukan sekadar niat, tapi juga soal ketepatan cara, waktu, dan dampak jangka panjang.
Ilmu Mengatur Arah Kebaikan
Ilmu bukan hanya soal gelar akademik atau teori di buku teks. Ilmu bisa berupa pemahaman terhadap situasi sosial, nilai budaya, karakter individu, dan dampak psikologis atas tindakan kita. Dengan ilmu, seseorang bisa memilah: kapan harus membantu, bagaimana caranya, dan kepada siapa bantuan itu diberikan.
Misalnya, seorang dermawan ingin membangun sebuah rumah singgah bagi anak jalanan. Jika tanpa ilmu tentang manajemen sosial, perlindungan anak, dan regulasi hukum, bisa jadi niat baik itu malah menimbulkan masalah hukum, konflik sosial, atau penyalahgunaan fasilitas. Padahal niatnya murni ingin menolong.
Begitu pula di dunia digital. Banyak orang menyebarkan informasi tanpa cek kebenaran, hanya karena niatnya ingin berbagi kabar baik. Hasilnya? Hoaks merajalela, keresahan tumbuh, bahkan fitnah pun tak terhindarkan. Semua berawal dari niat baik yang tak dibekali ilmu.
Ketika Niat Baik Menjadi Jahat
Sejarah penuh dengan contoh niat baik yang berakhir jahat karena tak dilandasi ilmu. Kolonialisme modern dulu berdalih ingin “membawa peradaban” ke negeri jajahan. Padahal di balik itu, terjadi penindasan, perampokan sumber daya, dan penghancuran budaya lokal. Semua dibungkus dengan istilah mulia: "misi penyelamatan".
Di level paling sederhana, banyak orangtua yang niatnya ingin anaknya sukses, tapi tanpa ilmu parenting yang tepat, mereka memaksakan kehendak, mematahkan potensi, dan membuat anak tertekan. Niat baiknya merusak masa depan.
Belajar Dulu, Bertindak Kemudian
Dalam kehidupan, tak semua masalah harus langsung ditangani hanya karena kita merasa terpanggil. Ada masalah yang butuh diselami akar persoalannya. Ada tindakan baik yang harus dipikirkan dampak jangka panjangnya. Di sinilah pentingnya ilmu — agar tindakan baik tidak melahirkan luka.
Belajarlah sebelum bertindak. Bertanyalah sebelum berasumsi. Pahami konteks sebelum memutuskan. Karena kebaikan yang tidak tepat bisa menjadi sumber malapetaka, sementara kebaikan yang didasari ilmu bisa menjadi solusi sejati.
Penutup
Niat baik itu penting, tapi tidak cukup. Ia harus ditemani ilmu, kebijaksanaan, dan pemahaman yang utuh terhadap situasi. Barulah sebuah niat baik benar-benar menjadi kebaikan yang membawa manfaat, bukan sekadar tindakan impulsif yang meninggalkan kerusakan.
Mari kita belajar sebelum bergerak, memahami sebelum menolong, dan berpikir sebelum bertindak. Karena di dunia ini, niat baik tanpa ilmu bisa lebih membahayakan daripada niat buruk yang tak terlaksana.