Aceh tidak pernah kekurangan orang pandai. Tidak kekurangan ulama. Tidak kekurangan pejuang. Tidak kekurangan pemuda. Tapi hari ini Aceh kekurangan kesadaran kolektif.
Kita hidup di negeri yang dulunya setiap desanya punya teungku, setiap pemudanya hafal sejarah negerinya, dan setiap rakyatnya tahu arah perjuangan. Kini, semua tercerai-berai dalam kotak-kotak kepentingan yang saling menghabisi.
Ulama banyak, tapi berapa yang benar-benar berani bicara saat keadilan diinjak? Berapa yang masih berdiri di atas mimbar dengan suara lantang, mengingatkan para pemimpin bahwa harta rakyat bukan warisan nenek moyangnya?
Dayah masih berdiri, tapi suara dayah mulai dilupakan. Ada yang memilih diam karena takut tak mendapat bagian kekuasaan. Ada pula yang berpura-pura buta saat kemungkaran merajalela. Padahal dulu, dayah adalah benteng terakhir saat penjajah menginjak bumi Aceh.
Pemuda berlimpah, tapi lebih banyak sibuk jadi buzzer politik, sibuk dengan konten TikTok ketimbang merumuskan masa depan bangsanya. Sebagian besar kehilangan ruh jihad pemikiran, malas membaca sejarah, lebih senang jadi alat ketimbang jadi pelopor.
Rakyat jelata makin lapar, bukan hanya lapar nasi, tapi lapar keadilan. Mereka yang dulu diajak angkat senjata demi kemerdekaan, kini hidup pasrah melihat negerinya diperjualbelikan. Mereka menunggu suara pemuda, fatwa ulama, dan arah dayah — tapi semua bungkam.
Menghidupkan Kesadaran Kolektif
Kalau Aceh ingin selamat, kesadaran kolektif itu harus dibangkitkan kembali. Tidak bisa hanya satu dua orang berteriak. Ulama harus kembali ke mimbar kebenaran, dayah harus menjadi benteng ilmu dan moral, pemuda harus mengambil posisi di garis depan, dan rakyat harus berani bersuara tanpa takut intimidasi.
Karena bila semua diam, Allah akan datangkan azab dengan cara yang paling halus:
pemimpin yang zalim, negeri yang miskin di atas tanah kaya, dan anak cucu yang hilang marwahnya.
Aceh pernah besar bukan karena kekayaan, tapi karena kesadaran bersama untuk hidup di bawah aturan Allah. Jika itu mati, Aceh hanya akan menjadi nama di peta, tanpa harga diri, tanpa masa depan.