Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hari Buruh dan Tantangan di Era Digital

Jumat, 02 Mei 2025 | 10:02 WIB Last Updated 2025-05-02T03:03:08Z




Oleh:  Azhari 

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan kelas pekerja dalam meraih hak dan kesejahteraan. Sejarah mencatat bahwa peringatan ini lahir dari perjuangan buruh di Chicago, Amerika Serikat pada 1886, yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Tuntutan itu bukan sekadar soal angka, melainkan simbol perlawanan terhadap ketimpangan dan eksploitasi yang mewarnai sistem kapitalisme kala itu.

Di Indonesia, Hari Buruh kembali dijadikan hari libur nasional sejak 2013, sebagai bentuk penghormatan terhadap kontribusi buruh dalam pembangunan bangsa. Namun kini, seiring masuknya era digital dan Revolusi Industri 4.0, wajah dunia kerja berubah drastis. Tantangan yang dihadapi para pekerja bukan lagi semata upah murah atau jam kerja panjang, tetapi juga ancaman kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi, algoritma yang menentukan nasib buruh lepas, hingga ketidakjelasan status di dunia digital.

Pergeseran Dunia Kerja di Era Digital

Era digital memperkenalkan model ekonomi baru berbasis platform digital, seperti ojek daring, layanan pesan antar, freelance marketplace, hingga kerja jarak jauh (remote working). Model ini membuka peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, teknologi menawarkan fleksibilitas kerja dan lapangan usaha baru. Di sisi lain, muncul ancaman eksploitasi modern berbentuk gig economy, di mana pekerja diposisikan sebagai mitra tanpa perlindungan hukum layaknya karyawan tetap.

Para pekerja digital, seperti driver ojek online, penulis lepas, desainer grafis freelance, hingga content creator, rentan terhadap ketidakpastian pendapatan, jam kerja tidak teratur, hingga risiko kesehatan mental akibat tekanan algoritma platform. Buruh digital bukan lagi terikat pabrik, tetapi terikat oleh rating, bintang, dan performa di dunia maya.

Masalah Perlindungan Hukum dan Sosial

Salah satu problem mendasar di era digital adalah ketertinggalan regulasi ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan yang ada saat ini masih berorientasi pada pola hubungan kerja konvensional. Sementara buruh digital, terutama pekerja platform, seringkali tidak diakui sebagai pekerja formal. Status sebagai mitra membuat mereka tidak berhak atas jaminan sosial, asuransi, cuti, atau tunjangan hari tua.

Padahal, secara faktual, mereka bekerja penuh waktu dengan risiko tinggi. Ketika kecelakaan, kehilangan akun, atau platform tempat mereka bekerja bangkrut, tidak ada jaminan hukum yang berpihak. Inilah ironi baru buruh era digital: bekerja tanpa perlindungan.

Tekanan Otomatisasi dan Artificial Intelligence

Tantangan lain adalah ancaman otomatisasi. Artificial Intelligence (AI) telah menggantikan banyak peran manusia di bidang manufaktur, administrasi, bahkan layanan publik. Chatbot mengambil alih peran customer service, mesin otomatis menggantikan teller bank, hingga AI yang bisa menulis artikel, membuat desain, bahkan menganalisis data.

Pekerja kerah putih pun tidak sepenuhnya aman. Dalam beberapa tahun ke depan, pekerjaan akuntan, analis data, dan penerjemah mulai digeser oleh teknologi cerdas. Situasi ini menuntut adaptasi cepat melalui peningkatan keterampilan (upskilling) dan peralihan kompetensi (reskilling).

Peran Serikat Buruh Digital

Dalam konteks ini, gerakan buruh pun harus bertransformasi. Serikat pekerja perlu merambah sektor digital dengan membentuk asosiasi atau wadah advokasi khusus bagi pekerja platform. Beberapa negara sudah memulainya. Di Inggris, misalnya, ada App Drivers & Couriers Union (ADCU) yang memperjuangkan hak driver aplikasi.

Di Indonesia, upaya ini masih terbatas. Beberapa komunitas ojek online dan pekerja lepas mulai membentuk paguyuban, namun belum kuat secara hukum. Pemerintah perlu hadir dengan merevisi regulasi ketenagakerjaan agar adaptif terhadap dinamika era digital.

Hari Buruh sebagai Momentum Refleksi

Hari Buruh bukan sekadar perayaan atau aksi turun ke jalan. Ia adalah momentum untuk merefleksikan ulang posisi buruh di tengah perkembangan zaman. Dunia kerja pasca-pandemi menunjukkan bahwa digitalisasi adalah keniscayaan. Tapi keadilan sosial tidak boleh dikorbankan atas nama efisiensi teknologi.

Negara, pengusaha, dan serikat buruh harus bersama-sama merumuskan peta jalan ketenagakerjaan digital yang berkeadilan. Buruh digital, meskipun bekerja di ruang maya, tetap manusia yang punya hak dasar: upah layak, jam kerja manusiawi, perlindungan sosial, dan masa depan yang pasti.

Kesimpulan

Era digital membuka peluang, tetapi juga memperbesar kesenjangan. Hari Buruh 2025 harus menjadi titik tolak lahirnya gerakan buruh digital di Indonesia. Pemerintah perlu hadir melalui kebijakan adaptif yang melindungi seluruh pekerja tanpa memandang apakah mereka di pabrik, kantor, atau dunia maya.

Perjuangan buruh abad ini bukan lagi semata menuntut delapan jam kerja, tetapi menuntut pengakuan atas kerja digital, perlindungan sosial, dan hak-hak dasar yang tak boleh digerus algoritma.